Perbincangan mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi sebuah topik yang tidak akan mati, mengingat bahwa HAM adalah konsep yang membebaskan manusia dari belenggu diskriminasi atau penindasan---namun tidak jarang pula konsep ini terlupakan oleh kalangan tertentu. Mari kita merenungkan sejenak makna HAM secara definitif. Watoni (2022) menyumbangkan pikirannya dengan menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia merupakan keseluruhan hak yang seorang manusia miliki, dan mereka tidak akan memiliki kehidupan yang layak tanpa diakuinya hak-hak tersebut. Elemen yang menjadi dasar berfungsinya HAM yaitu keharusan individu untuk menggunakan dan mengembangkan kesempatannya berdasarkan bakat maupun cita-cita masing-masing (Boediningsih & Dermawan, 2023).Â
Unsur normatif pada topik tulisan kali ini adalah 'hak' yang mana memiliki peran untuk menjadi acuan dalam bersikap, kekebalan, melindungi dan menghormati kebebasan, dan memberikan jaminan bagi seluruh orang untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat (Kumala Sari & Budoyo, 2019). Setelah mengetahui konsep dasar mengenai HAM, kita perlu mengerti bahwa hak asasi manusia merupakan isu yang eksis semenjak peradaban manusia di ribuan tahun yang lampau. Oleh karena itu, melalui tulisan ini kita akan dibawa melintasi zaman untuk menjadi saksi bisu atas geneaologi dan perkembangan hak asasi manusia.
Perjalanan pertama kita dimulai dari perdaban ketika Babilonia berkuasa dan menciptakan suatu hukum yang bernama Hukum Hamurubi pada 2000 SM (Smith dkk., 2008). Garis besar hukum ini adalah rentetan aturan atau hukum yang memuat beragam ketentuan dengan tujuan agar seluruh warga negara memiliki keadilan yang sepantasnya---ketika pemerintahan yang bergerak di bawah kerajaan Babilonia memimpin dengan sewenang-wenang. Beratus-ratus kemudian, tepatnya 600 SM, wilayah Anthena memberikan pembeharuan terhadap peraturan mengenai HAM serta menyusun dan menciptakan perundang-undangan kepada warga negara agar persamaan dan keadilan mereka terjamin. Tokoh pada masa ini adalah Solon, dan ia berpandangan bahwa perlu dilakukan pembebasan terhadap para budak yang terkekang oleh majikannya dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk membayar hutang. Solon kemudian melakukan gerakan untuk memberikan kebebasan bagi warga Athena dengan mendirikan Pengadilan/Mahkamah (Heliaea) serta majelis rakyat (Eclesia) (Smith dkk., 2008).
Selanjutnya, mari kita berhenti sejenak untuk memahami sejarah HAM dan perkembangannya di kalangan para filsuf. Tidak jauh berbeda dengan implikasi hukum HAM pada masa sebelumnya, Socrates, Plato, dan Aristoteles menghubungkan konsep hak asasi dengan tugas atau kewajiban negara. Pada masa tersebut, sistem pemerintahan demokrasi dinilai mengabaikan kebebasan dan keadilan antar manusia sehingga fenomena tersebut menjadi target kritik Socrates (Boediningsih & Dermawan, 2023).
Dalam kritiknya, ia mengajarkan keadilan, keutamaan, dan kebijaksanaan. Di sisi lain, Plato di suatu waktu menuangkan idenya untuk memberlakukan kecakapan dan kemampuan sebagai syarat aagar rakyat mampu memilih pejabat atau petugas. Plato merujuk ideologi yang dikemukakan oleh Perikles sehingga ia berpandangan bahwa menjalankan sistem demokrasi dalam badan pemerintahan mampu melengserkan hak warga negara (Boediningsih & Dermawan, 2023).Â
Pemikiran yang kontra disampaikan oleh Aristoteles, sebab ia menyebutkan bahwa mengimplementasikan kekuasaan yang menjadikan kepentingan umum sebagai prioritas mampu memperbaiki mutu suatu negara. Oleh karena itu, Aristoteles mengenalkan Negara Politeia, yang dapat dipahami sebagai negara demokrasi berlandaskan undang-undang (Retno Kusniati, 2011). Maknanya, seluruh rakyat mulai dari yang tidak berpendidikan atau berpindidikan, yang miskin atau yang kaya raya dapat melakukan campur tangan dalam pemerintahan.
