Becak.kuning reot, berdecit, berkerenyit rantai pedal, dan badan kayu becaknya. Mungkin jarang diminyaki, mungkin karena renta.dan rapuh kayu rangkanya. Sekrup berkarat dan jok tukang becaknya terkelupas.disana sini. Lengkaplah derita becak terakhir di kampung becak.
Kampung kumuh tempatku menemukan jodoh. Rumah pujaan hati, jauh dari.pinggir jalan, ada di belakang kuburan tua. Seram.
Tapi cinta mana bisa kalah dengan hadangan jarak dan pagar mistis sekalipun. Demi cinta, tiap.malam minggu, tiap aku rindu. Aku.selalu naik becak ke rumah pacar. Mau hujan, mau panas. Tetap.maju ke depan. Becak lah penolong setiaku merebut hati pacar.jadi istri kemudian.
Berbelas tahun kami bersama, memetik panen cinta yang kami tanam. Tetapi becak di kampung becak kami, berguguran satu demi satu. Entah dijual jadi besi tua, atau kayu tua bekas. Bisa juga jadi rumpon, sarang ikan. Dibuang ke.laut. Pokoknya yang tersisa tinggal becak kuning berisik itu.
Kalian yang milenial, mungkin sulit membayangkan nikmatnya naik kereta tenaga manusia beroda tiga. Memang tidak mamusiawi.. Masak manusia naik manusia ?., akupun demikian, tak tega.
Suatu kali, di depan hotel bintang lima, Malionoro, Jogja, aku turun cari makan sahur di angkringan. Disitu ternyata jadi tempat berkumpul, sarang tukang becak. Mereka ngobrol sambil ngopi dan makan nasi kucing. Dan memanggang tempe, tahu dan kawan kawannya, diatas bara api di tungku anglo dari tanah liat coklat kehitaman.
Mengalirlah cerita wong cilik, ada tukamg becak yamg permah memanen sarang burung walet yang bersarang di  tebing karang terjal tepi laut.menggiriskan. mengancam nyawa.
Ada juga yang pernah terlibat pemasangan kawat sutet tegangan listrik tinggi. Amat beresiko, penuh pertaruhan nyawa. Aku sempat cemas dan terharu biru dengan kisah heroik mereka menegakkan panci di dapurnya agar berisi lauk pauk dan nasi cukup buat anak istrimya. Selain menjalankan becak, mereka ternyata berani menempuh bahaya. Demi mencari segenggam rejeki halal.
Kekagumanku berbuah cerita, ketika masuk ke kamar hotel kutuang cerita tentang mereka,tukang tukang becak pemberani yang membuat batinku berdecak kagum. Tulisan drama radio itu, kuberi judul sial "Malioboro 13 ".
Ajaib justru naskah tu menang dalam kompetisi tingkat nasional, meskipun bukan pemenang utama, tapi aku mendapat kontrak  lumayan nilai fulus dan panjang durasinya untuk.membuat naskah drama radio.
Alkisah disiarkan di 200 radio pelosok tanah air, termasuk dua radio luar negeri, di Belanda dan Jerman. Hanya gara gara berempati pada tukang becak. Jangan sepelekan hal remeh, di sekitarmu. Bisa.jadi justru disitu.akan jadi pijakan penting hidupmu.
Bila kau tahu, semua kejayaanku bersumber dari  kisah nyata pedih perih tukang becak. Maka rasa terima kasihku tak pernah berkurang pada tukang becak. Dulu aku punya kebiasaan akan turun sekitat 50 meter.dari tujuanku, aku memberi uang lebih dan berjalan sedikit sebagai bentuk ritual resmi dan hormatku pada becak dan tukang pengayuhnya.
Sampai sekarang, rasa syukur tak pernah henti kuhaturkan pada tukang tukang becak sedunia. dari wahana roda tiga itu, aku mengenal berkibarnya namaku sebagai penulis. Lalu juga menemukan cinta sejati di becak juga.
Dia yang bermata sendu selalu menatapku tajam, lalu menepikan tubuhnya di ujung pinggir jok duduk penumpang becak, agar aku masuk. lalu kami keliling kota, bercinta.
Meski becak mulai tersingkir dengan transportasi onlen yang murah. Bermesin dan lebih manusiawi. Becak masih ada di hati kami.
Apakah di hati kalian masih ada kenangan.manis, sepat, indah bersama becak ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H