Mohon tunggu...
Azka Maulana Fikri Ramadhan
Azka Maulana Fikri Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Saya ingin Menjadi penulis yang aktif

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kasus Prita Mulyasari: Analisis Berdasarkan Pandangan Filsafat Hukum Positivisme

22 September 2024   01:12 Diperbarui: 23 September 2024   23:21 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kronologis kasus prita mulyasari bermula ketika ia sedang memeriksa kesehatan bertempat di Rumah Sakit Omni Internasional dengan keluhan panas tinggi dan pusing kepala dan oleh sang dokter di diagnosa menderita demam berdarah. Setelah itu prita didatangi dokter dan disuntik tanpa pemberitahuan jenis dan tujuan penyuntikan. Tak lama setelah itu terjadi kejanggalan yang dialami tubuh prita seperti tangan kiri membengkak dan suhu badan naik. Kejadian ini terus berlangsung dan membuat prita bertambah parah di beberapa bagian tubuh dari pihak keluarga juga meminta penjelasan dari dokter tentang kondisi dan keadaan pasian. Dari kejadian tersebut, prita menulis dan mengirimkan email pribadi terkait keluhan pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional. kemudian email tersebut akhirnya tersebar kedunia maya dan akhirnya RS Omni mengatahuinya terjadi upaya mediasi diantara keduanya namun berakhir buntu. Kasus Prita Mulyasari ini melibatkan gugatan pencemaran nama baik, setelah ia mengirimkan email yang berisi kritik terhadap pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional, dapat dianalisis dari sudut pandang filsafat hukum positivisme. Positivisme hukum menekankan pada penerapan hukum yang tegas, berdasarkan aturan tertulis tanpa memperhatikan aspek moralitas di luar hukum itu sendiri.

Dalam kasus Prita Mulyasari, hukum diterapkan berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik. Dia juga dituntut secara pidana dengan pasal 310 dan 311 KUHP mengenai penghinaan.  Jika dilihat dari sudut pandang filsafat positivisme hukum, tindakan Prita dianggap sebagai pelanggaran hukum karena aturan hukum tertulis menyatakan bahwa menyebarkan informasi yang dianggap merugikan reputasi orang lain melalui media elektronik merupakan tindakan yang bisa dikenakan sanksi. Padahal niat dari Prita untuk mengkritik demi kepentingan umum dan tidak ada unsur penghinan. Hal ini dapat diketahui positivisme hukum lebih memandang dari aspek pelanggaran aturan yang ada, sehingga Prita bisa dilaporkan pengadilan.

Dalam kasus prita UU ITE adalah produk hukum yang disahkan secara sah oleh pemerintah indonesia dan pengadilan hanya menjalankan sesuai tindakan yang sesuai aturan tertulis tersebut. Ketika prita dibawa ke Pengadilan Negeri Tangerang hakim bertindak sesuai dengan hukum positif yang berlaku dan tidak berdasarkan pada moral atau keadilan substantif. Terlepas dari moralitas, positivisme hukum menyatakan bahwa moralitas bukanlah hal urama yang dapat dipertimbangkan dalam penerapan hukum. Asalkan sudah ada atura yang jelas maka, aturan itu yang dijadikan sebagai landasan dasar menentukan kesalahan atau tidaknya seseorang. Dari kasus ini sebenarnya menimbulkan perdebatan tentang apakah hukum pencemaran nama baik ini harus mempertimbangkan dengan aspek moral seperti halnya kebebasan berbicara. Namun disisi lain hukum tertulis harus tetap ditegakkan dilihat dari positivisme hukum.

Dalam analisis dari perspektif hukum positivisme, fokus utama adalah penerapan aturan secara objektif dan sesuai dengan hukum yang ada. Namun, kasus ini terdapat kelemahan pendekatan positivis yang membuat sejumlah kalangan menilai bahwa penegakan hukum yang terlalu kaku dengan tidak  mempertimbangkan aspek moral. Hal ini dapat menghasilkan keputusan yang dirasa tidak adil oleh masyarakat dan menunjukkan aturan hukum yang formalistik tidak menghasilkan keadilan substantif.

Kesimpulannya, dari perspektif hukum positivisme, kasus Prita Mulyasari menunjukkan bagaimana hukum formal diterapkan secara tegas sesuai aturan yang ada. Namun pada kasus ini tidak menekankan pada aspek moralitas atau keadilan sosial. Hal ini perlu untuk diperhatikan karena sosial masyarakat beranggapan itu hanya kebebasan dalam berpendapat. Kelemahan positivisme hukum terdapat pada kasus ini dengan tidak adanya kepekaan aspek moralitas dan dianggap terlalu legalistik. Kasus ini juga dapat menjadi diskusi hukum yang dimana perlunya reformasi hukum itu tidak hanya berfokus pada penerapan tertulis, akan tetapi juga memperhatikan pada prinsip keadilan secara luas.

Apa Madzhab Hukum Positivisme?

Mazhab hukum positivisme adalah aliran filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum harus dipahami sebagai aturan-aturan yang tertulis dan ditegakkan oleh negara, terlepas dari moralitas atau nilai-nilai sosial. mazhab positivisme memandang hukum sebagai perintah yang memiliki kedaulatan yang tidak berkaitan dengan moral, etika dan keadilan. Hukum tidak mengurus masalah-masalah adil atau tidak adil. Cita hukum adalah kepastian hukum. Karenanya, hukum itu mengikat karena ia adalah perintah dari penguasa yang berdaulat.

Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum di Indonesia?

Menurut pendapat saya dalam mazhab positivisme, hukum itu dipisahkan dari moralitas. Hukum tidak dilihat sebagai alat untuk mencapai keadilan yang substantif atau sesuai dengan nilai-nilai moral masyarakat, tetapi lebih pada penerapan aturan yang ada. Di Indonesia hukum yang sudah menjadi ketetapan dan menjadi peraturan yang ditujukan pada masyarakat atas menentukan salah atau tidaknya seseorang. Hukum di indonesia penerapannya tidak hanya berdasarkan pada aturan tertulis saja tetapi melibatkan aspek moral, nilai nilai sosial dan budaya. Perihal ini membuat hukum positif yang bersifat kaku didalam masyarakat tidak mencerminkan keadilan. Hukum positif yang di indonesia tidak hanya formal saja tetapi harus substansif dan adil. Keadaan masyarakat yang plural dan heterogen membuat keadilan dan kepastian hukum menjadi bertentangan dengan keadilan sosial. Keadilan sosial disini mencakup kesejahteraan dan keadilan distributif yang dimana tidak terwakili oleh positivisme hukum.

 Referensi : Maryati, kritik terhadap paradigma positivisme hukum dan beberapa pemikiran dalam rangka membangun paradigma yang berkeadilan, (Jambi, Inovatif, 2014), hlm.80-82

                   Hadi, KEKUATAN MENGIKAT HUKUM DALAM PERSPEKTIF MAZHAB HUKUM ALAM DAN MAZHAB POSITIVISME HUKUM, (Surabaya, Legality, 2017). Hlm. 95

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun