Mohon tunggu...
Azkiya Musfirah A
Azkiya Musfirah A Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Life To Learn

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Salahkan Resilience Myth dan Mulai Ajarkan Diri Kita untuk Mengelola Stres

11 September 2024   20:31 Diperbarui: 11 September 2024   20:35 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://mayapadahospital.com/news/mengenali-stres-pada-masa-pandemi

Suatu pagi yang cerah setelah diterpa hujan semalaman, saya kembali pada kebiasaan saya ketika membuka aplikasi Youtube: mengunjungi channel Big Think yang populer dengan konten mereka tentang tips dan saran dalam berkehidupan. Salah satu video yang menarik perhatian saya berjudul "Harvard's stress expert on how to be more resilient | Dr. Aditi Nerurkar". Saya ingin membuka pandangan baru saya terhadap makna 'stres', karenanya saya memutuskan untuk menonton video tersebut di waktu luang saya sekarang.

Orang hebat yang dengan baik hati membagikan wawasan dan pengetahuannya terhadap kita adalah Dr. Aditi Nerurkar, a Harvard physician yang berspesialisasi pada stress, mental health, dan resilience sekaligus penulis buku berjudul "The Five Resets: Rewire Your Brain and Body for Less Stress and More Resilience". Sesuai bidangnya, Dr. Nerurkar membagikan pada kita wawasan baru berkaitan dengan resilience myth, jenis-jenis stres, dan juga cara me-reset otak kita dan cara mengelola stres. Sebuah ilmu baru bagi saya, karena sampai detik ini pun terkadang segala hal yang membuat otak saya pusing akan saya sebut sebagai kondisi stres dan saya rasa saya perlu membenahi pikiran saya untuk hal tersebut.

Stres yang kita semua tahu adalah kondisi psikis yang bisa menyerang siapa saja, terutama pada orang dengan tekanan kuat dari lingkungannya. Sebagian orang menganggap semua hal bisa menjadi sumber stres mereka, dan ada pula yang mengaku 'tangguh' karena merasa tidak pernah stres seumur hidup mereka. Orang-orang yang merasa dirinya tidak pernah merasa stres karena merasa segala tekanan adalah hal yang normal bagi mereka untuk menempa diri sendiri dalam society, sebenarnya adalah sebuah 'Resilience Myth' dan hal tersebut adalah sesuatu yang SALAH. Sebab kenyataannya, true resilience adalah menghormati batasan diri kita dan kemampuan untuk mengatakan 'tidak' pada sesuatu yang melukai diri kita nantinya.

Dr. Nerurkar membagikan pengetahuannya, bahwa terdapat 2 jenis stres yang ada, yakni adaptive stress dan maladaptive sress. Apa perbedaan keduanya? Adaptive stress adalah yang dapat memajukan hidup kita, seperti stres karena pekerjaan baru atau stres dalam kondisi jatuh cinta, dan ketika stres tersebut membuncah sampai tidak terkendali, adaptive stress akan berubah menjadi maladaptive stress. Apa pengaruhnya? Pengaruhnya ada pada bagaimana respons yang diperintahkan otak pada tubuh kita. Pada kondisi normal, kepemimpinan otak dipegang oleh bagian prefrontal cortex yang berperan dalam ingatan/memori, perencanaan, dan pengorganisasian. Tetapi ketika stres berubah menjadi maladaptive sress, kepemimpinan beralih pada bagian amigdala, yang berfokus pada kelangsungan hidup seperti respons melawan atau lari. Hal inilah yang menjadi perwujudan dari respons stres yang kita kenal, berusaha menghindar dari masalah, melindungi diri, ataupun melawan.

Ada satu fakta menarik yang dipaparkan oleh Dr. Nerurkar dalam video tersebut, bahwa sebenarnya, otak manusia bisa 'berubah'. Tumbuh dan beradaptasi sesuai dengan keadaan, situasi, dan stimulasi. Proses 'neuroplasticity' memungkinkan otak kita terus meregenerasi sel-sel dan sirkuit otak baru yang memungkinkan bagi pengidap trauma di masa lalu, sembuh dengan latihan dan juga kesabaran, dengan membangun sel otak baru yang berfungsi mengelola ulang stres dan kelelahan mereka.

DUA HAL yang bisa dilakukan untuk mengurangi stres dan kelelahan, yakni breathing exercise dan grateful. Dua hal ini adalah yang bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Mari kita jabarkan satu persatu.

  • Breathing exercise; Alasan mengapa latihan pernapasan bisa mengurangi stres adalah karena proses fisiologis ini bisa terjadi secara sadar dan tidak sadar, dimana kita bisa memanfaatkan proses bernapas untuk membangun mind-body connection yang bisa membantu kita mempengaruhi tubuh untuk tetap rileks. Stop, breath, and be. Berhentilah dari seluruh pekerjaan, mulailah menarik napas dan membuangnya perlahan, serta fokuskanlah diri anda menjadi apa yang anda buat sekarang. Stop, breath, and be steps menghentikan kita dari pemikiran 'what if' atau segala overthinking lain yang ada dalam pikiran kita.
  • Grateful; Rasa Syukur membantu kita fokus pada cognitive reframing atau berfokus pada perbaikan cara pandang terhadap suatu peristiwa atau situasi. Perbaikan cara pandang menjadi lebih positif ini membuat beban atau stres dan rasa lelah kita berkurang.

Kemampuan untuk mengelola stres dan rasa lelah bukan bawaan dari lahir. Sama seperti kemampuan kita lainnya yang didapatkan seiring berjalannya kehidupan, kita dapat melatih diri kita untuk mengelola stres, mengajarkan otak kita untuk melakukannya, mengajarkan diri sendiri untuk melakukannya.

You can rewire your brain and body, for less stress and more resilient.

Sumber:

Big Think. (2024). Harvard's stress expert on how to be more resilient | Dr. Aditi Nerurkar [Online]. Tersedia di situs https://www.youtube.com/watch?v=CuCptHYw_-c. [Diakses pada 11 September 2024].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun