Uang sejumlah di atas tersebut harus dikumpulkan oleh Pak Ali yang hanya bersumber dari satu asal pendapatan, yakni para penumpang. Sehingga bila kita rata-ratakan ongkos per orang untuk naik angkot adalah Rp3500, maka dalam sehari, Pak Ali harus bisa mendapatkan setidaknya sebanyak 98 penumpang! Jumlah yang tidak sedikit. Ilustrasi masalah yang dihadapi oleh Pak Ali ini merupakan masalah yang umum ditemui pada supir-supir lain di kota-kota besar di Jawa Barat, dengan berbagai variasi nya.
Dengan melihat hal tersebut, maka sudah terlihat jelas tindakan apa yang harus dilakukan oleh Pak Ali dan para supir angkot lainnya untuk survive hidup dalam standar kesejahteraan: mengumpulkan penumpang sebanyak-banyak nya; yang berarti di saat penumpang sepi, ia harus menuggu penumpang datang, berhenti di setiap mulut gang, akhirnya behenti di berbagai tempat yang tidak semestinya dan mengetem.Alhasil, tindakan tersebut berbuntut kemacetan-kemacetan di bebagai ruas di kota kita.
Jalan Keluar
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa pengaturan kelembagaan (institutional setting) dari sistem angkot saat ini yang mendorong para supir untuk berprilaku demikian.
Penulis tidak memungkiri bahwa mungkin terdapat sejumlah supir angkot yang memang tidak memiliki etika berkendaraan, layaknya sejumlah supir-supir kendaraan pribadi. Tetapi prilaku ngetemyang telah menjadi prilaku dominan para supir angkot memperlihatkan bahwa akar masalah nya adalah dari kelembagaan di balik sistem angkot sehingga prilaku tersebut tersebar hampir merata di supir-supir angkot.
Bila menggunakan pisau analisis dari ekonom Williamson (2000), yang terjadi saat ini adalah kelembagaan formal (aturan mengenai angkot saat ini, yakni sistem setoran dan turunannya) telah membentuk kelembagaan informal (kebiasaan mencari penumpang dengan ngetem). Yang terakhir inilah yang menjelma menjadi prilaku dari para supir angkot. Sehingga jalan keluar yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah: benahi institusi formal sistem perangkotan. Dengan kata lain, hilangkan sistem setoran dan ganti dengan sistem penghasilan tetap.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengimplementasikan teknologi sederhana seperti mesin pembayaran, atau penggunaan kartu tiket seperti yang telah digunakan di KRL commuter line. Dengan bagitu uang dari ongkos penumpang akan dapat langsung tersalurkan ke kas pemerintah kota. Selanjutnya, pemerintah kota menyalurkan uang tersebut untuk gaji tetap para supir dan berbagai peningkatan pelayanan angkot. Dengan kontrol gaji berada di pemerintah kota, maka pemerintah juga akan memilki “tangan” yang lebih kuat untuk mengatur para supir angkot yang berprilaku sewenang-wenang, dan mengatur dengan manajemen yang lebih baik.
Dengan hal itu juga maka akar terdalam dari permasalahan prilaku supir angkot ini dapat diselesaikan. Dengan adanya jaminan penghasilan yang tetap, penghasilan mereka tidak lagi bergantung pada jumlah penumpang yang diangkut, maka tidak ada lagi dorongan dan insentif bagi supir angkot untuk mengetem sembarangan. Dengan begitu mereka tidak akan lagi perlu untuk mengetemsama sekali! Bayangkanlah jalan-jalan di kota-kota kita tanpa adanya angkot yang mengetem, betapa nyaman nya.
Hal ini dapat menjadi solusi cepat, karena secara teknis hal tersebut relatif lebih mudah dijalankan, dan realtif lebih hemat secara anggaran dibanding mengganti dengan moda transportasi lain; bahkan tidak perlu mubazir membuang angko-angkot yang jumlah nya ribuan bahkan belasan ribu tersebut, tetapi memanfaatkannya dengan cara lebih baik. Kesejahteraan para supir juga dapat lebih terjamin karena pemerintah dapat menetapkan standar UMR untuk penghasilan tetap para supir angkot tersebut.
Saat ini angkot-angkot yang menjadi andalan warga tersebut dikuasai oleh para “tuan-tuan angkot” yang menikmati keuntungan pribadi dari buruk nya sistem transportasi umum kita. Karenanya, menjadikan angkot sebagai badan hukum, seperti yang tengah diupayakan oleh beberapa pemkot/pemkab saat ini menjadi langkah yang perlu dilakukan karena hanya dengan begitu pemerintah dapat mengatur para ”tuan-tuang angkot” tersebut untuk kepentingan publik, dan membenahi kelembagaan seperti yang dijelaskan di atas.
Pembenahan ini sudah begitu mendesak, karena sejatinya, transportasi umum, termasuk angkot, memang haruslah dikelola oleh publik dan digunakan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi warga kota.