Anak Mamak dan Ayah
Perkenalkan, namaku Zakiyah. Panggilanku Za. Aku anak paling besar --juga paling kecil-. Aku adalah anak perempuan satu-satunya dari Mamak dan Ayah.
Saat ini aku sudah kelas lima. Jarak rumah menuju sekolahku sekitar lima belas menit menggunakan sepeda motor. Jika berangkat ke sekolah, aku selalu diantar oleh ayah. Duduk di depan ayah yang sedang mengendalikan sepeda motor adalah hal yang paling aku senangi. Meskipun beberapa kali aku diledekin teman-teman, aku tak peduli. Bagiku ini ayahku, bukan ayahmu.
Aku sangat senang diantar Ayah. Sepanjang lima belas menit perjalanan, kami akan murojaah --mengulang kembali- hafalan Juz 'amma ku, atau ayah akan bercerita tentang sesuatu sampai kami tiba di sekolah. Selama hampir lima tahun aku di sekolah dasar, tak pernah sekalipun aku tak diantar ayah. Begitu pun pulang, selalu ayah yang menjemputku. Ketika di Taman Kanak-kanak pun, ayah juga yang selalu mengantar dan menjemputku.
Beragam cerita yang diceritakan ayah. Seperti tadi pagi, ayah bercerita tentang buah manggis yang bisa dijadikan permainan. Aku sudah beberapa kali makan buah manggis. Selain rasanya yang manis, tak pernah ada cerita spesial tentang itu. Apalagi bisa dijadikan bahan bermain.
Semalam Ayah baru membawa pulang satu kantongan plastik asoy buah manggis. Kata ayah sewaktu betandang ke rumah Uwak Usni, diberi oleh-oleh buah manggis. Dekat pinggir sungai tak jauh dari Rumah Uwak Usni ada dua batang pohon Manggis. Buahnya lebat. Sampai habis pun kumakan buah manggis itu, ayah tak pernah menceritakan permainan yang spesial tentangnya.
Palinglah yang kuingat buah Manggis ini menjadi spesial, waktu aku masih kelas dua. Waktu itu, Ibu Susi, yang kecerdasannya hampir mendekati menteri kelautan itu, -sebab ibu Susi guruku belum jadi menteri- memberikan aku hadiah buah manggis. Pasalnya pada saat sesi tanya jawab pada materi menyebutkan ciri tumbuhan, khususnya buah mangga, aku bisa menjawab dengan benar.
Sehari sebelumnya Ayah membelikanku aneka buah mangga. Ada mangga harum manis, mangga alpukat, mangga durian, hingga mangga mentega. Percayakah kau mangga banyak macamnya? Cobalah kau tanya aneka buah mangga yang kusebut tadi sama tukang jual buah di kotamu!
"Angkat tangan siapa yang bisa sebutkan rasa dari buah mangga!" pinta bu Susi waktu itu.
Aku dengan segera mengangkat tangan dan menjawab jika buah mangga yang mentah rasanya masam, dan yang matang rasanya manis --meskipun tak semua begitu. Ini cerdasnya bu Susi. Setiap anak-anak yang bisa menjawab, akan diberi hadiah meskipun jawaban kami benarnya kadang-kadang.
Kata bu Susi, karena aku bisa menjawab rasa buah mangga, pasti aku sudah pernah memakannya, maka aku diberi hadiah buah manggis. Bu Susi ini guru favoritku. Sampai sekarang.
"Ada permainan unik tentang buah manggis lo."
 "Ceritakan Yah, awak belum pernah dengar" desak ku sambil memperbaiki letak ujung jilbabku yang klewer-klewer terkena angin dari arah depan sepeda motor.
 "Dulu waktu ayah masih anak-anak, ada permainan namanya tebak-tebak buah manggis. Siapa yang bisa menebak buah manggis, dia akan disebut anak hebat. Disebut 'hebat' saja, pada masa itu, udah paten kali, senangnya selangit. Sayangnya 'anak orang yang tinggal di Umbut-umbut itu', tak ondak dia cuma disebut hebat, harus ada pialalah, minimal sertifikat, katanya."
 Aku memutarkan kaca spion sepeda motor yang kami kendarai, menghadapkan wajah Ayah. Kulihat ayah senyum. Dikulum. Matanya melirik ke kaca spion yang kuputar tadi. Aku paham maksud Ayah. 'anak orang yang tinggal di Umbut-umbut' adalah sebutan lain untuk menggoda aku. Umbut-umbut adalah nama kelurahan tempat tinggal kami. Sementara 'anak orang'  maksudnya adalah aku.
Kata teman-teman kalau hebat itu harus ada buktinya. Makanya, setiap kali ayah memuji 'hebat anakku', setiap kali pula kubilang sama ayah, kasih pialalah atau sertifikat. Seperti Ayah, beberapa kali ikut pelatihan, selalu dapat sertifikat. Kan hebat itu.
Hasilnya, aku dikasih ketukan di kepala. Keletoook..
"Kalau Za lihat bagian ujung bawah buah manggis, biasanya ada tanda semacam bintang. Nah, bagian bawah itu berfungsi untuk menjelaskan berapa ruas daging isi dari buah manggis. Kalau ingin tahu isi ruas daging buah manggis, kita tak perlu membuka kulitnya. Tengok saja ada beberapa bintang di bawah buahnya. Kalau ada empat, biasanya isi ruas manggisnya empat, seperti itu seterusnya."
