Mohon tunggu...
Azka  Fathiyyah Mahdha
Azka Fathiyyah Mahdha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga

Undergraduate Psychology Student at Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kemasan Plastik VS Kemasan Tradisional

9 Desember 2024   23:00 Diperbarui: 9 Desember 2024   22:40 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Masalah pencemaran sampah plastik saat ini telah menjadi isu global yang mendesak dan butuh segera diatasi, dengan industri makanan sebagai salah satu kontributor terbesar. Saat ini semakin banyak makanan dalam bentuk kemasan, termasuk makanan siap saji atau makanan matang, yang dijual di toko serba ada atau diantar ke rumah melalui platform daring, sehingga mengakibatkan perubahan budaya makan bagi keluarga muda yang tinggal di kota-kota yang bergantung pada makanan siap saji ini. Tren ini lah yang menyebabkan penggunaan kemasan yang berlebihan dan penggunaan gelas plastik sekali pakai, sedotan, wadah makanan, dan peralatan makan, yang berakhir di tempat pembuangan sampah dan menyebabkan polusi yang meluas. Sampah plastik selalu menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan baik pencemaran tanah maupun laut. Sifat sampah plastik tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik, butuh waktu sampai ratusan tahun bila terurai secara alami.

Berdasarkan data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), Indonesia menjadi negara penghasil sampah plastik terbesar kedua setelah China. Permasalahan yang telah berlarut selama bertahun-tahun itu seakan menciptakan paradoks. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 70% wilayahnya adalah lautan. Namun, berjuta-juta ton sampah plastik yang tidak dikelola di Indonesia justru sebagian besar berakhir ke laut. Selanjutnya, pengemasan makanan berbahan plastik mendominasi karena murah dan praktis, tetapi berdampak buruk pada lingkungan. Sebagai alternatif, pembungkus tradisional seperti daun pisang, anyaman bambu, dan kulit kelapa menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan.

Pembungkus tradisional ini memiliki keunggulan seperti:
Ramah Lingkungan
Sebagai contoh jika kita menggunakan daun pisang sebagai pembungkus makanan, maka daun pisang tersebut akan terurai hayati (biodegradable) dalam kurun waktu 2-3 minggu. Selain itu, pembungkus alami seperti ini tidak meninggalkan residu berbahaya seperti mikroplastik yang sering ditemukan di plastik sekali pakai.

Sumber Daya Indonesia Melimpah
Bahan baku pembungkus tradisional atau alami ini dapat ditemukan dengan mudah di berbagai wilayah Indonesia. Produksi bahan baku ini juga tidak membutuhkan proses yang kompleks, sehingga dapat mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dalam rantai pasok.

Melestarikan Budaya dan Identitas Lokal
Penggunaan pembungkus alami atau tradisional ini memiliki kaitan yang erat dengan kearifan budaya lokal Indonesia. Contohnya, anyaman janur yang digunakan dalam ketupat bukan sekadar pembungkus, tetapi memiliki makna filosofis sebagai simbol pengikat kebersamaan dalam tradisi lebaran (Yayasan Kebudayaan Nusantara, 2020). Menggunakan pembungkus tradisional tidak hanya membantu lingkungan tetapi juga menjaga keberlanjutan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki, kemasan tradisional menunjukkan potensi signifikan untuk menggantikan plastik dalam berbagai sektor industri makanan. Keunggulan ini memerlukan inovasi dan modernisasi tambahan agar bisa bersaing dengan lebih efektif di pasar global. Namun, dalam penerapannya secara luas, kemasan tradisional tidak lepas dari sejumlah tantangan. Terdapat sejumlah tantangan dalam memastikan bahwa pembungkus tradisional mampu bersaing dengan plastik yang lebih dominan dan efisien dari segi ekonomis, teknis, dan persepsi publik. Contohnya jika kita menggunakan daun pisang sebagai kemasan untuk sebuah makanan, daun pisang tersebut belum tentu tersanitasi atau bersih secara optimal. Daun pisang merupakan bagian yang mempunyai peluang tercemar mikroorganisme yang paling banyak, antara lain: peluang terjadinya cemaran cemaran saat daun pisang masih ada di pohon, cemaran dari tanah saat pengambilan daun pisang, cemaran dari tangan orang yang mengambil daun, atau cemaran dari lap saat daun pisang dibersihkan. Menurut Permenkes 1096 Tahun 2011 tentang Hygiene Sanitasi Jasaboga bahwasanya Angka kuman pada peralatan 0 (nol) mengingat coliform dan salmonella sp juga termasuk kuman.

Dengan demikian, meskipun kemasan tradisional memiliki banyak keunggulan, masih ada hal yang perlu diperhatikan dalam mengelola bahan bahan alam tersebut serta memerlukan inovasi yang lebih lanjut. Peralihan dari keunggulan menuju kekurangan ini menyoroti perlunya sinergi antara tradisi dan teknologi untuk memastikan bahwa nilai-nilai keberlanjutan yang ditawarkan kemasan tradisional dapat diterapkan dalam skala yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun