Masih ingat oleh kita, bagaimana celoteh khas Tukul Arwana dalam setiap kesempatannya, yang selalu saja berkalakar "ndeso... ndeso... ndeso, yo ben sing penting rezki kuto!" (kampungan.. kampungan.. kampungan, ya gapapa yang penting rezekinya kota). Ndeso selalu diidentikkan dengan kekolotan, kampungan bahkan udik, sampai-sampai kita dihebohkan dengan istilah Tampang Boyolali, yang identik dengan orang ndeso yang kelasnya bukan masuk hotel bintang lima.Â
Namun tulisan ini bukan sedang ingin menyoroti Tampang Boyolali, yang sangat politis itu! Saya walau bukan asli wong Boyolali, namun menjadi geli juga melihat respon orang-orang dengan melawan sindiran Tampang Boyolali, dengan menanggapinya over reaktif.Â
Seharusnya wajah ndeso ini bisa kita ubah citranya, melalui prestasi yang membanggakan, atau setidaknya siapa saja yang sukses di luar sana, untuk tergerak, atau terpanggil untuk membangun desa lebih beradab. Toh, akses untuk membangun desa dapat kita manfaatkan dari program-program pemerintah, seperti halnya Dana Desa maupun Alokasi Dana Desa. Kita sadar, bahwa dana sebesar itu membutuhkan sumberdaya manusia yang kritis, terampil dan berjiwa enterpreuneur sejati.Â
Siapa mereka? Ya kita-kita yang sudah sukses tadi, sukses kuliahnya atau bahkan sukses dengan prestasinya di tanah rantau, enggak ada salahnya untuk kembali, bangun "deso" agar lebih beradab. Â
Seperti yang sudah diungkapkan di atas, makna ndeso secara subtansi sangat erat dengan konotasi kampungan, udik dan istilah haru lainnya. Ndeso itu seperti cacian, atau lebih sadisnya seperti sedang menyindir apabila kita kurang paham dengan sesuatu hal yang terbarukan. Namun sudut pandang wajah ndeso kali ini, lebih mengarah kepada mereka-mereka yang sukses "balek deso mbangun deso", atau lebih mulianya adalah mengubah wajah ndeso mereka, agar lebih berseri dengan ilmu dan kreativitas yang mereka abdikan. Ya, pengabdian dengan berjuta tantangan tanpa melihat profit yang akan mereka dapatkan. Tapi setidaknya orang-orang ini patut untuk diceritakan, agar ndeso bukanlah sesuatu yang naif, atau setidaknya mbali ndeso (dalam istilah Jawa), bukanlah alternatif terakhir, karena tidak suksesnya di tempat perantauan.
Mungkin kita semua pernah diingatkan, bagaimana Desa Ponggok yang terdapat di wilayah Kabupaten Klaten, saat ini telah melakukan transformasi dari keadaan yang miskin menjadi sejahtera. Dahulu penghasilan desa Ponggok dalam setahun hanya sebesar Rp. 80 juta/ tahun, namun per-tahun 2017, desa Ponggok mampu meraup penghasilan sebanyak Rp. 3,9 miliar. Hal ini berkat kemampuan sang Kepala Desa, Junaedi Mulyono, yang telah menjabat sejak tahun 2006.
Kemampuan beliau dalam mengubah wajah ndeso ini sangat luar biasa. Beliau mencoba merangkul akademisi untuk turut menyumbangkan pemikiran ilmiahnya, demi kemajuan desa yang dipimpinya. Melalui kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), universitas mengirimkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata ke desa, untuk melakukan identifikasi masalah hingga solusi apa yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan desa selama ini. Dimana hasil kerjasama tersebut menghasilkan konsep wisata air tawar, yang kita kenal saat ini dengan Umbul Ponggok.
Sosok Junaedi Mulyono menjadi sangat terkenal, di saat Menteri Keuangan dalam kunjungan kerjanya ke Desa Ponggok, dimana bu Menteri dengan spontan mengajak Pak Kades untuk melakukan swafoto bersama.Â
Semua itu sangat wajar terjadi, mengingat beliau sebagai kepala desa muda yang mampu mengaplikasikan sila keadilan sosial di dalam Pancasila kepada warganya. Satu hal yang membuat kita takjub, bagaimana di usia muda beliau rela mengorbankan jiwanya untuk mengabdi di desa tercinta, dengan menyandang gelar sarjana hukum, yang semestinya memiliki peluang untuk berkarier di luar sana.
Selanjutnya ada kisah gila, seorang pemuda desa alumni Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi (STAN) Jakarta, yang pada tahun 2013, dia diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan. Namun berjalan 3,5 tahun bekerja, dia mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, untuk memilih kembali ke desa. Dia adalah Nofi Bayu Darmawan, seorang pemuda Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, suatu wilayah yang jauh dari keramaian kota, yaitu di pelosok desa di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah.
Melalui kemampuan digital marketing, sosok Nofi nekat balik ndeso, dimana sebelumnya ia harus mengganti denda sebesar 45 juta, karena mundur sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang saat itu gajinya sebesar 5,5 juta. Namun menurutnya gaji tersebut belum seberapa dengan penghasilannya dalam sehari sebagai digital marketing. Alasan balik ndeso sebenarnya diwarnai dengan alasan yang mulia, yaitu adanya gejolak di dalam dirinya yang berkecamuk saat banyak para pemuda desanya yang kesulitan mencari pekerjaan dan lebih memilih ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Â Â