Aku mendengarkan. Serius. Pertama, inilah bedanya Ayah dan Mamak dalam memanggil. Kalau berbicara dengan ayah, selalu menyebutkan 'Za' untuk menyebutkan aku, tapi mamakku, becakap samanya, jarang kali aku dipanggil 'Za'. Hampir sering dengan sebutan 'kau'. Jadi, kalau kau nanti main ke rumahku, jangan pala takojut yo. Mamakku berdarah Batak, ayahku suku Jawa. Begitulah. Tapi, kami lebih banyak berlogat Melayu Asahan.
 Kedua, padahal semalam buah manggis yang dibawa Ayah satu kantong plastik asoy, ku makan sendiri dengan lahap, tanpa berbagi. Tak ada ayah menceritakan apa pun tentang permainan menggunakan buah manggis. Ayah cuma bilang manggis berkhasiat untuk kesehatan tubuh seperti mencegah kanker, mengurangi rasa sakit, mencegah infeksi, kaya antioksidan, bagus untuk tekanan darah tinggi, dan mencegah penuaan dini.
"Jadi permainan yang Ayah bilang tadi, caranya gimana?" Aku sudah tak sabaran untuk mendapat penjelasan bagaimana bermain menggunakan buah manggis.
"Tanda di bagian bawah buah manggis yang berbentuk menyerupai bintang berwarna kecoklatan dibuang atau dikikis sehingga tidak berbekas. Setelah itu, salah seorang teman yang sudah berhasil membuang tanda bagian bahwa tadi bertanya pada teman lainnya 'coba tebak berapa isinya?'.
Siapa yang bisa menjawab dengan benar, setelah buah dibelah, maka disebut hebat. Tapi bagi si pemberi tebakan, rasanya senang banget kalau teman yang lain tidak dapat menjawab. Sebab dia berhak untuk hadiah yaitu dengan memasang wajah yang agak sombong" Ucap ayah sambil tersenyum sumringah. Ayah mungkin mengenang pernah terlibat permainan itu, entah untuk hebatnya atau untuk sombongnya, aku tak tahu.
"Bermula dari itulah, sampai hari ini, orang menggunakan peribahasa 'tebak-tebak buah manggis' sebagai bahasa perumpamaan untuk sesuatu perkiraan atau tebakan yang tidak pasti" lanjut ayah yang terus tersenyum.
"Tapi itulah uniknya cara bermain anak pada masa itu. Buah manggis saja bisa dijadikan sebagai alat pergaulan. Kalau sekarang anak-anak lebih senang menggunakan media sosial seperti facebook, instagram, whatsapp, dan lebih suka main game online dari pada bermain bersama temannya."
"Makanya Ayah belum setuju memberi Za gawai, seperti anak Uwak Beti."
 "Aduuuh, Ayah...kenapa semalam waktu awak makan buah manggisnya ga ada cerita seperti itu? Kan kita bisa main tebak-tebakan buah manggisnya." Aku hanya fokus mengomentari tentang permainannya, bukan tentang pribahasa dan maknanya, atau tentang anak Uwak Beti seperti yang disampaikan ayah.
Sepertinya seru kalau semalam makan buah manggis sambil main tebak-tebak buah manggis. Sayangnya ayah baru cerita pagi ini.
"Ga tega Ayah mengganggu Za yang sedang asyik makan buah manggis sampai lupa Mamak dan Ayah. Tak ondak berbagi." Ucap Ayah sambil memonyongkan bibirnya. Kulirik dari kaca spion.
"Eh...aduuh, maafin awak lah, Yah!, enak kali pulak" Aku jadi salah tingkah dan merasa bersalah. Tak ingat sama sekali untuk membagi sama mamak dan ayah buah manggis yang satu kantongan plastik asoy itu.
"Ga apa lo Za, kan anak Mamak dan Ayah."
Daftar Kata
Awak : Kata ganti untuk menyebutkan Aku/Saya( di Sumatera Utara), dan diucapkan kepada orang yang lebih tua atau yang dihormati.
Betandang: Berkunjung
Klewer-klewer: Goyang-goyang, untuk benda yang tipis.
Paten : Mantap
Plastik Asoy: plastik kresek/kantongan untuk belanja berbahan plastik
Ondak     : Mau
Cakap/Bacakap: ucapan/berbicara
Jangan pala takojut yo: jangan sampai terkejut ya
Pulak : pula
Gawai: bahasa baku untuk gadget
Keceng: mudah
Ngasi: asal kata kasih artinya memberi
Suka ati: suka hati
Beladang: mengolah ladang/berladang
Membolo: memperbaiki
Gingging: susah diberitahu, degil
Sampek: sampai
Jang: ucapan untuk menguatkan suatu pernyataan
Hombal: ungkapan untuk menyatakan yang dijadikan objek berbicara seolah-olah merasa paling
korjoannya: kerjaannya
Biar tak apa kali, nanti apa pulak: Ungkapan ambigu, tapi sering diucapkan dalam bahasa lisan dan tulisan (seperti status facebook) oleh anak-anak muda di sejumlah wilayah Sumatera utara, bisa diartikan 'agar tak salah pengertian'.
Pajak: Nama lain dari Pasar, tempat bertemunya penjual dan pembeli.
Mocok-mocok: pekerjaan tidak tetap/apa saja dikerjakan sepanjang menghasilkan
Kede: Kedai/satu tempat untuk menjual bahan-bahan pokok/makanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H