Mohon tunggu...
Azka Millati Putri
Azka Millati Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mahasiswa Bimbingan Penyuluhan Islam 2C, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Post-Thruth Dulu dan Sekarang

20 Mei 2024   16:53 Diperbarui: 20 Mei 2024   17:10 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Syamsul Yakin dan Azka Millati Putri, selaku Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarat.

Post-Truth terjadi sudah ada sejak dulu bukan terjadi baru-baru ini, bukan juga ada sejak munculnya media sosial, media baru, social network yang saat ini bisa ada digenggaman kita. Post-Truth berawal sejak dahulu kala dari hati manusia, bukan berawal dari ruang virtual, jemari tangan, ranah digital dan apapun yang serba online. Kebohongan yang seperti atau dirasa fakta, sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Jadi dapat kita pastikan, post-truth merupakan perilaku yang ada sejak lama, dengan kemasan baru. Dari informasi Nabi Muhammad SAW dibawah ini, kita dapat meresali apa itu Post-Thruth:

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad SAW bersabda :

Pada saat itu Ruwaibidhah berceloteh: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan. Pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat." Lalu ada yang bertanya "Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?" Nabi Muhammad SAW menjawab "Orang bodoh yang turut campur dalam urusan publik". (HR. Ibnu Majah).

Dari hadits diatas sudab jelas Post-truth telah ada sejak masa lampau, kita bisa melihat dari kalimat 'Ketika pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan'. Orang tidak lagi bisa digiring oleh opini dari sumber berita valid, banyak orang yang lebih percaya dengan berita hoaks yang dapat mempermainkan akal sehat dan emosi. Dapat dilihat dengan jelas, post-truth sejak dulu dapat mengalahkan rasionalitas, hal ini jika dibiarkan akan mengancam keunggulan dan kemandirian bangsa, mengancam kohesivitas sosial dan laju pembangunan.

Menurut psikologis, munculnya post-truth secara berurutan dimulai dari rasa ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kalah dalam persaingan, seperti kelemahan dalam tata kelola kepribadian, ilmu dan kerja keras. Post-truth merupakan rupa atau sosok orang-orang kalah yang memaksakan untuk menang, meski kemenangan itu didapat dengan intrik, agitasi dan kampanye hitam, maka jika seperti itu jadilah pendusta dibenarkan dan orang yang jujur justru didustakan. Tak bisa kita sangkal praktik politik modern telah diterpa post-truth.

Selanjutnya, post-truth dapat membuktikan bahwa watak dasar media sosial tidak humanisme, dilihat dari ketika pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Artinya, sejarah sudah membuktikan bahwa hoaks, fake news dan hate speech telah lebih dulu meluad sebelum berkembangnya media konvergensi. Atau bisa kita katakan, watak intetnet itu humanis, demokratis dan pluralis, namun sangat disayangnya di era disrupsi banyak orang diserang tanpa tahu menyerang dan seseorang yang dikhianati tanpa kenal siapa yang mengkhianati.

Munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit memperparah kondisi ini. Ruwaibidhah merupakan musuh bangsa-bangsa, bahkan peradaban. Ruwaiibidhah sebenarnya marginal dengan watak agresornya, jadi ia berada di tengah. Ia juga berhasil mengontrol keadaan, baik ekonomi dan politik dengan kemampuan retorikannya. Ruwaibidhah telah mencoreng wajah media sosial, yang seharusnya dapat digunakan secara arif dan bestari.

Untuk memenangi persaingan ini, kita harus bermental progresif dan berwatak suka memprediksi (futurolog) dengan mengusung adagium "tomorrow is today". Namun bukan sebaliknya, jadi kaum romantis-konvesional yang memegang teguh tajuk "yesterday is today". Kita akan tergilas katalis perubahan yang liar dengan kecepatan nano-second, bila tidak memenangi persaingan ini. Ingatlah, ketika flatform berubah kita hatus melakukan shifting (pergeseran) dan juga kita harus melakukan reposisi dari 'penumpang' era digital menjadi 'pengendali' era digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun