Mohon tunggu...
M. Azka Gulsyan
M. Azka Gulsyan Mohon Tunggu... -

Penulis saat ini beraktivitas sebagai Peneliti Tamu di Div. Political and Economic Dynamics, Center for Southeast Asian Studies, Kyoto University; alumnus Perencanaan Wilayah dan Kota ITB

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Perilaku Supir Angkot

23 Maret 2017   12:42 Diperbarui: 23 Maret 2017   12:50 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ringkasan:

  • Sesungguhnya secara presentase jumlah pengguna angkot masih sangat rendah dibanding  pengguna kendaraan pribadi
  • Angkot menjadi penyebab kemacetan di beberapa kota (di samping faktor jumlah) adalah karena prilaku mengemudinya yang serampangan dan berhenti di sembarang tempat (ngetem)
  • Prilaku tersebut bukan sepenuhnya akibat “buruknya etika berkendara” dari supir angkot; tetapi itu merupakan prilaku yang “paling rasional” akibat dari struktur kelembagaan (institution) alias “aturan main” transportasi yang ada saat ini

---------------------

Warga kota-kota besar di Indonesia, tentu sudah sangat jengah dengan prilaku para supir angkot di jalanan. Bagaimana tidak, mereka dengan santainya berhenti begitu saja di tengah jalan untuk mencari dan menunggu penumpang, atau lebih dikenal dengan sebutan ngetem, tanpa mengindahkan bahwa mereka telah menyebabkan kemacetan yang panjang.

Hal tersebut menjadi sebab angkot dijadikan kambing hitam atas kemacetan yang terjadi di beberapa ruas jalan kota. Memang saat ini jumlah angkot sudah begitu banyak. Berdasarkan kompilasi data dari pemkot/pemkab, organda, dan litbang kompas, jumlah angkot memang sangat besar. Ambil contoh kota/kabupaten di Jawa Barat saja: di Bandung raya mencapai 12 ribu angkot, di Kota dan Kabupaten Bogor mencapai 7.500 lebih, di Bekasi mencapai 4.500, di Depok mencpai lebih dari 2.000 lebih; bahkan di kota kecil seperti Sukabumi pun telah terdapat lebih dari 1.500 angkot.

Tetapi sesungguhnya jumlah bukanlah masalah utama dari angkot, karena, sebagai gambaran, ternyata misal di Kota Bandung saja, jumlah pengguna angkot baru berjumlah 13,5% dibanding pengguna kendaraan pribadi yang mencapai 82%. Begitu pun di Kota Bogor, yang pengguna angkot baru berjumlah 30% dibanding 70% pengguna kendaraan pribadi. Hal yang serupa terjadi di kota-kota lainnya.

Namun, jika jumlah nya belum berlebih, mengapa keberadaan angkot hampir selalu menyebabkan kemacetan di berbagai ruas jalan kota? Di sini penulis menekankan, tanpa mengeliminasi berbagai permasalahan lainnya, bahwa prilaku supir angkot yang penulis jelaskan di atas adalah penyebabnya. Akhirnya kemacetan di kota-kota besar ini seringkali terjadi bukan hanya karena jumlah kendaraan yang ada melebihi kapasitas jalan (dalam beberapa kasus benar), tetapi karena angkot yang berhenti sembarangan di tengah jalan tersebut. Inilah salah satu sumber permasalahan yang harus diselesaikan.

Di titik ini, kita perlu bertanya, mengapat mereka berprilaku seperti itu? Mengapa mereka nekat berhenti sembarangan, mengetem, dan menyebabkan kemacetan di belakangnya? Kita harus berhati-hati menelusuri akar masalah karena di sini kita dapat terjebak mengambil kesimpulan terlalu cepat dengan menuduh bahwa mereka para supir angkot memang tidak memiliki etika berkendaraan. Benarkah?

Permasalahan Kelembagaan Transportasi

Penulis berargumen bahwa akar permasalahan dari prilaku buruk tersebut adalah kelembagaan atau institusi dari sistem perangkotan di kota-kota kita. Kelembagaan (institution) secara konseptual dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan main, yang cenderung stabil, yang membentuk bagaimana manusia berprilaku atau berinteraksi. Oleh karena itu perlu untuk melihat bagaimana “aturan main” yang berlaku saat ini dalam sistem angkot untuk memahami akar masalah yang ada.

Untuk menggambarkan hal tersebut, penulis ambil contoh dari kehidupan Pak Ali, seorang supir angkot yang melayani sebuah trayek di Kota Bandung. Dalam sehari, Pak Ali wajib untuk menyetor uang hingga Rp90.000 kepada pemilik angkot. Pak Ali juga harus mengeluarkan uang sendiri untuk bensin yang rata-rata dapat mencapai Rp175.000. Sehingga Pak Ali baru mendapatkan keuntungan bila mendapatkan lebih dari Rp265.000.

Bila menggunakan standar kesejahteraan berdasarkan UMR Kota Bandung yang sejumlah Rp2.426.920, maka dalam sehari untuk dapat menghidupi keluarganya secara layak, Pak Ali setidaknya harus mengumpulkan setidaknya sekitar Rp80.000 lagi. Dengan kata lain, untuk hidup sejahterah, dalam sehari Pak Ali harus dapat mendapatkan uang sejumlah Rp345.000.

