(Tulisan ini berdasarkan sejumlah wawancara saya dengan sejumlah tokoh yang kemudian merekomendasikan saya untuk bertemu dengan pak Tawan, sebagai generasi awal yang menetap di Siumbut-umbut. Namun sebelum saya sempat bertemu, beliau sudah berpulang. Walhasil, saya garap sendiri dengan imajinasi alakadarnya yang tetap bersumber pada cerita-cerita yang beredar sebagai publik domain)
Terkisahlah di sebuah kampung yang hidup bahagia dan suka tolong menolong. Burung-burung berkicau dengan sangat indahnya, disusul nyanyian suara binatang lain yang nyaman dengan aktivitas penduduk kampung. Rumah-rumah terbuat dari batang pohon yang kuat dan kokoh serta memiliki tangga, dibangun dengan gotong royong. Pagi sampai sore hari penduduk bercocok tanam, ada aneka sayuran, padi, dan kebutuhan pokok lainnya.
Malam itu, saat orang-orang terlelap tidur, tiba-tiba turun hujan yang sangat deras, petir sambung menyambung, angin bertiup sangat kencang. Pohon-pohon cengkeh, pisang, dan sejumlah tanaman lainnya tumbang. Air sungai mendadak naik sampai memenuhi tanaman penduduk. Tapi tak satupun penduduk yang terbangun. Hal ini mungkin karena rumah mereka terbuat dari batang pohon yang kuat dan kokoh serta memiliki tangga, hingga tak merasakan banjir besar yang datang tadi malam.
Sebagai petani dan juga kepala kampung, kebiasaan pak Tawan ketika akan ke ladang di pagi hari selalu menggunakan celana kain dan sarung yang melilit di pinggang, serta menggunakan topi lebar yang terbuat dari bambu untuk melindungi dari panas matahari dan hujan. Ketika membuka pintu rumahnya, pak Tawan terkejut.
"Ya Tuhan, ada apa ini? Kenapa tanah dan tanaman kita semua tertimbun lumpur?" Pak Tawan terkejut. Begitu juga tetangga-tetangga yang lain, yang sudah berada di depan rumah masing dengan pakaian persis dengan pak Tawan, terkejut. Mereka melihat ke bawah tangga rumah. Terendam lumpur.
Tanaman tak dapat dipanen lagi, habis dalam satu malam saja. Pak Tawan bergegas hendak melihat tanaman, turun menjejakkan kaki di tanah yang sudah berlumpur di depan rumahnya, tiba-tiba tanah bergetar hebat, dan berbunyi mbut...mbut.. suaranya terdengar sampai ke rumah tetangga sebelah rumahnya.
Pak Tawan segera memanggil pak Jum dan pak Iyus untuk melihat apa penyebab tanah di kampung mereka menjadi seperti ini. Sebab, biasanya ketika hujan yang deras dan berhari-hari, tak pernah lumpur mengendap seperti ini.
"Tolong dilihat apa yang terjadi di hulu sungai, saya rasa ada yang aneh dengan kejadian ini" kata pak Tawan.
"Siap Pak" Pak Jum dan Pak Iyus menjawab serempak. Segera pergi ke hulu sungai.
Sesampainya di hulu yaitu sebuah aliran sungai yang berada di atas, Pak Jum dan Pak Iyus menemukan banyak pohon besar yang tumbang dan sebagian besar sudah tidak ada batangnya. Ternyata ada penebangan pohon yang tak memiliki izin, hingga ketika hujan deras, yang terkena pengaruhnya adalah daerah hilir, yaitu aliran sungai yang berada di bawah.
Setelah memastikan penyebab terjadinya banjir yang meninggalkan lumpur di kampung mereka, Pak Jum dan Pak Iyus segera pulang. Mereka langsung melaporkan kejadian ini kepada pak Tawan.
"Baiklah, saya minta kita semua untuk urunan. Saling tolong menolong. Semangat rumekso yaitu menjaga, saling melindungi satu dengan yang lainnya, sebagaimana warisan orang tua kita, sekarang ini kita buktikan. Saya minta semua turut turun membersihkan lumpur dan kita menanam kembali tanaman kita" Pak Tawan menjelaskan tugas-tugas yang harus dilakukan setiap penduduk setelah mendapat informasi apa yang terjadi di hulu.
"Ia pak" kompak Dudun dan kawan-kawan juga tak mau ketinggalan. Meski masih berusia 8 tahun, mereka juga turut membantu untuk membersihkan dengan peralatan seadanya.
"Dudun,  meski kita sedang kesulitan saat ini, pesan Bapak padamu, contohlah Pak Tawan, Nak. Ia itu pekerja keras, dan selalu menolong siapapun yang membutuhkan. Sepi Ing pemreh Rame Ing Gawe" Pesan Ayah Dudun sambil membersihkan lumpur  yang menghampar.
Ditemani Pak Jum dan Pak Iyus, Pak Tawan segera menuju kota. Melaporkan hasil penemuan dari pak Jum dan Pak Iyus di hulu kepada pihak yang berwajib. Pihak berwajib segera menanggapi laporan pak Tawan dan kawan-kawan. Mereka langsung menuju hulu, dan menemukan para penebang tanpa izin dan sembarangan sedang melakukan aktivitas mereka untuk memotong pohon. Padahal, untuk memotong pohon yang ada di hutan, harus ada izinnya dari pemerintah. Selain itu setelah ditebang, harus bertanggung jawab untuk menaman kembali pohon-pohon pengganti, agar tidak banjir seperti yang terjadi di kampung pak Tawan.
Wiuw...wiuw...wiuuuww suara belasan mobil pihak yang berwajib saling sahut menyahut. Sejumlah orang pelaku penebang pohon tanpa izin dan tak bertanggung jawab segera ditangkap.
Sebagai ucapan terimakasih karena telah melaporkan kejadian yang merugikan negara, Pak Tawan dan penduduk kampung mendapatkan bantuan dari  pihak yang berwajib berupa bibit jagung dan bibit ikan nila. Penduduk berbahagia.
Tanah berbunyi dan bergetar berlangsung sampai bulan berikutnya, hingga penduduk menyebut kampung mereka 'kampung Siumbut-umbut'. Setiap lumpur yang dipijak, selalu saja berbunyi mbut...mbuut...mbut. Namun, dengan semangat gotong royong, penduduk dapat membangun kembali kampung mereka. Pekerjaan membersihkan lumpur dan menanam kembali pohon-pohon seperti sayur, padi, cengkeh, dan lainnya dapat dikerjakan dengan cepat. Tak ada satupun penduduk yang mengeluh. Bahkan Dudun pun selalu semangat setiap kali diminta Ayah untuk membantu membersihkan lumpur yang tak habis dibersihkan dalam satu minggu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H