Mohon tunggu...
Saufi Ginting
Saufi Ginting Mohon Tunggu... Penulis - Pegiat Literasi

Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Azka Gemilang di Kisaran, Kabupaten Asahan Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kisah Semangkuk Ketakutan

17 Februari 2022   19:11 Diperbarui: 17 Februari 2022   19:17 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tentu ingin membaca kisahmu. Agar sudut pandangku semakin luas. Mengurainya dalam ingatan yang dalam dan mencatat setiap tanda penting yang kau sematkan. Pesan-pesan yang tersirat, tentu menjadi bagian keindahan yang tak dapat digambarkan kembali dengan kata-kata. Biarlah kunikmati dan kuresapi. Betapa kelak dari setiap jenjang kisah yang telah terurai, ia akan terbit keindahan yang merekah, pada setiap hembusan angin yang menerpa muka dan dada. Hangat dan nyaman bersamaan.

Aku tentu tak ingin semua berlalu tanpa kesan apa pun yang dapat menjadi kerancuan. Tentu harus kuresapi sedalam jiwa dan perlahan. Agar setiap makna semakin riuh adanya. Adalah kau, yang tetap menjadi tujuan dari setiap catatan-catatan yang kubaca ini. Entah mengapa, semakin berbuih dan mendidih di dada. Kelak, kau menjadi tanda baca saja, ya! Agar terjeda dan dapat kuambil nafas untuk sekedar melanjutkan setiap kisah yang sedang kunikmati ini.

Kadang-kadang teringat kembali betapa rindu yang kusimpan diam-diam menjadi mimpi dan tak dapat dijabarkan dalam tidur. Bahkan setiap kali aku melihat senyum yang tak biasa darimu, itu sudah cukup menjawab setiap tanda yang muncul beranak pinak di dada. Meski, jawaban-jawaban itu, ngaco adanya. Tak apa. Aku tetap bahagia menikmatinya.

Tahukah kau, setiap senyum yang pernah kita ikat dengan rantai keranjingan meski sesekali bergetar tak karuan itu, ia berbuah ranum. Kuambil, kupetik, kukupas dengan pisau kecil bergagang emas. Kusayat perlahan. Tentu sayatan pertama dari buah ranum itu, harus untukmu. Begitulah aku terus menekuni keyakinanku untuk selalu menjadi bagian dari kisahmu. Sejuta kata-kata menjadi teman sayatan buah yang ranum itu. Beraroma khas. Aku suka sekali. Tak ada air mata dari setiap gerakan bibirmu yang mengunyah. Cukuplah itu kunikmati.

Meski hari-hari berikutnya aku pernah membencimu dalam setiap gerak. Sebab, entah dengan alasan apa kau menghilang berhari-hari tanpa kabar. Tanpa jejak. Seketika bertemu, kau seperti muak melihat tatapan mataku yang berjarak.

Ternyata, sedemikian kau telah hilang. Di telan ketidakpastian yang aku bangun dari ruang-ruang rindu tak bertuan.

Haruskah aku bersedih? Tentu, saban tahun aku selalu mengenang. Rindu-rindu yang kupatri dalam buku warna-warni itu, hanya menjadi guratan pudar tanpa aroma. Aku mengurai kisah dari semangkuk ketakutan. Kesendirian yang kugurat itu, tak berpaham. sekedar guratan. Tak lebih. aku hanya diam. Kelam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun