“…tanpa mimpi-mimpi, maka orang-orang seperti kita akan mati,”
Itulah perkataan Arai yang membuat Ikal akhirnya tersadar. Ikal yang saat itu tengah mengalami pesimistis yang mendalam sehingga menyebabkan peringkatnya turun dari peringkat 3 menjadi peringkat 75 di kelasnya: drastis. Dan akhirnya ia juga tersadar ketika menyadari perjuangan ayahnya selama ini untuk masa depannya.
Novel ini adalah novel inspirasi yang berkisah tentang perjuangan anak manusia mengejar dan mewujudkan mimpinya. Ikal, seorang anak yang cerdas, memiliki seorang sepupu sekaligus abang sekaligus sahabat terdekatnya: Arai. Seorang yang diceritakan berhati seputih salju dan seorang yang penuh kejutan, lapang dada, dan tidak pernah menyerah pada kerasnya kehidupan. Arai secara tidak langsung menjadi sumber inspirasi bagi Ikal sendiri. Arai selalu memandang kehidupan dengan positif dan percaya diri.
Sorbonne: altar suci ilmu pengetahuan. Itulah tujuan mereka. Mungkin untuk ukuran anak desa miskin seperti mereka, it’s impossible. Tapi itulah kekuatan mimpi. Harapan. Itulah yang membuat orang bisa hidup. Bernafas di tengah sempitnya ruang kemungkinan-kemungkinan yang ada. Bergerak di antara derap-derap yang tak pasti. Di sinilah, kadang menjadi realistis sangat tidak dibutuhkan, sebab realistis ibarat pedal rem yang menghambat sebuah harapan. Jarak antara realistis dan pesimistis sangat dekat.
Maka mimpi itulah yang menggerakkan Ikal dan Arai untuk terus berjuang, mengorbankan masa muda yang kata orang penuh sukacita dan bahagia. Bekerja siang dan malam. Menghadapi aral dan rintangan yang menghadang. Ketika SMA terbiasa bekerja sebagai kuli ngambat, yang akhirnya uang hasil tabungannya dipakai untuk merantau ke Jakarta dengan berbekal keberanian dan keyakinan. Menjadi salesman, tukang fotokopi, sampai akhirnya memiliki pekerjaan tetap di kantor post. Kemudian melanjutkan kuliah sambil bekerja. Walaupun lelah dan letih, maka itu tak dihiraukan, sebab semua pasti akan terbayar nanti jika kita kita bersungguh-sungguh.
Peran orang-orang terdekat juga menjadi sangat penting. Jimbron, sahabat dekatnya yang selalu positif thinking dan mencintai kuda, ternyata telah menabung untuk mereka selama dua tahun untuk bekal mereka melanjutkan kuliah. Pak Mustard, kepala sekolah yang terkenal kejam dan displin tapi sebenarnya sangat baik dan perhatian. Pak Balia, guru sastra favorit yang telah menginspirasinya untuk menginjakkkan kaki di Eropa dan Afrika. Dan tentu orang tua yang sangat mendukung dan mencintai mereka.
Maka setelah kesulitan itu ada kemudahan. Setelah kesulitan itu ada kemudahan. Demikian janji Allah. No pain no gain. Kata orang Barat. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian peribahasa kita. Karena tak ada yang sia-sia jika kita bersungguh-sungguh. It will bloom to where it planted . Pertanyaannya adalah sudahkah kita menemukan tujuan kita dan sejauh mana kita sudah berusaha selama ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H