Ada puisi pagi ini yang ingin kutulis. Tapi entah apa. Kurasa lelah sudah otak ini meracik setiap abjad menjadi kata. Sebab makna lesap tak berderma. Hanya percikan sisa senja merona yang menjadi catatan bias. Apakah puisi ini akan syabas atau kebas.
Ada cerita pendek yang ingin kuketikkan. Tapi terhenti pada paragraf ke empat. Masih tentang kekhawatiran dan umpat. Tak pula tentang makrifat. Ia bukan pentigraf. Tak ada konflik yang mengikat. Kurasa otak ini sudah lelah meracik setiap abjad.
Alamak. Puisi dan cerita pendek itu selalu menjadi hantu di kepala. Bergentayangan dari satu titik ke titik di barisan terdepan. Rapal doa dari para tetua tak mampu membakarnya. Mereka terus saja menggelinjang, tertawa, menangis, dan aneka rasa. Hingga memaksa menggerakkan jemari di atas papan tuts dan mentransformasi di sana, di halaman layar pengolah kata. Aku pun tak henti membuat puisi dan cerita pendek dan lainnya.
Ah, dasar hantu tak tahu diri. Awas kau ya. Kubakar lagi dengan senjata lebih sakti. Yang akan segera kuwarisi dari buyutku di negeri abadi. Agar kau raib tak bertepi. Tapi, aku pun tak mampu berhenti menulis puisi dan cerita pendek ini, apalah lagi tentang diri sendiri. Nasib-lah.
Saufi Ginting
Rumah Azka Kisaran, 17-02-2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H