Kilas balik HAM kali ini berada di tahun 1215 dengan lahirnya piagam Magna Charta, ketika perlawanan dilakukan oleh para bangsawan yang kontra akan sikap kesewenangan raja Inggris (Gonggong dkk., 1995). Lantas, apa sebenarnya Magna Charta? Perlu diketahui, Magna Charta merupakan sebuah piagam besar yang memuat 63 pasal dan para bangsawan memaksa raja Inggris untuk menanda tanganinya. Eksistensi Magna Charta bertujuan untuk mengembalikan hak-hak dan keadilan para bangsawan yang dalam perkembangannya berlaku untuk rakyat. Piagam tersebut hakikatnya berubah menjadi supremasi hukum yang meletakkan kekuasaan berada di bawahnya, dan menjadi acuan bagi negara Inggris untuk membentuk pemerintahan monarki konstitusional. Terdapat empat elemen yang digarisbawahi oleh piagam ini, yaitu: (1) Pembatasan terhadap kekuasaan raja (Gonggong dkk., 1995); (2) Mengedepankan HAM dibandingkan kekuasaan atau kedaulatan raja; (3) Penggunaan persetujuan bangsawan dalam menangani isu kenegaraan yang penting seperti pajak; (4) Mentiadakan pengasingan, perampasan kekayaan, atau penahanan terhadap satu orang pun dari rakyat kecuali atas perimbangan hukum.
Perkembangan HAM dalam sejarah dunia memiliki beberapa momen penting di negeri Paman Sam. Pertama, adalah lahirnya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat pada tanggal 4 Juli di tahun 1776 yang didalamnya berisi pernyataan tegas bahwa Sang Pencipta melahirkan manusia dengan keadaan yang sederajat dan sama (Watoni, 2022). Secara lebih terperinci, hal ini mengartikan bahwa manusia memiliki ha katas kebebasan, kemerdekaan, dan hidup dengan damai---dimana hak mereka tidak dapat dihilangkan oleh pihak manapun.Â
Kemudian, bergeser dikit kita berpindah pada masa bagaimana HAM berkembang di bawah pemerintahan Abraham Lincoln. Mantan Presiden AS tersebut terkenal dengan gerakannya yang selalu membela HAM dan memberantas perbudakan. Lincoln menyuarakan kesetaraan hak dan memberikan kemerdekaan kepada seluruh warga negara tanpa mempertimbangkan jenis kelamin, agama, ras, dan warna kulit. Selanjutnya di bawah kepemimpinan Franklin D. Roosevelt, ia memberikan beberapa ajaran atas kebebasan manusia yang bertujuan demi meraih perdamaian (Smith dkk., 2008), di antaranya adalah; kemerdekaan berbicara, kemerdekaan menentukan agama dan menjalaninya, kemerdekaan untuk bebas dari rasa takut, dan kemeredakaan untuk bebas dari kelaparan dan kekurangan.
Setelah kita mengikuti sejarah dan perkembangan HAM dari waktu ke waktu, kita berhasil belajar bahwa HAM adalah persoalan yang universal. Kita dapat melihat secara langsung praktik HAM yang terjadi di tanah air, dan sepakat bahwa implementasi HAM hanya sekedar formalitas dikarenakan meroketnya fenomena diskriminatif. Manusia berdompet tebal maka akan didatangi keadilan dari mana saja, namun sebaliknya, masyarakat tanpa uang dan kekuasaan akan kerap dirampas keadilannya. Hingga saat ini isu tanpa akhir bermunculan, terutamanya yang berkaitan dengan krisis pemberian HAM dan keadilan bagi masyarakat yang memang membutuhkannya.Â
Keadilan menjadi akses gratis bagi mereka yang memiliki kekuasaan tinggi, harta melimpah. Berdasarkan tulisan ini kita sadar bahwa perjuangan HAM di dunia muncul ketika adanya penindasan pada masyarakat tidak berkasta, yang pada dasarnya pelecehan terhadap HAM. Maka dari itu, dirumuskannya HAM ke dalam hukum positif hingga saat ini baik dunia maupun Indonesia, diharapkan dapat meminimalisir kasus-kasus pelanggaran HAM, sebab adanya ketentuan hukum ini bertujuan untuk mengikat kedua belah pihak, yakni negara atau warna negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H