Surat yang kau kirim sebelum kau pulang ke rumah Tuhan, Â akhirnya sampai juga. Datang diiringi hujan deras, Â petir menggelegar dan genangan air banjir. Pak Pos yang mengantar datang memakai sepeda tua, kuno dengan terpal di kiri kanan roda belakangnya.
Tak sabar kurobek dan kubuka ujung suratnya. Kubaca buru buru seraya mengucapkan terima kasih pada Pak Pos yang basah kuyup walau memakai jas hujannya.
Dear Atmojo
Kau harus tahu, Â bahwa di semesta jiwaku, kau penting, Â sentral dan strategis. Bisa dibilang tak tergantikan. Sekalipun kita terpisah puluhan ribu mil laut. Sesungguhnya kamu selalu penting dan berarti, tapi pandemi sungguh membabat habis peluang sisi keberuntungan cinta kita. Cincin kawin dan rencana bulan madu mungkin akan tinggal puing abu cerita. Kisah kasih kita yang tak final. Â Menjelma nyata.
Doakan aku sembuh, sekalipun kondisiku 14 hari terakhir makin memburuk. Hanya dengan mengingatmu, Â aku yakin aku masih bisa pulih dan sembuh. Kalaupun tak sembuh, Â aku rela. Bangga dan bahagia pernah kenal dan mengikat janji hidup bersama denganmu. Walau hanya semusim rekah siklus kembang wijaya kusuma,
Luv u
Muach
A W -mu selalu
Surat selesai kubaca. Hujan pun berhenti, kilat petir bungkam sunyi. Langit cepat cerah kembali.namun ada hujan besar, Â dengan sambaran kilat petir, Â banjir dan tsunami besar menghempas di dinding hatiku yang rapuh dan sedih kehilanganmu, Â Aneke Wuriningtyas-ku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H