Melalui buku kuning telefon
Berminggu bulan
Di dekat keraton
Kutemui binar matamu
Masih menyimpan obor
Obor bambu penerang jiwa
Di hutan larangan,
Kusadari
Mata hatiku
Memijar karena
Ketulusan rasa
Yang kau simpan
Diam diam
Kau berduka
Ibumu berpulang
Belum genap 40 hari
Kita bertemu
Saling mendekat
Tersengat
Seperti magnet sejati
Rindu bertemu kutub bumi hati
Semakin jauh berjarak
Semakin rumit rindu
Membebat
Semakin dekat
Semakin memikat
Tiba tiba
Kita merindukan kursi pelaminan
Sah membalas waktu
Mengobati luka mengangaku
Karena pernah setia
Pernah percaya
Pada lurusnya perjalanan cinta
Sampai pedang takdir
Menyobek
Menyayat
Kamu yakin? Â
Tanyaku ragu
Kau mengangguk keras
Diamtara ayunan wangi
Ikal rambut mayangmu,
Empat ratus persen yakin
Jawabmu,
Senyum dikulum
Penuh arti
Sejak itu
Kita percaya
Bahwa cakrawala imdah asmara
Akan jadi milik kita selamanya
Tapi hasrat muda
Membawa ragaku keliling nusantara,
Lalu janji manis
Jadi tipis
Jadi susah sinyal
Hilang ditelan tualang pulau
Pulau terluar
Gerbang depan
Negeri ini
Aku mendapatkam segalanya
Enerji
Api semangat
Mitos legenda
Kekayaan pelosok negeri
Kaya juga aura jati kegaibannya
Tapi, Â aku kehilangan kamu
Tiba tiba
Cinta kita
Janji kita
Gaib
Ditelan euphoria
Petualang amatir
Maafkan daku
Sayang kita tak bisa kembali
Ke momen mukijizat asa murni
Yang tak bisa dibeli
Dengan apapun itu
Seandainya masih bisa membeli waktu
Mungkin bisa kudapat
Kesucian harapmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H