Uang sejumlah di atas tersebut harus dikumpulkan oleh Pak Ali yang hanya bersumber dari satu asal pendapatan, yakni para penumpang. Sehingga bila kita rata-ratakan ongkos per orang untuk naik angkot adalah Rp3500, maka dalam sehari, Pak Ali harus bisa mendapatkan setidaknya sebanyak 98 penumpang! Jumlah yang tidak sedikit. Ilustrasi masalah yang dihadapi oleh Pak Ali ini merupakan masalah yang umum ditemui pada supir-supir lain di kota-kota besar di Jawa Barat, dengan berbagai variasi nya.

Dengan melihat hal tersebut, maka sudah terlihat jelas tindakan apa yang harus dilakukan oleh Pak Ali dan para supir angkot lainnya untuk survive hidup dalam standar kesejahteraan: mengumpulkan penumpang sebanyak-banyak nya; yang berarti di saat penumpang sepi, ia harus menuggu penumpang datang, berhenti di setiap mulut gang, akhirnya behenti di berbagai tempat yang tidak semestinya dan mengetem.Alhasil, tindakan tersebut berbuntut kemacetan-kemacetan di bebagai ruas di kota kita.

Jalan Keluar

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pengaturan kelembagaan (institutional setting) dari sistem angkot saat ini yang mendorong para supir untuk berprilaku demikian.

Penulis tidak memungkiri bahwa mungkin terdapat sejumlah supir angkot yang memang tidak memiliki etika berkendaraan, layaknya sejumlah supir-supir kendaraan pribadi. Tetapi prilaku ngetemyang telah menjadi prilaku dominan para supir angkot memperlihatkan bahwa akar masalah nya adalah dari kelembagaan di balik sistem angkot sehingga prilaku tersebut tersebar hampir merata di supir-supir angkot.

Bila menggunakan pisau analisis dari ekonom Williamson (2000), yang terjadi saat ini adalah kelembagaan formal (aturan mengenai angkot saat ini, yakni sistem setoran dan turunannya) telah membentuk kelembagaan informal (kebiasaan mencari penumpang dengan ngetem). Yang terakhir inilah yang menjelma menjadi prilaku dari para supir angkot. Sehingga jalan keluar yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah: benahi institusi formal sistem perangkotan. Dengan kata lain, hilangkan sistem setoran dan ganti dengan sistem penghasilan tetap.

Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi sederhana seperti mesin pembayaran, atau penggunaan kartu tiket seperti yang telah digunakan di KRL commuter line. Dengan bagitu uang dari ongkos penumpang akan dapat langsung tersalurkan ke kas pemerintah kota. Selanjutnya, pemerintah kota menyalurkan uang tersebut untuk gaji tetap para supir dan berbagai peningkatan pelayanan angkot. Dengan kontrol gaji berada di pemerintah kota, maka pemerintah juga akan memilki “tangan” yang lebih kuat untuk mengatur para supir angkot yang berprilaku sewenang-wenang, dan mengatur dengan manajemen yang lebih baik.

Dengan hal itu juga maka akar terdalam dari permasalahan prilaku supir angkot ini dapat diselesaikan. Dengan adanya jaminan penghasilan yang tetap, penghasilan mereka tidak lagi bergantung pada jumlah penumpang yang diangkut, maka tidak ada lagi dorongan dan insentif bagi supir angkot untuk mengetem sembarangan. Dengan begitu mereka tidak akan lagi perlu untuk mengetemsama sekali! Bayangkanlah jalan-jalan di kota-kota kita tanpa adanya angkot yang mengetem, betapa nyaman nya.

Hal ini dapat menjadi solusi cepat, karena secara teknis hal tersebut relatif lebih mudah dijalankan, dan realtif lebih hemat secara anggaran dibanding mengganti dengan moda transportasi lain; bahkan tidak perlu mubazir membuang angko-angkot yang jumlah nya ribuan bahkan belasan ribu tersebut, tetapi memanfaatkannya dengan cara lebih baik. Kesejahteraan para supir juga dapat lebih terjamin karena pemerintah dapat menetapkan standar UMR untuk penghasilan tetap para supir angkot tersebut.

Saat ini angkot-angkot yang menjadi andalan warga tersebut dikuasai oleh para “tuan-tuan angkot” yang menikmati keuntungan pribadi dari buruk nya sistem transportasi umum kita. Karenanya, menjadikan angkot sebagai badan hukum, seperti yang tengah diupayakan oleh beberapa pemkot/pemkab saat ini menjadi langkah yang perlu dilakukan karena hanya dengan begitu pemerintah dapat mengatur para ”tuan-tuang angkot” tersebut untuk kepentingan publik, dan membenahi kelembagaan seperti yang dijelaskan di atas.

Pembenahan ini sudah begitu mendesak, karena sejatinya, transportasi umum, termasuk angkot, memang haruslah dikelola oleh publik dan digunakan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi warga kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun