Tema PKB 43 Selaras dengan filosofi Suling
PKB kali ini bertema Purna Jiwa: Prananing Wana Kerthi.
Artinya, jiwa paripurna napas pohon kehidupan yang memiliki makna yang sangat dalam antara hubungan manusia dengan alam.
Memuliakan pohon/ hutan sebagai simfoni harmoni semesta raya menuju kesejahteraan hidup dengan jiwa yang maha sempurna,. Tema ini selaras dan harmoni dalam khasanah Hindu, filosofi suling “Suara suling, baik disuguhkan mandiri (solo) atau bersamaan suara lain seperti nada gamelan dan vokal manusia selalu kedengaran merdu, nyaman, syahdu dan mampu membuat hati pendengarnya menjadi merasa damai, tentram dan menyenangkan.” Mangku Made Murti, suling yang ditiup Kresna ketika sedang mengembala sapi, perlambang bahwa tokoh Kresna adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Sementara sapi yang digembala simbol umat manusia. Ketika Kresna mengembala sapi, makna simboliknya yaitu Dewa Wisnu sedang memelihara dan mengayomi umatnya.
Sapi, hewan yang bermanfaat, baik itu susunya, tenaganya untuk membajak sawah. Susunya menyehatkan manusia, tenaganya mampu meringankan beban manusia. Sementara suling yang ditiup Kresna mampu menyedot kekuatan musuh (orang-orang jahat), hati umat, sehingga umat senantiasa dalam keadaan damai, nyaman dan bahagia.
Diharapkan acara gelaran aneka peristiwa kebudayaan selama sebulan penuh dan melibatkan 6 kabupaten dan seluruh elemen penggerak keseniannya. Tidak kurang 10 ribu seniman dalam dan luar negeri terlibat dalam perhelatan akbar tersebut agar terbuka lapangan kerja seluas-luasnya dan ini bentuk keberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan, yaitu para seniman dan budayawan," jelas Sandi lagi.
.PKB ke 43 diharapkan menjadi pengungkit wisata Bali dan ekonomi Indonesia secara luas. Walau begitu, Pesta Kesenian Bali yang digelar di tengah-tengah pandemi covid-19, katanya harus disikapi dengan kedisiplinan semua pihak. Pemulihan sektor parekraf katanya harus sejalan dengan langkah pengendalian covid-19.
Hal ini amat pas dengan filosofi.suling :“Mahluk. manusia ” bagi bangsa Dwipantara adalah sosok yang mempunyai “ 6 lobang kehidupan ” (hirup – hurip) yaitu : Mata, Hidung, Mulut, Telinga, Alat Kelamin serta Anus. Ke 6 lubang tersebut tidak ada yang buruk. Semua Lubang adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dan semua lubang harus diatur oleh disiplin kehidupan (adab).
Kalau saja manusia tahu Kapan waktu membuka dan kapan waktunya menutup, kapan waktunya memasukkan dan kapan waktu membuang. Mesrinya penyebaran pandemi global bisa diperk3cil bahkan dibasmi tidak. sampai membuat dunia. Kacau balau seperti ini.
Semua diatur oleh nilai – nilai beradab yang tidak boleh dilanggar demi mencapai “Hirup nu Hurip “ (Bahagia,Tentram dan Damai) itulah pengertian atas “Manusia Beradab” bagi bangsa dwipantara.
Konsep “Keris Manjing Sarangka” atau “Ngaraga Sukma” yaitu berpadunya jari tangan Kiri – kanan ; Atas – Bawah, tidak ada lengan baik atau lengan buruk, yang ada adalah kesatuan memanunggalnya Kiri dan Kanan di dalam Hirup (tarikan napas, hidup). Pengaturan Napas (Masuk dan Buang) merupakan konsep penataan hidup, disiplin, mawas diri dan sadar atas keterikatan diri (hirup) dan Renghap (nafas).
Maka ketika kanan-kiri berpasangan memainkan irama kehidupan lahir-lah suatu gelombang suara penuh perhitungan dan perasaan dan merupakan konsep Harmoni yang serupa dengan tata keseimbangan alam, Jiwa dan Raga, langit dan bumi, air dan api, baik dan buruk. 3 Jari tangan kanan-kiri yang mengatur nada pada lubang suling merupakan symbol Trisula (3 ketentuan yang benar). Dahulu “Suling” harus dimainkan dengan menggunakan Trisula yang penuh perasaan dan perhitungan agar mampu mencapai kemanunggalan Upasaka Panca niti:
Niti Harti (Tahap Mengerti)
Niti Surti (Tahap Memahami)
Niti Bukti (Tahap Membuktikan)
Niti Bakti (Tahap Membaktikan)
Niti Jati (Tahap Kesejatian)
Setelah mendapat Pusaka Panca Niti manusia akan terbebas dari keduniawian “Mulih ka Jati Mulang ka Asal“ yang artinya bukan hanya kematian, melainkan menjadi Dewa-sa (Bersatu dengan Cahaya).