Duka serupa buih buih lepuhan
Arang bara
Di kayu terpapas api
Hutan koyak
Bingung kemana kaki melangkah
Sedang burung elang lelah mengepakkan sayap
Tak bisa hinggap, cakar kakinya legam
Semua hitam melapuk
Matanyapun hitam
Isi jelaga
Telah pergi enerji yang terberi
Yang tersisa hanya kulminasi sunyi
Ii
Duka serupa ruap creamer tak kunjung mereda
Saat cangkir kopi gayo single origin disajikan
Di ujung hidungmu yang pilek, Â aroma legit menggigitnya tak tercium, kepekatan sekaligus kedalaman rasa jadi dangkal, Â berbatu, Â tak nyaman dihirup. Semua rasa tinggi hilang melandai dalam kejapan momen penting kesendirian
Banyak yang tak datang
Banyak yang tak berkabar
Cafe tempat kami kongkow menyeruput hawa kehidupan pun, Â hilang dihapus dari maps
Entah oleh siapa
Secangkit kopiku
Tanpa kita
Adalah kehilangan besar sebuah masa
III
Catat
Bahwa ada sebuah jaman yang isinya
Hanya ketakutan, Â hantu hantu dikepala
Opini miring dan prasangka
Praduga telah bersimaharaja
IV
Duka seringkali hadir diam dan jumawa
Serupa cangkir kopi panas tak kunjung dingin
Sepintas menawarkan kehangatan akrab
Tapi meja tanpa kursi dine in
Penuh tanda silang kesalahan
Semua hanya bisa take away
Lalu buat apa sebuah hari kehidupan berlalu
Tanpa ada sobat mampir ngopi
Tanpa basa basi cerita bualan
Bila semua terlalu garing dan serius
Waktu berduka akan terlalu lama menancap
Duka serupa anak panah melesat saja
Mengarah jantung atau cangkir cemasmu
Siapa tahu
Lalu siapa yang menarik busurnya tadi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H