Keinginan Bambang untuk mendapatkan Riri si pujaan hatinya dengan cara instan, selalu tak disetujui oleh Rei. Sebab, hal yang harus dilakukan Bambang menurut petunjuk orang pintar, harus berdiam diri, merapal mantra di atas kuburan tua yang terletak di pengkolan jalan menuju Pajak Bhakti di Kisaran itu.
"Itu kuburan Bambaaaang, bukan cafe" Rei dengan wajah memerah memberi penjelasan.
"Aneh-aneh saja pun permintaanmu Bambang. Kalau kau memang jatuh cinta pada gadis pujaanmu, ya pertamvaanlah dirimu. Seperti pak Saufi itu".
"Rei, kumohon Rei! Bantu aku! Terlalu lelah aku menunggu jawaban dari Riri itu Rei" Bambang memutarkan badan mengarahkan pandangan ke burungnya pak Tono. Seperti adegan antara Roma dan Ani pada film lama.
"Cukup Bambaaang. Aku tak sudi. Cuihh. Apalagi itu kuburan Belanda. Kenapa tidak pada semut merah yang berbaris di dinding menatapmu curiga yang kemudian kau siram dengan air panas itu saja yang kau buat jadi kuburan?" Rei semakin geram.
Rei menghampiri Bambang, memutarkan tubuhnya dan mengoncang-goncangkan bahu Bambang.
"Kau kejaaaam Bambang. Kejaaaaam! Semut saja kau siram dengan air panas. Bagaimana kelak kau bisa menjaga Riri, Bambaaaaaang?"
Bambang tertunduk. Diam.
Meski Rei tak setuju, Bambang tetap teguh pendirian. Ia telah bertekad untuk mengikuti apa yang dipesankan oleh orang pintar itu. Malam Jumat tepat pukul dua puluh empat, Bambang telah berada di kuburan tua itu. Tak penting apa pun risikonya, baginya tujuan dari ritual ini adalah mendapatkan Riri.
Bambang duduk di atas kuburan tua peninggalan orang Belanda. Sesaat hendak memejamkan mata, tiba-tiba kuburan bergetar hebat.
"Grrrrrrr braaaaaak"