Senja tadi kau berkelindan melewati asa. Rindu hujan pada semesta. Seandainya, seandainya, seandainya. Jemawa menjenggala di dada. Kau masih kuat mengurut sendi kehidupan, hingga lapang pernafasan. Itu sebabnya, tengadahmu adalah jengah. Tak mungkin terminasi tetiba, katamu.
Hujan datang tiba-tiba, tak memberi kabar pada cuaca. Panas terik masih terasa. Abu-abu berlarian ke tempat semula. Bagian mana kisah kita yang akan tercipta? Sementara hujan saja kau berteduh keluh. Menghamun pada derita.
O, apakah ini tungkus lumus perjalanan? Entah. Kau anggap sebagai doa tak bertuan. Gelap, cacat, terjerembab. Berusaha adalah usaha. Doa tak mesti beriringan langkahnya. Sungguh jemawa nian rasa. Ribuan dongeng menjadi lelucon manja. Katamu, itu semua palsu. Halu. Tak perlu aku padamu, katamu. Buktinya, harta dan tahta ada di dunia, yakinmu padaku.
Sejak kapan kau terbiasa menjadi bagian keabadian? Ya. Sejak kau tuturkan mantra jeremba buana. Setiap asa adalah dunia. Mantra tekak lirik celaka. Duhai.
Saufi Ginting
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H