Sejak pagi, suasana di kampus terasa berbeda. Beberapa dari kami tampak sibuk mengatur barang bawaan, sementara yang lain berlarian, tak sabar untuk memulai petualangan yang sudah direncanakan berbulan-bulan sebelumnya. Ada yang berbincang ringan tentang destinasi yang akan dikunjungi, ada pula yang sudah menyiapkan kamera untuk mengabadikan setiap detik perjalanan. Bagiku, ini adalah momen yang penuh makna. Sebagai mahasiswa pariwisata, perjalanan ini bukan sekadar kesempatan untuk belajar, tetapi juga untuk merasakan langsung bagaimana teori yang telah kami pelajari selama ini diterapkan dalam dunia nyata.
Tepat pukul 09.00 pagi, tour leader yang akan memimpin perjalanan kami, seorang pria muda dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya, mengkomandokan untuk segera masuk ke dalam bus. Tak lama, raungan mesin Mercedes-Benz OH 1526 dengan khas mesin asal Jerman itu mulai bergerak. Seperti irama yang memandu perjalanan kami, bus pertama melaju, diikuti oleh bus kedua yang tak kalah megah. Di luar, kampus yang selama ini menjadi tempat kami berkumpul dan belajar perlahan menjauh, seiring kami memasuki jalan raya yang akan membawa kami menuju petualangan baru. Suasana di dalam bus begitu meriah. Beberapa teman mulai membuka percakapan, ada yang bernostalgia tentang kenangan di kelas, ada yang tak sabar ingin tahu lebih banyak tentang destinasi yang akan kami kunjungi. Lalu, ada juga yang sibuk memandangi pemandangan luar, seperti baru pertama kali melihat dunia. Pemandangan pagi yang terbentang luas dengan langit biru yang cerah, pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan, dan desa-desa yang tersembunyi di balik perbukitan, semua terasa begitu indah, seperti sambutan alam untuk perjalanan kami.
Bagiku, perjalanan kali ini menjadi berbeda karena untuk pertama kalinya aku melewati proyek tol Jogja-Solo yang belum selesai pengerjaannya itu. Keindahan pemandangan tol selaras dengan iringan lagu mengiringi perjalanan kami dari tol Klaten hingga berhenti di salah satu rumah makan di Nganjuk menjadi sekuel pertama perjalanan kami menuju Pulau Dewata.Â
Setelah melewati ratusan kilometer, matahari bertukar posisi dengan bulan tak terasa perjalanan kami sampai di ujung Pulau Jawa. Melewati sumber penerangan Pulau Jawa, tak lama kami berhenti di sebuah rumah makan di daerah Situbondo. Sepiring nasi dengan lauk sayur asem menghangatkan tubuh kami. Segala resah dan gelisah seketika hilang bersama mengalirnya teh hangat ke seluruh tubuh. Setelah dirasa cukup untuk beristirahat, kawanan Bregodo kembali melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan Ketapang. Dermaga tiga menjadi titik terakhir daratan Pulau Jawa bagi kami pada malam itu. Perlahan kapal mulai beranjak, disitu pula kami mulai memasuki portal waktu di Selat Bali. Perjalanan laut malam itu terasa singkat karena kami menikmati segarnya angin laut malam.
BALI HARI PERTAMA
Perjalanan yang kutunggu akhirnya tiba, dengan roda bus bertuliskan Bridgestone menjadi pengantar langkah pertamaku di Pulau Dewata. Perasaan lega menyelimuti saat aku resmi menginjakkan kaki di Bali untuk pertama kalinya. Namun, tak lama, pandanganku menjadi gelap, dan aku terlelap, berpindah ke alam mimpi.
Pagi itu, suara "Kukuruyuk!" membangunkanku. Alarm entah milik siapa menggema di dalam bus, membuatku terkejut. Saat kubuka mata, pemandangan di luar jendela menampakkan kelokan tajam dengan jurang di sisi jalan. Sekilas, terasa seperti perjalanan menuju Gunung Kidul di Jogja. Tapi dugaanku meleset saat bus memasuki pedesaan dengan arsitektur khas Bali. Tujuan pertama kami adalah Bedugul, tepatnya Bloom Garden, tempat kami beristirahat, sarapan, dan menyegarkan diri.
Di Bloom Garden, hidangan khas Bali menyambut kami. Dari semua menu, sate lilit mencuri perhatianku. Rasanya yang khas benar-benar membuat pengalaman pertama ini tak terlupakan. Setelah selesai, kami tak lupa berfoto di taman indah itu sebelum melanjutkan perjalanan menuju Desa Wisata Batuan.
Desa Batuan, yang terletak di Gianyar, menyambut kami dengan hangat. Pemimpin desa wisata yang kebetulan merupakan alumni Universitas Gadjah Mada menyapa kami ramah. Kami diarahkan ke balai desa untuk makan siang yang disiapkan oleh para perempuan lokal. Hidangan yang disajikan penuh cita rasa khas Bali, menjadi bukti nyata pemberdayaan masyarakat setempat.
Aktivitas di Desa Batuan sangat beragam. Kami mengikuti workshop tari bersama sanggar legendaris Kaki Bebek. Setiap gerakan tari yang diajarkan begitu sarat makna, memberi kami gambaran mendalam tentang budaya Bali. Setelah itu, kami mengunjungi Pura, tempat peribadatan yang kaya nilai spiritual dan artistik.
Menjelang senja, kami meninggalkan Desa Batuan dan menuju hotel. Kelelahan selama dua hari terakhir terasa sirna ketika kasur empuk menyambut punggung kami yang rindu istirahat.
Malam harinya, setelah pulih dari kelelahan, aku dan teman-temanku memutuskan untuk menjelajahi suasana malam di Legian. Perjalanan sejauh 18 kilometer dengan taksi online membawa kami ke Tugu Bom Bali, sebuah tempat memorial yang mengingatkan akan sejarah kelam, namun kini menjadi ikon perdamaian. Kami berjalan di sepanjang jalan Legian, menikmati atmosfer malam yang dipenuhi bar dan lampu-lampu temaram. Meski tidak memasuki tempat-tempat hiburan karena mempertimbangkan prinsip agama, kami tetap mendapatkan banyak wawasan tentang wisata malam di Bali.
Ketika malam berganti hari, kami kembali ke hotel dengan penuh semangat untuk melanjutkan petualangan berikutnya di Pulau Dewata. Malam itu terasa berkesan, menambah cerita baru dalam perjalanan kami di Bali.
BALI HARI KEDUA
Pagi itu mentari menyapa dengan ceria, tetapi sinarnya gagal menyelinap ke kamarku yang tak berjendela. Sayangnya, aku harus berjuang melawan rasa panik karena lupa memasang alarm, membuat pagi itu dimulai dengan kekacauan kecil. Meski begitu, aku berhasil menyiapkan semua keperluan untuk mengarungi Pulau Dewata di hari kedua perjalanan ini.
Sarapan hangat menjadi penyelamat energiku sebelum melangkah ke dalam bus yang akan membawa kami menjelajahi keindahan Bali. Destinasi pertama: Pantai Kuta. Sepanjang perjalanan, Mbok Linda, pemandu lokal yang humoris, menghidupkan suasana dengan cerita-cerita menarik tentang Bali dan tempat-tempat yang kami lewati. Di depan Toko Oleh-Oleh Krisna, bus besar kami berhenti. Bukan untuk berbelanja, tetapi untuk berganti kendaraan ke Pajero, yang lebih lincah menyusuri gang-gang sempit menuju Pantai Kuta.
Perjalanan dengan Pajero menghadirkan sensasi baru. Gang-gang kecil yang kami lalui memamerkan perbedaan tata wilayah Bali dibandingkan Jogja. Sesampainya di Pantai Kuta, udara pantai langsung menyapa kami. Aku bergabung dengan kelompokku untuk memulai agenda utama: observasi pariwisata perkotaan. Kami memutuskan menjelajahi jalan Legian hingga Tourism Information Center (TIC) KEMENPAREKRAF. Meski harus berjalan sejauh 4 kilometer, lelah kami terbayar oleh informasi yang bermanfaat dan hadiah goodie bag berisi buku pariwisata dari berbagai provinsi.
Usai menyelesaikan observasi, kami memilih taksi online untuk kembali ke titik kumpul di Pantai Kuta. Setelah semua peserta berkumpul, perjalanan berlanjut. Makan siang kali ini kami nikmati di bus sambil menuju destinasi kedua: Pantai Melasti. Pemandangan Tol Bali Mandara menjadi sajian indah sepanjang perjalanan, membuat kami tak henti-hentinya mengagumi pulau ini.
Namun, tiba di Pantai Melasti siang hari membawa tantangan tersendiri. Terik matahari membuat sebagian dari kami berlindung di minimarket atau menikmati suasana Beach Club. Meski kenangan di pantai itu tidak begitu banyak, perjalanan kami tetap terasa istimewa.
Sore harinya, kami tiba di Garuda Wisnu Kencana (GWK). Cuaca bersahabat, angin yang lembut menemani langkah kami menyusuri kompleks ini. Puncak kunjungan kami adalah Tari Kecak GWK, sebuah pertunjukan memukau yang mengemas budaya lokal dengan apik, meninggalkan kesan mendalam di hati kami.
Hari pun beranjak malam. Perjalanan kembali ke hotel diiringi rasa puas setelah seharian menjelajahi Bali. Setibanya di hotel, ritual malam dimulai: membersihkan diri, makan malam, dan merebahkan badan yang lelah. Perjalanan ini, penuh cerita dan pelajaran, telah memperkaya pengalaman kami tentang keindahan Pulau Dewata.
BALI HARI KETIGA
Hari ketiga di Bali dimulai dengan suasana yang bercampur aduk. Di satu sisi, tubuh ini masih ingin merasakan hangatnya kasur hotel, tetapi di sisi lain, kepastian bahwa petualangan kami di Pulau Dewata akan segera berakhir membuat hati sedikit berat. Pagi itu, setelah sarapan bersama di restoran hotel, kami bersiap-siap untuk check-out. Koper-koper ditarik keluar kamar, sementara tawa dan obrolan ringan mengisi suasana lobi sebelum keberangkatan.
Bus kami melaju perlahan meninggalkan hotel, menuju perhentian pertama hari itu: toko oleh-oleh De Kranjang. Begitu tiba, suasana meriah langsung terasa. Di dalam toko, berbagai produk lokal khas Bali, mulai dari makanan ringan seperti pie susu hingga kerajinan tangan seperti kain tenun dan patung kecil, tertata rapi. Aku dan teman-temanku sibuk memilih oleh-oleh untuk keluarga dan teman di rumah. Tak lupa, aroma kopi Bali yang khas menggoda kami untuk mampir ke sudut khusus, mencicipi beberapa varian yang ditawarkan.
Setelah belanja selesai, perjalanan dilanjutkan ke sebuah restoran Padang untuk makan siang. Restoran ini sederhana, tetapi menyajikan makanan dengan cita rasa yang menggugah selera. Setelah beberapa hari menikmati masakan Bali, sepiring rendang, ayam pop, dan gulai terasa seperti sapaan akrab yang hangat. Makan siang itu penuh cerita dan tawa, membuat waktu berlalu tanpa terasa.
Selanjutnya, bus membawa kami ke tempat ikonik lainnya: Joger. Tempat ini terkenal dengan kaus-kaus berdesain unik yang dihiasi kata-kata lucu dan menggelitik. Begitu masuk, kami langsung terpikat oleh suasananya. Sebagian besar dari kami langsung berburu kaus atau suvenir lain sebagai kenang-kenangan. Sementara itu, beberapa di antara kami sibuk mengambil foto di sudut-sudut menarik yang ada di toko ini.
Setelah urusan belanja selesai, bus kami melanjutkan perjalanan panjang menuju Pelabuhan Gilimanuk. Di perjalanan, kami menikmati pemandangan Bali yang perlahan memudar di balik jendela, dengan sawah hijau dan pepohonan tropis yang bergoyang diterpa angin. Saat senja mulai turun, bus tiba di Gilimanuk, di mana kapal feri telah menunggu untuk membawa kami menyeberang ke Pulau Jawa.
Ketika kapal mulai berlayar, pemandangan laut yang gelap dengan gemerlap lampu-lampu kecil dari daratan menjadi latar belakang perjalanan kami. Suasana di kapal cukup hening, dengan beberapa dari kami memanfaatkan waktu untuk beristirahat, sementara yang lain menikmati hembusan angin laut dan membicarakan kenangan selama di Bali.
Walau perjalanan menuju Yogyakarta masih panjang, hatiku penuh dengan rasa syukur. Tiga hari di Bali telah memberikan banyak pelajaran, pengalaman, dan kenangan tak terlupakan. Seiring kapal mendekati Pulau Jawa, aku tahu bahwa perjalanan ini adalah awal dari cerita-cerita baru yang akan terus kami kenang bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI