Bukankah semakin banyak unggahan tulisan kita, semakin banyak pula karya yang tercipta. Mana tahu ada tim penerbit buku besar sedang blogwalking, tulisan kita yang sudah muncul di media itu konsisten dan dianggap menarik, terus mereka menghubungi kamu, egh aku, agh kita semua. Meminta tulisan yang sudah muncul di media daring dijadikan buku oleh penerbit Mayor, seperti Gramedia misalnya? Nah lo? Keren kan! Atau kamu mau buat buku solo sendiri?
Tahap pertama kumpulkan yang sudah diunggah itu, bukukan. Tak apa. Ga ada yang larang! Kedua, buat lagi tulisan lain sebanyak-banyaknya, bukukan. Setelah melewati proses pertama, bisa jadi yang kedua lebih memuaskan hati.
Nah, bila menuruti penerbit besar sekelas Gramedia, mungkin dengan tak mengunggahnya ke media sosial, tulisan itu benar-benar fresh from the oven. Masyarakat belum pernah membacanya, hingga buku terbit punya nilai jual mumpuni. Kira-kira begitulah logikanya.
Masalahnya, tulisan yang sudah saya unggah itu yang diplagiat orang. Gimana dong?
Sekali lagi ini tentang perkara 'instan'. Mari kita cek dulu tanggal dan waktu, siapa yang unggah duluan, di media apa unggahannya. Agar tak jadi kecewa kemudian hari. Penerbit tak kecewa, penulis tak kecewa, pembaca pun tak kecewa. Mungkin sumber dari cerita itu pernah bercerita pula ke media lain.
Lantas bila sudah ketemu, siapa yang terlebih dahulu mengunggah? Itulah salah satu fungsi kita mengunggah di media sosial. La, kan memang kita yang nulis dan unggahnya. Ngapain khawatir diplagiat. Esok-esok tulisan itu akan menemukan jalannya sendiri. Itulah sebagian kebahagiaan dari tulisan yang diplagiasi. Ada serunya. Semakin semangat untuk menulis lagi. Bisa saja menjadi jalan pahala.
Mau menempuh jalur hukum? Boleh jadi. Mau nempuh jalur pahala, ya buat lagi tulisan lainnya. Bukan berarti saya melegalkan plagiat, ya. Atau kalau kamu sangat kekeuh adukan saja ke Kominfo dengan alamat website aduankonten.id. Berikan bukti-bukti fisik tulisan kamu yang diplagiat. Sekelas Tere Liye, tulisan yang sudah dibukukan saja bisa diplagiat eh dibajak. Alamak!
Jadi jangan berhenti menulis ya, meski di media sosial. O ia, meski diplagiasi itu 'sebagian' dari kebahagiaan bagi penulis, ternyata 'sebagian' lainnya adalah kesedihan. Sedih masih banyak generasi yang literasinya berplagiat ria. Mari terus kita edukasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H