Ada pula untuk koleksi saja, meski entah kapan dibacanya.
Ada lagi, karena ditodong penulis bukunya. Kau belilah buku ini, biar laku.
Ada pula membeli buku karena sedang mengerjakan tugas-tugas tertentu, untuk dijadikan bahan referensi.
Tapi, pernahkah kita membeli buku, kemudian melihat nomor ISBN buku? Kemudian melakukan crosschek keberadaan sebuah buku tersebut di laman ISBN perpusnas RI? Bila belum pernah, sesekali cobalah cek.
Dengan membaca kemudian mencocokkan ISBN dalam laman ISBN Perpusnas RI, ada banyak manfaat yang dapat diperoleh. Salah satunya, memperoleh informasi mengenai kapan pertama kali buku diterbitkan, sehingga kemudian menemukan penerbit buku tersebut sudah menerbitkan jenis buku apa saja. Dan boleh jadi malah tidak tertemukan pula data penulis, penerbit, sesuai dengan nomor ISBN yang tertera pada laman ISBN Perpusnas RI. Loh kok bisa? Ya bisa saja. Akibat penerbit yang jadi-jadian. Yang penting ada ISBN, maka jadilah. Walau entah ISBN siapa yang digunakan, atau dibuat sendiri nomor dan barkodnya, yang penting mirip.
Eh, lagian apa pentingnya coba korelasi mengetahui kebenaran ISBN dengan isi buku, mau ISBNnya ga benar, mau ga ada, yang penting buku sudah di tangan dan dibaca ilmunya, bukan ISBNnya. Gitukan?
Eit, ya ga gitu juga kali. Dengan mencermati ISBN pada sebuah buku, kita sudah melakukan satu langkah perlindungan terhadap buku-buku terbitan dari hal-hal yang sebenarnya ga penting-penting amat. Weleh. Ya ia lah, kan itu urusan penerbit dan penulis, tugas pembaca ya hanya membaca bukunya saja. Syukur-syukur bisa dapat banyak ilmu dari buku tersebut. Alamak. Kan jadi bingung.
Melalui laman perpusnas RI, ISBN yang ada dalam sebuah buku akan terdeteksi. Siapa penulisnya, siapa penerbitnya, siapa penyuntingnya, tahun terbit kapan, dan bahkan ada rahasia kecil dari penerbit yang dapat kita cek di laman ISBN Perpusnas. Yaitu apakah bukti terbit buku yang ditulis penulis sudah dikirim atau belum ke Perpusnas RI. Walaupun urusan dikirim atau tidak, ya urusan penerbit dengan Perpusnas RI. Sebab yang penting nomor ISBNnya cocok dengan buku yang dibaca, udah okelah itu, peduli amat.
Saya pernah mendapatkan buku, ber ISBN, yang kemudian ketika saya croshcek ke laman ISBN Perpusnas, ternyata tak sesuai dengan identitas yang ada di laman ISBN perpusnas. Nomor ISBN itu punya penulis lain, dari penerbit lain, dan tentu buku yang saya baca itu boleh dikatakan belum ber-ISBN. Aih, salah siapa ini?
Apakah ISBN ini se krusial itukah? Tentu tergantung masing-masing saja. Mungkin sebagian teman-teman yang bergiat di literasi khususnya penerbitan kecil-kecilan yang akan segera besar (sekali lagi: saya ga mau membagi-bagi penerbit menjadi mayor, minor, atau indie, hehe), sangat paham bahwa, setelah proses penyuntingan baik naskahnya, desain sampul, tata letak, hal utama yang harus disegerakan adalah ISBN. Padahal mengurus ISBN tak lama, dan tak berbiaya.
Yang membuat pengurusan ISBN itu berbiaya karena dalam prosesnya secara keseluruhan ia akan menjadi sebuah buku yang harus dibuktikan, dan dikirim pula ke perpusnas. Maka, diperlukan biaya kirim, biaya cetak, biaya sunting, dan biaya-biaya lainnya.