Perpisahan kita, Â selama setahun terakhir, Â sebenarnya cukup mengajarkanku soal menejemen rindu. Harus pintar pintar, Â memelihara rasa rindu. Â Sejak kau berangkat ke Sidney, Â untuk bekerja di Sidney, Â Australia dan aku memutuskan menetap di Sumenep, Â merawat kebun kopi dan toko jamu orang tuaku. Berat memang, Â tapi kemajuan tehnologi. Memungkinkan kita bisa daling melihat muka dan melepas rindu. Â Lewat media videocall jarak super. Jauh.
Hingga tiba Raya Nyepi kau pulang langsung mendarat di bandara Trunojoyo, Sumenep, Â kotaku. Â Dag dig dug hatiku saat melihat pengumuman pesawatmu mendarat. Sejuta rasaku. Kurapikan kain kebaya. Kuning emasku, Â semoga kamu nyaman melihat busana dan dan dandananku yang menjaga tradisi madura.
Gerbang terbuka, penumpang berhamburan keluar. Juga Kang Andi, Â dengan gayanya berjaket hitam modern. Aku memekik, Â berbisik. Memanggil namanya. Dan Masku melambaikan tangan. Â Lalu kami berpeluian sekedarnya. Â Aku agak kaget dengan gayanya yang acuh tak acuh. Padahal biasanya dia ceriwis dan senang bercanda. Sepanjang jalan menuju ke rumah. Pacarku ini hanya melitikku sekila demi sekilas saja. Â Aku jadi tegang, Â banyak yang berubah. Pasti ia tak cocok. Dengan dandanan udiikku.
Semakin jauh mobil. Berjalan semakin sepi tak ada suara di antara kami. Ah,  jarak rupanya telah merubah kami. Aku sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Mungkin putusnya hubungan kami. Maklum perbedaan kultur budaya setahun ini,  sudah cukup. Bisa melihatmu,  aku  bahagia  meski jarak Jauh mas,  batinku.
Sebelum mendekati rumah. Tiba tiba, Â Mas Andi mengerem mobil, Â menepi di bawah pohon beringin rindnag dan teduh. Dibukanya jendela pintu, pandangannya jauh keluar.
"Dik Asti, Â maafkan kalau aku jadi pendiam, sendirian hidup di rantau, Â membuatku banyak berubah. Saat sepi disana, Â aku jadi sangat tahu, Â bahwa tidak bisa hidup tanpamu Dik", katamu penuh bujuk rayu. Seperti lokomotif kereta meluncur begitu saja. Aku kaget juga mendengarnya.
"Maksud Mas Andi Gimana? ",tanyaku takut takut. Takut berpisah dengan pujaan hati yang baru saja kugenggam tangannya sepenuu hati, Â sepenuh rindu.
"Hmm, Â Aku pingin kamu nikah sama aku. Kapok aku sendirian, Â menyepi tanpa kamu", pintanya sungguh sungguh, Â giginya yang bagus mengulas senyum yangsulit kulupa. Matanya bermohon sungguh sungguh.
Aku hanya mampu mengangguk, Â lalu kami saling berpelukan. Lama sekali. Sepi, Â sungguh sepi tapi ramai sekali di hatu kami. Saat itu juga dia. Meneyerahkan kotak cincin bermata berlian untukku. Hatiku jadi gemerincing riuh. Ramai sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H