Jika pengunduran diri ini memang dimotivasi oleh introspeksi atas kontroversi tersebut, publik patut mengapresiasi langkah tersebut. Namun, jika ini hanya strategi untuk meredam kemarahan publik tanpa perubahan substantif, maka nilai simbolis dari pengunduran diri ini patut dipertanyakan.
Gimmick atau Pembelajaran?
Penting untuk mempertimbangkan apakah pengunduran diri ini murni didorong oleh alasan moral atau hanya sekadar manuver untuk mempertahankan citra. Dalam beberapa kasus di dunia politik, pengunduran diri kerap menjadi langkah strategis untuk menghindari sorotan negatif tanpa ada konsekuensi nyata.
Jika Gus Miftah ingin menunjukkan bahwa ia benar-benar belajar dari situasi ini, langkah selanjutnya harus terlihat jelas. Menggunakan momen ini untuk merefleksikan tanggung jawab sosial, memperbaiki hubungan dengan masyarakat, dan menegaskan komitmennya terhadap nilai-nilai kesetaraan dan penghormatan lintas agama adalah hal yang lebih substansial dibanding sekadar pengunduran diri.
Apa yang Dibutuhkan ke Depan?
Sebagai tokoh publik, Gus Miftah diharapkan tidak hanya memberikan pernyataan emosional tetapi juga aksi nyata yang mencerminkan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Pengunduran diri tidak seharusnya menjadi akhir cerita, melainkan awal dari perjalanan untuk membangun kembali kepercayaan publik
Apakah langkah ini sebuah peringatan moral bagi para pemimpin lainnya atau hanya gimmick semata akan sangat ditentukan oleh apa yang dilakukan Gus Miftah setelah ini. Masyarakat, tentu saja, berharap bahwa ini bukan sekadar drama politik, melainkan sebuah transformasi nyata dari seorang pemimpin yang berkomitmen untuk mem
bawa perubahan positif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H