Radikalisasi di lingkungan kampus telah menjadi fenomena yang mengkhawatirkan di Indonesia. Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya pemikiran kritis dan moderat justru malah berpotensi menjadi sarang penyebaran paham radikal yang dapat mengancam keutuhan bangsa dan negara.
radikalisme di lingkungan kampus bukanlah peristiwa yang mendadak, melainkan hasil dari perpaduan kompleks antara faktor psikologis dan sistemik. Pada fase kritis kehidupan mahasiswa, mereka berada dalam masa pencarian identitas dengan idealisme yang tinggi namun belum sepenuhnya matang akan hal itu. Kondisi psikologis ini menjadikan mereka rentan terhadap narasi perubahan radikal yang menawarkan solusi instan atas persoalan sosial.
MunculnyaKerentanan tersebut diperparah lagi oleh kelemahan sistemik di lingkungan kampus. Pengawasan kegiatan kemahasiswaan yang lemah, lalu minimnya program penguatan wawasan kebangsaan, serta sistem deteksi dini paham radikal yang tidak efektif menciptakan celah bagi penyebaran ideologi ekstrem. Ruang diskusi konstruktif yang terbatas semakin memperburuk situasi, sehingga dapat membuat mahasiswa mudah terseret arus pemikiran radikal.
Kombinasi faktor psikologis individual dan struktural institusional inilah yang secara perlahan membuka pintu bagi masuknya paham radikal di lingkungan pendidikan tinggi. Tanpa intervensi sistematis dan komprehensif, ancaman radikalisme akan terus menggerogoti iklim akademik yang seharusnya menjadi ruang pencerahan dan pengembangan pemikiran kritis.
Dampak Radikalisme di Kampus
Radikalisme di kampus tidak sekadar ancaman teoritis, melainkan bahaya nyata yang dapat menimbulkan dampak yang dapat merusak dan merugikan pada berbagai pihak. Secara individual, mahasiswa yang terpapar paham radikal mengalami penurunan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis. Mereka kehilangan kemampuan untuk memahami perbedaan, bersikap intoleran, dan berpotensi membenarkan kekerasan sebagai solusi. Proses alienasi dari lingkungan sosial pun tak terhindarkan, membuat mereka terisolasi dari pergaulan yang sehat dan konstruktif.
Dampak institusional tidak kalah mengkhawatirkan. Kampus yang terinfeksi radikalisme akan mengalami penurunan kualitas akademik secara sistematis. Iklim akademik yang kondusif untuk pertukaran pemikiran akan rusak, nilai-nilai keilmuan yang seharusnya menjunjung objektivitas dan rasionalitas akan hancur, serta reputasi institusi pendidikan akan tercoreng. Ini bukan hanya sekadar persoalan internal kampus, melainkan ancaman nyata terhadap sistem pendidikan nasional yang ada di indonesia.
Skala nasional menunjukkan bahwa bahaya radikalisme yang jauh lebih kompleks. Paham ini secara nyata mengancam persatuan bangsa, melemahkan sistem demokrasi, dan menjadi hambatan serius dalam proses pembangunan nasional. Potensi konflik horizontal yang ditimbulkan dapat memecah belah masyarakat, mengancam keutuhan sosial yang telah dibangun dengan susah payah.
Menghadapi ancaman ini, diperlukan strategi komprehensif. Penguatan sistem kampus melalui membangun sistem deteksi dini, peningkatan pengawasan kegiatan mahasiswa, dan pengembangan kurikulum wawasan kebangsaan menjadi langkah fundamental. Pemberdayaan sivitas akademika melalui pelatihan literasi digital, workshop pemikiran kritis, dan program dialog lintas iman perlu dilakukan secara berkelanjutan.
Kolaborasi multi-stakeholder menjadi kunci penanganan radikalisme. Kerjasama antara kampus dengan tokoh agama, masyarakat, aparat keamanan, alumni, dan media massa dapat menciptakan sistem pertahanan yang solid. Hanya melalui pendekatan sistematis dan terintegrasi, ancaman radikalisme dapat diminimalisir dan kampus kembali menjadi pusat pencerahan bangsa.
KesimpulanÂ