Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Dari TBM, Komunitas Penulis, hingga Penerbit Buku

7 Juli 2022   14:12 Diperbarui: 7 Juli 2022   15:40 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Inkubator Literasi Pustaka Nasional Dongeng Anak Indonesia. Foto PP Forum TBM

Ada banyak pilihan untuk menerbitkan buku.  Mulai dari penerbit yang sudah tercatat namanya di hati, sebab sering iklan sana-sini sejak zaman dulu, dan sering terlihat dengan mata fisik bukunya, hingga penerbit buku  yang tak ada bukunya di toko-toko buku. Penerbit yang tak ada bukunya di toko buku ini, sangat banyak sekali. Termasuk penerbit buku yang saya punya. Tak pernah ada bukunya di toko buku, tapi tetap laku.

Tulisan ini, saya hanya fokus pada suka duka menerbitkan buku sendiri berdasarkan pengalaman saja.

Apa yang saya rasakan terkait menulis kemudian menerbitkannya bermula dari berdirinya Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Azka Gemilang yang saya kelola. Melalui TBM ini saya mendirikan Komunitas Penulis Muda Asahan (Kompimas). Adapun aktivitas Kompimas adalah dengan memanfaatkan buku-buku yang ada di TBM, membaca, menulis ulang hasil yang dibaca, kemudian menghasilkan karya berupa tulisan yang diterbitkan.

Langkah menerbitkan buku adalah cara kami mencatatkan sejarah, ada karya yang telah tersurat. Meski tak pernah terbersit setelah terbit, harus dijual dan menghasilkan kentungan. Sebab, hal utama adalah terbit dulu.

Mengumpulkan karya kawan-kawan Kompimas untuk dijadikan buku tentu bukan masalah, sebab bila ada tulisan yang telah disiapkan apalagi dilakukan secara bersama dalam komunitas tentu akan lebih membahagiakan. Namun, masalah muncul setelah tulisan terkumpul. Tidak ada penerbit buku di kampung kami, Kota Kisaran Kabupaten Asahan. Walhasil, buku yang direncanakan terbit, terancam tidak terbit.

Maka dicarilah cara melalui aneka alamat melalui mesin pencarian google. Ada banyak di pulau Jawa. Hanya saja, karena kami komunitas yang tak pernah mengumpulkan iuran apa pun dalam kegiatannya, maka segala penerbit yang ada di Pulau Jawa itu, terbilang mahal. Proses menerbitkan buku ber-ISBN, dicetak, dan kemudian ditambah ongkos kirim buku, menjadikan harga buku yang akan kami terbitkan itu terasa mahal. Perihal ini di tahun 2012.

Saya mencoba mencari tahu bagaimana menerbitkan buku. Belajar dari aneka informasi terkait proses menjadi penerbit, Alhamdulillah, pada tahun itu juga dengan meminjam akta notaris teman, saya mengurus penerbit. Barulah setelah ada uang yang cukup, saya urus badan hukum TBM dan memanfaatkan badan hukum itu untuk menjadi penerbit sendiri.

Langkah selanjutnya tentu ada masalah lain yang muncul. Bagaimana mencetaknya menjadi sebuah buku? Saya keliling ke percetakan di kampung saya, tak ada yang mau kalau mencetak buku hanya 10 buah saja. Dulu istilahnya yang saya pahami itu POD (Print on Demand-cetak berdasarkan permintaan). Kalau pun bisa, ya harganya di atas 1 juta rupiah. Waah, ternyata lebih mahal dari pada mengurus ke penerbit lain di Pulau Jawa.

Masalah ini saya jadikan kesempatan dalam kesempitan. Saya pun belajar dari Youtube bagaimana cara mencetak tulisan menjadi buku. Tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, saya translate melalui google dalam Bahasa Inggris. Alhamdulillah tertemukan.

Memanfaatkan printer sejuta umat canon Ip2770, buku sepuluh buku berhasil saya buat. Tentu, dengan berkali-kali uji coba. Bahkan saya sempat membuat alat sederhana dari kayu untuk mengelem punggung bukunya.

Kawan-kawan yang tulisannya tergabung dalam buku terbit itu, merasa senang. Melalui corong cerita mereka, dan kebahagiaan mereka yang tertumpah di media sosial, sejumlah orang jadi tahu bahwa saya dapat menerbitkan dan mencetak buku sendiri. Sejak itu, sejumlah buku dari kawan-kawan yang telah banyak menulis, tapi tidak tahu mau diterbitkan di mana, akhirnya terpecahkan dan mendapatkan solusi.

