Lahirnya gerakan modern Islam dalam bentuk pembaharuan sosial dan pendidikan tidak dapat dilepaskan oleh politik etis yang tengah dijalankan oleh Pemerintah Belanda pada masa itu. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah pendirian sekolah-sekolah pemerintah bermodel Barat di Hindia Belanda, yang mana mengutip pemikiran Snouck Hurgronje, berusaha “mengemansipasi” masyarakat Indonesia dari Islam melalui sekolah-sekolah pemerintah yang dikatakan “netral agama”. Terma “emansipasi” yang dipilih memperlihatkan suatu bias yang mana secara implisit mengandung anggapan Islam sebagai sumber ketertinggalan, juga suatu harapan yang dinyatakan oleh Hurgronje sendiri, agar para pelajar tersebut akan dapat terasosiasi dengan Belanda. Maka sekolah-sekolah pemerintah tersebut yang “netral agama” tidak memiliki ajaran agama, yang mengundang kekhawatiran dari pemuka umat Islam akan lepasnya (atau dalam bahasa Hurgrojne: ter-emansipasi) ikatan masyarakat muslim dari ajaran Islam.
Karenanya tokoh-tokoh modern Islam pada masa itu berusaha menandingi hal tersebut dengan mendirikan sekolah-sekolah Islam “modern”, yakni mengambil sisi kemajuan dari sekolah-sekolah pemerintah yaitu pada pengajaran ilmu pengetahuan modern, tetapi tetap memberikan pelajaran Islam layaknya pesantren-pesantren tradisional. Meski begitu, pengajaran Islam yang mereka lakukan juga dengan berbagai pembaharuan, terutama dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran pembaharuan dari timur tengah seperti Mohammad Abduh dan Rashid Redha, yang salah satu cirinya adalah penekanan terhadap ilmu alat (seperti bahasa Arab) agar para murid dapat dengan kritis mempelajari sumber-sumber pengetahuan Islam dan mengembangkannya; tidak lagi menghafal belaka dokrtin-dokrtin agama. Metode pengajaran juga diorganisir dengan modern layaknya sekolah Barat, yaitu sistem kelas-kelas dan tingkatan yang teratur dan terukur di mana jelas hasil yang diharapkan pada setiap kelas tingkat tersebut. Tidak lagi secara sporadis dengan murid yang mengelilingi sang guru di lantai tanpa tingkatan kelas yang jelas, di mana seorang santri yang telah belajar lama bisa berada satu pelajaran dengan seorang bocah yang baru. Modernisasi organisasi sekolah ini juga membuat sekolah tidak lagi bergantung semata kepada ulama pengasuh, yang seringkali mati setelah ulama tersebut wafat.
Tanda-tanda pertama daripada pembaharuan tersebut terlihat pada daerah Minangkabau. Pelopor dari pembaruan di alam Minangkabau adalah Syeikh Ahmad Khatib, turunan dari seorang hakim Paderi . Dilahirkan di Bukittinggi, ia kemudian pergi ke Mekkah pada 1876 dan mencapai keuddukan tertinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai imam dari mazhab Syafi’i di Masjid Al-Haram. Ia tidak kembali tanah asalnya, tetapi pengaruhnya begitu luas melalui tulisan-tulisannya serta murid-muridnya yang berguru kepadanya di Mekkah dan kemudian kembali ke tanah air. Ia meninggal pada tahun 1916, tetapi melalui menyebaran ide-ide pembaharuan Islam dan pemurnian agama yang dipeloporinya, pembaharuan di Minangkabau direalisasikan oleh ulama-ulama di sana: Syaikh Muhammad Taher Jalaludin, Syaikh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul)(ayahanda dari Buya Hamka), dan Haji Abdullah Ahmad.
Pembaharuan Islam dilakukan dengan pendirian dan penyebaran majalah pembaharu, serta pendirian sekolah-sekolah. Syaikh Taher menerbitkan majalah Al-Imam pada 1908, dan Haji Ahmad menerbitkan Al-Munir pada tahun 1911. Majalah tersebut menjadi wadah penyebaran ide-ide pembaharuan Islam. Sedangkan Syaikh Djambek mendirikan lembaga pendidikan yang terkenal dengan nama Surau Inyik Djambek, dan Haji Rasul aktif mengembangkan Surat Jembatan Besi mulai 1904 di Padang Panjang yang tumbuh menjadi Sumatera Thawalib (1918) yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suat partai politik pada permulaan tahun 1930-an. Murid-murid dari sekolah ini juga kemudian hari mendirikan Sumatera Thawalib, sekolah yang lebih maju dalam hal modernisasi, tetapi kemudian hari termasuki oleh gerakan komunisme yang menyebabkan perpecahan di dalamnya. Haji Rasul juga memperkenalkan organisasi Muhammadiyah di wilayah Minangkabau, yang mana Minangkabau menjadi cabang utama pertama dari Muhammadiyah di luar Jawa. Yang menarik, di daerah Minangkabau dapat ditemukan ketokohan dari perempuan dalam gerekan pembaharuan ini, yaitu oleh Rahmah yang mengembangkan sekolah Diniyah (1915), sekolah Islam modern untuk puteri, dan Rasuna Said, seorang guru di sana yang aktif memperkenalkan gerakan politik pada sekolah tersebut. Tokoh-tokoh Minangkabau tersebutlah melalui penerbitan majalah dan pendidikan, menyebarkan ide-ide pembaharuan Islam di alam Minangkabau. Ide pembaharuan yang disebarkan mereka kurang lebih sama: pembebasan dari takhayul-takhayul mistisme, pembebasan dari praktik adat yang melanggar agama, dan modernisasi metode pendidikan Islam, yang didalamnya juga diperkenalkan ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat.
Berlanjut ke pulau Jawa, nampaknya di sini gerekan pembaharuan sosial dan pendidikan Islam menjadi lebih semarak, dan organisasi yang lahir di sini pun kemudian dapat mengembangkan cabang-cabangnya hingga ke berbagai daerah nusantara lainnya. Salah satu yang paling berhasil melakukannya, dan terus berkembang menjadi organiasi sosial Islam terbesar hingga hari ini adalah Muhammadiyah. Didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, cita-cita pembaharuan tesebut muncul pada diri Dahlan setelah haji nya yang pertama pada 1903 dan menetap selama satu tahun. Salah seorang gurunya ialah Syaikh Ahmad Khatib. Pada tahun 1909 Dahlan masuk Budi Utomo untuk memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Di sana ia mendapatkan saran untuk membuka sebuah sekolah sendiri, yang didukung oleh organisasi yang ebrsifat permanen untuk menghindari nasib kebanyakan pesantren tradisional yang terpaksa ditutup apabila kiyai yang bersangkutan meninggal. Hingga lahirlah Muhammidyah, organisasi yang mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Tujuan tersebut menjadi landasan Muhammadiyah untuk melaksanakan berbagai kegiatan sosial nya luas, mulai dari mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan taligh, mendirikan wakaf dan masjid-masjid, serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah. Upaya tersebut nampaknya telah mencapai keberhasilan yang tinggi menjelang akhir periode pergerekan nasional. Pada tahun 1938 Muhammadiyah telah memiliki 852 cabang serta 898 kelompok (yang belum berstatus cabang), seluruhnya dengan 250.000 anggota, juga telah memelihara 834 masjid dan langgar, 31 perpustakaan umum dan 1.774 sekolah. Penyebaran yang begitu cepat dari Muhammadiyah ini di samping karena pengabdian yang sungguh-sungguh pada kerjanya, tetapi juga pada sikap toleran yang dimiliki oleh Muhammadiyah dalam menyebarkan gagasan-gagasan pembarahuannya.
Sikap toleran ini bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh organisasi pembaharu Islam lain yang muncul Bandung, Jawa Barat: Persatuan Islam (Persis). Berbeda dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikiran baru secara tenang dan damai, organisasi yang berdiri pada permulaan 1920-an itu lebih senang dengan perdebatan-perdebatan dan polemik, yang kadangkala berlangsung pada persoalan-persoalan khilafiyah. Persis pada umumnya kurang memberikan penekanan bagi kegiatan organisasi sendiri, juga memperbanyak cabang dan anggota. Tetapi pengaruh Persis jauh lebih besar dari jumlah cabang dan anggotanya, karena memang perhatian utama Persis lebih kepada menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai penerbitan: Al-Fatwapada 1931 dengan huruf jawi dengan sirkulasi sekitar 1.000 eksemplar dan banyak dibaca di Sumatra dan Kalimantan, juga Malaya. Setelah terhenti, digantikan dengan majalah Pembela Islampada 1935 dengan sirkulasi sekitar 2.000 eksemplar yang terbit hingga invasi Jepang. Adapula majalah dengan bahasa Sunda, Al-Taqwa, dengan sirkulasi sekitar 1.000 eksemplar, juga majalah Sual Jawab yang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari pembacanya. Di saming itu ada pula berbagai pamflet, brosur, dan buku. Semua ituterutama membicarakan masalah-masalah agama ataupun berbagai perdebatan-perdebatan yang diadakan oleh Persis dengan pihak lain. Dalam penyebaran cita-cita dan pemikiran tersebut, Persis beruntung mempunyai memperoleh dukungan dan partisipasi dari dua orangtokoh yang penting, yaitu Ahmad Hassan, yang dianggap sebagai guruPersisi yang utama pada masa sbeleum perang, dan Mohammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yangsedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai jurubicara dari organisasi tersebut dalam kalangan kaum terpelajar.
Di samping kedua organisasi tersebut, terdapat pula organisasi pembaharu Islam di bidang sosial dan pendidikan yang lahir di Pulau Jawa. Organisasi tersebut adalah Persyerikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat, dan Jamiatul Khoir serta Al-Irsyad di kalangan masyarakat Arab di Jawa. Meski demikian, pengaruh organisasi tersebut nampaknya tidak lebih dari bersifat lokal, yakni pada masyarakat Majalengka dan masyarakat Arab saja. Persyerikatan Ulama merupakan organisasi yang diprakasi oleh Haji Abdulhalim, yang belajar agama sejak kanak-kanak hingga pada umur 22 tahun, ia pergi haji dan melanjutkan pelajaran agama di sana. Di Mekkah, Halim berkenalan dengan pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam yang sedang semarak di Timur Tengah oleh Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani. Kemudian ia mendirikan Hayatul Qulub pada 1911, yang kemudian berganti nama menjadi Persyerikatan Ulama dan diakui secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917, atas bantuan O.S. Tjokroaminoto, Presiden Sarekat Islam. Lembaga pendidikan yang didirikan oleh organisasi tersebut terbilang inovatif pada masa itu, karena di samping mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum layaknya sekolah-sekolah dari organisasi pembaharu yang lain, Persyerikatan Ulama juga membekali murid-muridnya dengan kelengkapan-kelengkapan berupa pekerjaan tangan, perdagangan, dan pertanian, yang bergantung dari bakat masing-masing. Sehingga murid-muridnya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, tidak harus bergantung oleh pekerjaan pemerintah layaknya murid sekolah pemerintah atau mengajar di pesantren layaknya murid madrasah atau pesantren. Di samping itu, lembaga pendidikannya juga menekankan pembentukan watak. Sebuah konsep pendidikan yang sangat maju pada masanya. Konsep tersebut diwujudkan dengan melalui lembaga yang dinamakan Santi Asrama, yang pada tahun 1930-an memiliki murid sekitar 60 sampai 70, serta sekitar 200 anak-anak lain yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya.
Sedangkan pada masyarakat Arab Indonesia, pada masa tersebut muncul golongan progresif yang berusaha membangkitkan ketertinggalan yang dialami oleh masyarakat Arab dikarenakan sikapnya yang konservatif, yang “menolak tiap inovasi, apakah inovasi material ataupun intelektual”, dan menganggap “apapun yang datang, apalagi dari Eropa bagai sesuati yang harus dicurigai sangat”. Golongan progresif, terutama dari keluarga Aal Yahya dan Aal Syihab, meyakini bahwa langkah untuk mengejar ketertinggalan tersebut adalah melalui pendidikan. Maka lahirlah sebuah organisasi Al-Jami’yat al’Kahiriyah atau Jamiat Khair, pada 17 Juli 1905. Lembaga ini berfokus kepada pendidikan yang diberikan untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal usul, tetapi mayoritas memang orang-orang Arab. Sekolah-sekolah tersebut dikelola secara modern dan juga materi pengajaran ilmu modern di samping agama. Guru yang paling dianggap berilmu adalah Syaikh Ahmad Soorkatti, yang datang dari Sudan pada 1911. Akan tetapi terjadi perpecahan pada Jamiat Khair yang disebabkan konflik antara para golongan Sayid (keturunan Nabi) dan yang bukan. Konflik terjadi karena munculnya perasaan dari golongan non-Sayid yang merasa sederajat dengan golongan Sayid, yang terakhir ini dalam tradisi mendapatkan penghormatan khusus atas statusnya, seperti keharusa taqbil, mencium tangan seorang Sayid jika bertemu. Syaikh Soorkatti punn yang pada 1913 mengeluarkan fatwa kesetaraan antara Sayid dan non-Sayid, yang menyebakan ketidaksenangan oleh para golongan Sayid yang membuatnya keluar. Hingga akhirnya, pembaharuan dalam masyarakat Arab dilanjutkan dengan mendirikan Al-Irsyad, yang juga berfokus kepada urusan pendidikan, dan Syaikh Soorkatti tetap dianggap sebagai guru tempat meminta fatwa. Hal tersebut mewariskan konflik berkepanjangan antara Jamiat Khair yang mewakili golongan Sayid dan Al-Irsyad, yang mewakili golongan non-Sayid. Meski begitu, pendidikan modern yang dicetuskan keduanya pada masyarakat Arab terus berlanjut.
Pada sampai titik ini kita telah melihat bagaimana kiprah dan keberjalanan dari para tokoh dan organisasi-organisasi modernisasi Islam yang terpusat di Sumatera Barat dan Jawa, di mana gagasan pembaharuan tersebut dipelopori oleh Syaikh Ahmad Khatib yang uniknya justru berada di Mekkah. Maka yang belum terjelaskan adalah, apa sesungguhnya ide-ide pembaharuan Islam tersebut pada masa itu? Ada dua hal yang menjadi ciri khas para pembaharu tersebut. Soal pertama adalah prihal ijtihaddan taqlid. Para pembaharu memiliki satu persamaan dalam gagasannya, yaitu bahwa pintu ijtihad belumlah tertutup, yang konsekuensinya adalah, mengutip langsung dari Deliar Noer, mereka “menghendaki usaha yang terus menerus dalam memperbandingkan pendapat seseorang dengan pihak lain, kesediaan untuk meninggalkan pendapat yang telah diambil dan memberi temat kepada pendapat orang lain hang didasarkan atas argumen yang lebih kuat”. Konsekuensi lain adalah, mereka tidak menerima taqlid di mana mengikuti seseorang ulama atau fatwa secara membabi-buta tanpa. Kedua, mereka menghendaki pemurnian agama Islam untuk kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Hadist, dan menolak tradisi-tradisi Islam yang dianggap tidak dapat ditemukan rujukannya dalam Quran dan Hadist, “...meninggalkan kebiasaan-kebiasaan dalam mengajar yang dilakukan oleh golongan tradisi, mengecam ushalli, talqin, haul, dan kenduri untuk kematian sebagai sesuati yang bid’ah...mengecam taqbil dan menolak persoalan kafa’ah...mereka semuanya tidak menyetujui tarekat dan menolak segala macam sihir dan sebagainya”. Khusus pada daerah Minangkabau, pertentangan dengan kaum adat juga menjadi permasalahan tersendiri, kembali mengangkat ketegangan pada masa Perang Paderi. Akibat hal-hal tersebut, kita akan melihat berbagai pertentangan yang timbul dengan golongan tradisi, yang akan mejadi bahasan topik ke depan.
Adapun di saat berkembangnya gerakan modern Islam pada bidang sosial dan pendidikan, pada waktu yang hampir bersamaan, gerakan modern Islam juga bergejolak pada periode ini dalam bidang politik. Dan organisasi-organisasi sosial dan pendidikan tersebut tidak dapat lepas sepenuhnya dari prihal politik; Sumatera Thalawib berakhir dengan membentuk Persatuan Muslimin Indonesia (Permusi) yang merupakan partai politik, Muhammadiyah juga terlibat dalam perpolitikan melalui wadah Sarekat Islam meski kemudian keduanya bertikai dan berpisah, Persis pun sedikit banyak melibatkan diri juga dalam aktivitas politik. Perlu diingatkan kembali, aktivitas politik pada masa ini adalah suatu gerakan nasional yang berusaha mencapai kemerdekaan Indonesia, meski masih belum jelas dan disepakati, kemerdekaan macam apa dan negara seperti apakah yang akan dibentuk kelak? Ide-ide Islam sebagai landasan dasar bernegara sepertinya masih mendominasi pemikiran para pejuang politik Islam pada masa ini, yang nantinya akan melahirkan pertentangan dengan golongan nasionali sekuler. Tentu tantangan juga muncul dari pihak Belanda yang bahkan menganggap tidak hanya aktivitas politik Islam saja yang berbahaya, tetapi juga pada beberapa aktivitas sosial dan pendidikan Islam. Karenanya pada bagian berikut (jika berlanjut), kita akan memasuki kelanjutan dari buku Deliar Noer “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” ini, untuk melihat proses kelahiran dari gerakan politik Islam modern pertama di Tanah Air, dan dinamika yang muncul setelahnya hingga Jepang tiba, yang sepertinya semenjak kelahirannya memang sulit untuk mencapai persatuan dan selalu dipenuhi gejolak...
(disarikan dari Deliar Noer [1980] “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942” dengan ditambahi sedikit komentar-komentar)