"Hari ini aku mau menulis tentang hari lahirnya Pancasila, karena tanggal 1 Juni adalah hari lahirnya Pancasila. Aku mau menuliskan perasaanku tentang Negaraku. Ide itu sudah ada di kepalaku, tapi tak tau kalimat apa yang harus kumulai duluan untuk menuliskannya. Kok tak bisa juga ku tekan papan tutus pada laptop ini untuk memulainya dengan ide yang sudah ada di kepalaku? Agh sudahlah. Nantilah. Tunggu ada ide lagi"
==
Begitulah menulis, ada saja alasan untuk tak menulis. Â Padahal tanpa disadari, bila yang tercetus dalam kepala diketikkan saja, ia menjadi sebuah paragraf -seperti paragraf pembuka di atas-.Â
Saya terngiang petatah petitih buku Said Matondang -orang Rantau Prapat, Sumatera Utara- dalam buku Spirit Imam Robandi, yang pernah saya baca. Banyak pesan kebaikan yang ia dapat dari idolanya Imam Robandi. Said menuliskan 'lebih baik berbuat walaupun belum tentu berhasil dari pada hanya berpikir benar tanpa melangkah'. Saya analogikan penjelasan ini dalam praktik menulis, semakin banyak yang kita buat dalam menulis, meski belum tentu bagus dipandang orang itu lebih baik dari pada banyak mikir tapi ga nulis-nulis.
Mungkin kita bisa memulainya dari yang kecil-kecil dulu. Tak apa. Sebab untuk menuju besar, dimulai dari yang kecil, kan? Sebab, kita mempunyai kebiasaan selalu menganggap hal-hal kecil sebagai sesuatu hal yang tak perlu diperhatikan. Mari kita ubah pola ini dalam menulis.
'Tapi aku kan capek? Mana sempat!!'Â
Bersyukurlah kalau kita merasakan capek, berarti masih ada tanda-tanda kehidupan. Kata Said Matondang keberhasilan hanya dekat dengan orang-orang yang senang capek, jadi jangan tidak suka dengan capek. Kalau capek masih kita rasakan, berarti ada semangat yang harus dibangun dalam kehidupan.
"Aku benar-benar ga punya ide lo"
Itu barusan kamu bilang benar-benar ga punya ide, adalah bagian dari ide. Yup, ada ribuan ide sebenarnya dalam kepala ini. Sehingga seorang sastrawan  Nasional asal Medan Hasan Al Bana dalam sebuah kegiatan kemah literasi yang diikuti penulis tahun 2019 lalu di Namu Sira-Sira Langkat berkata 'ide itu sedekat urat leher'.
Ia, ide itu sedekat urat leher. Kalau saya bilang 'sedekat gusi dan gigi'. Dekat sekali. Tapi apakah kedekatan itu, lantas menjadikan akrab dengan ide? Belum tentu. Sebab dalam menulis, ada banyak alasan untuk tak menulis. Agh, belum sempat, belum ada waktu, ngurus anak, sibuk, nantilah nunggu pensiun. Lainnya, belum menerima manfaat dari menulis. Padahal sudah banyak kabar yang menggembirakan dengan menulis menjadi pemasukan tambahan, menguatkan ingatan. Sebagai guru dan dosen tentu saja menaikkan level dibandingkan dengan yang belum menulis, termasuk naik golongan. Pun pula menjadi catatan sejarah pernah menulis.
Bahkan ia juga memberikan catatan pahala yang tanpa sadar, sebab mungkin ada orang yang menjadikan tulisan yang telah ditulis menjadi bahan rujukan, panduan, atau ajaran lainnya untuk kehidupan yang lebih baik. Bahkan, berdasarkan studi tahun 2008 dalam jurnal The Oncologist menulis itu menyehatkan.
"Aku udah nulis lo di media sosial, tapi ga ada yang komentar, jadi ga semangat lagi nulisnya"
Kita memupuk semangat untuk maju bersama, bukan meminjam semangat. Â Sebab semangat tak bisa dipinjam. Bila kita tak punya uang masih bisa pinjam ke teman atau ke bank. Tapi kalau tak punya semangat, kita mau pinjam kemana? Semangat adalah pintu gerbang awal untuk dapat berkarya maksimal, kata Imam Robandi yang dituliskan Said.Â
Bahkan setelah matipun semangat itu harus dapat dirasakan. Rasulullah Muhammad SAW sudah wafat, tapi semangat mendakwahkan Islam masih terus berlanjut oleh para sahabat dan pengikutnya. Jika satu tempat tidak merespon semangat kebangkitan, maka pindahlah untuk menyerukan kebangkitan di tempat lain. Tidak boleh berputus asa, begitu pesan Said. Gelorakan semangat.
Jadi, mari kita BERHENTI BERKARYA saat kita telah dipanggil sang maha kuasa! Tunggu apa lagi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H