Awal-awal cetak mencetak, masih menggunakan peralatan sederhana, pisau cutter, printer canon, komputer, lem pvc, dan mesin laminating untuk sampul bukunya. Sejak 2012 hingga sekarang pekerjaan itu menjadi bagian utama kehidupan keluarga saya.  

Peralatan sederhana dari kayu yang saya gunakan untuk mengelem punggung buku, dibuat tahun 2012. Dokumen kenangan pribadi
Peralatan sederhana dari kayu yang saya gunakan untuk mengelem punggung buku, dibuat tahun 2012. Dokumen kenangan pribadi

Memang sungguh asyik di dunia ini, saya selalu kebagian membaca terlebih dahulu tulisan teman-teman yang ingin menerbitkan dan mencetak buku. Hingga kemudian saya belajar banyak menjadi penyunting. Bahkan sampai sekarang pun masih terus belajar.

Tentu perjalanan tak selalu mudah. Sampai pada  bulan Maret 2019, terpaksa saya merumahkan 4 orang pegawai kerja. Sebab, posisi usaha kami yang berada di dalam gang, dengan klien dari sekolah dan perguruan tinggi saja, terpaksa harus hampir tumbang diterpa Covid19. Segala tabungan yang tersimpan tak mampu bertahan di tahun ke 2 Covid. Tahun 2020, kami benar-benar terkapar dengan kondisi keuangan. Sejumlah mesin cetak tak beraktivitas, terpaksa harus dijual dengan harga murah. Hingga sampai 2021, penghasilan kami berasal dari menjual mesin-mesin yang ada di rumah.

Berimbas dari Covid, saya berusaha memulai usaha lain. Jual goreng pisang. PISANG APA namanya. Namun apalah daya. Tak mampu bertahan pula.

Merek Pisang Apa sebagai alternatif mengatasi Covid19
Merek Pisang Apa sebagai alternatif mengatasi Covid19

Allah punya jalan lain memang. Saya ditakdirkan untuk tetap bertahan di dunia ini. Meski kemudian harus kembali memulai dengan peralatan sebagaimana tahun 2012 lalu. Tak apa, saya dan keluarga telah menapakinya lagi. Masya Allah.

Hal positif yang telah saya lakukan dalam dunia penerbitan dan percetakan banyak membantu saya secara pribadi, keluarga, dan lembaga lainnya. Sebuah kampus di kampung saya, bisa membuat penerbit sendiri dengan belajar dari saya. Konsekuensinya, buku mereka yang terbit, nyetaknya ke saya.

Saat ada pelatihan kepenulisan di kampung ini, saya diminta untuk menjadi mentornya. Meski dengan ilmu yang ala kadarnya, tapi justru membuat saya semakin rajin belajar dan tetap memperdalam ilmu-ilmu di dunia ini. Dunia literasi namanya.

Bahkan sampai pada titik saya meraih penghargaan dari Balai Bahasa sebagai penerima Anugerah Pegiat Literasi 2018, ya karena TBM yang saya kelola ada Kompimas, ada penerbitnya dan percetakannya pula. Pun begitu ketika saya mendapat penghargaan dari Satu Indonesia Awards (SIA) 2021 bidang Pendidikan tingkat provinsi, semua bermula dari kegiatan-kegiatan yang saya lakukan melalui TBM, Pelatihan kepenulisan, dan kegiatan yang terkait dengan Literasi.   

Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu naskah dongeng saya masuk dalam 17 peserta terbaik Inkubator Dongeng Anak Indonesia 2022 yang akan dibukukan oleh Perpusnas Press yang diinisiasi oleh Forum TBM Pusat, Perpusnas, dan Perpusnas Press. 

Peserta Inkubator Literasi Pustaka Nasional Dongeng Anak Indonesia. Foto PP Forum TBM
Peserta Inkubator Literasi Pustaka Nasional Dongeng Anak Indonesia. Foto PP Forum TBM

Semua itu terjadi karena Allah maha baik, sebab saya kebagian untuk selalu membaca segala buku. Baik di TBM, dan juga yang akan dicetak maupun diterbitkan. MasyaAllah.

Saufi Ginting

Pendiri TBM Azka Gemilang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun