Mohon tunggu...
Aziz Zulhakim
Aziz Zulhakim Mohon Tunggu... -

Pemimpi | Pencerita | Pencinta | Pemerhati https://azizzulhakim.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wajah Ndeso

20 November 2018   06:58 Diperbarui: 2 Desember 2018   01:16 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: http://www.pictame.com/tag/PanenPari

Masih ingat oleh kita, bagaimana celoteh khas Tukul Arwana dalam setiap kesempatannya, yang selalu saja berkalakar "ndeso... ndeso... ndeso, yo ben sing penting rezki kuto!" (kampungan.. kampungan.. kampungan, ya gapapa yang penting rezekinya kota). Ndeso selalu diidentikkan dengan kekolotan, kampungan bahkan udik, sampai-sampai kita dihebohkan dengan istilah Tampang Boyolali, yang identik dengan orang ndeso yang kelasnya bukan masuk hotel bintang lima. 

Namun tulisan ini bukan sedang ingin menyoroti Tampang Boyolali, yang sangat politis itu! Saya walau bukan asli wong Boyolali, namun menjadi geli juga melihat respon orang-orang dengan melawan sindiran Tampang Boyolali, dengan menanggapinya over reaktif. 

Seharusnya wajah ndeso ini bisa kita ubah citranya, melalui prestasi yang membanggakan, atau setidaknya siapa saja yang sukses di luar sana, untuk tergerak, atau terpanggil untuk membangun desa lebih beradab. Toh, akses untuk membangun desa dapat kita manfaatkan dari program-program pemerintah, seperti halnya Dana Desa maupun Alokasi Dana Desa. Kita sadar, bahwa dana sebesar itu membutuhkan sumberdaya manusia yang kritis, terampil dan berjiwa enterpreuneur sejati. 

Siapa mereka? Ya kita-kita yang sudah sukses tadi, sukses kuliahnya atau bahkan sukses dengan prestasinya di tanah rantau, enggak ada salahnya untuk kembali, bangun "deso" agar lebih beradab.  

Seperti yang sudah diungkapkan di atas, makna ndeso secara subtansi sangat erat dengan konotasi kampungan, udik dan istilah haru lainnya. Ndeso itu seperti cacian, atau lebih sadisnya seperti sedang menyindir apabila kita kurang paham dengan sesuatu hal yang terbarukan. Namun sudut pandang wajah ndeso kali ini, lebih mengarah kepada mereka-mereka yang sukses "balek deso mbangun deso", atau lebih mulianya adalah mengubah wajah ndeso mereka, agar lebih berseri dengan ilmu dan kreativitas yang mereka abdikan. Ya, pengabdian dengan berjuta tantangan tanpa melihat profit yang akan mereka dapatkan. Tapi setidaknya orang-orang ini patut untuk diceritakan, agar ndeso bukanlah sesuatu yang naif, atau setidaknya mbali ndeso (dalam istilah Jawa), bukanlah alternatif terakhir, karena tidak suksesnya di tempat perantauan.

Mungkin kita semua pernah diingatkan, bagaimana Desa Ponggok yang terdapat di wilayah Kabupaten Klaten, saat ini telah melakukan transformasi dari keadaan yang miskin menjadi sejahtera. Dahulu penghasilan desa Ponggok dalam setahun hanya sebesar Rp. 80 juta/ tahun, namun per-tahun 2017, desa Ponggok mampu meraup penghasilan sebanyak Rp. 3,9 miliar. Hal ini berkat kemampuan sang Kepala Desa, Junaedi Mulyono, yang telah menjabat sejak tahun 2006.

Kemampuan beliau dalam mengubah wajah ndeso ini sangat luar biasa. Beliau mencoba merangkul akademisi untuk turut menyumbangkan pemikiran ilmiahnya, demi kemajuan desa yang dipimpinya. Melalui kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM), universitas mengirimkan mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata ke desa, untuk melakukan identifikasi masalah hingga solusi apa yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan desa selama ini. Dimana hasil kerjasama tersebut menghasilkan konsep wisata air tawar, yang kita kenal saat ini dengan Umbul Ponggok.

Sosok Junaedi Mulyono menjadi sangat terkenal, di saat Menteri Keuangan dalam kunjungan kerjanya ke Desa Ponggok, dimana bu Menteri dengan spontan mengajak Pak Kades untuk melakukan swafoto bersama. 

Semua itu sangat wajar terjadi, mengingat beliau sebagai kepala desa muda yang mampu mengaplikasikan sila keadilan sosial di dalam Pancasila kepada warganya. Satu hal yang membuat kita takjub, bagaimana di usia muda beliau rela mengorbankan jiwanya untuk mengabdi di desa tercinta, dengan menyandang gelar sarjana hukum, yang semestinya memiliki peluang untuk berkarier di luar sana.

Selanjutnya ada kisah gila, seorang pemuda desa alumni Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi (STAN) Jakarta, yang pada tahun 2013, dia diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Keuangan. Namun berjalan 3,5 tahun bekerja, dia mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, untuk memilih kembali ke desa. Dia adalah Nofi Bayu Darmawan, seorang pemuda Desa Tunjungmuli, Kecamatan Karangmoncol, suatu wilayah yang jauh dari keramaian kota, yaitu di pelosok desa di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah.

Melalui kemampuan digital marketing, sosok Nofi nekat balik ndeso, dimana sebelumnya ia harus mengganti denda sebesar 45 juta, karena mundur sebagai Pegawai Negeri Sipil, yang saat itu gajinya sebesar 5,5 juta. Namun menurutnya gaji tersebut belum seberapa dengan penghasilannya dalam sehari sebagai digital marketing. Alasan balik ndeso sebenarnya diwarnai dengan alasan yang mulia, yaitu adanya gejolak di dalam dirinya yang berkecamuk saat banyak para pemuda desanya yang kesulitan mencari pekerjaan dan lebih memilih ke kota besar untuk mencari pekerjaan.    

Tantangan dimulai oleh Nofi, di saat berhadapan langsung dengan orang desa yang pola pikirnya masih belum tertata dan sederhana. Sehingga titik awal dilakukannya dengan mengajarkan mereka dari nol tentang apa itu bisnis online, cara kerja bisnis online serta transaksi dalam bisnis online. Hasil jerih payahnya terbayarkan, setelah dua pemuda yang diajukannya kepada partner bisnis, mengapresiasi kinerja mereka. Dengan hasil tersebut, kini Nofi telah berkembang dengan mengembangkan sumber daya manusia bisnis online melalui payung Kampung Marketer, yang ia dirikan untuk mengakomodir permintaan sumber daya manusia di bidang bisnis online tersebut.

Kini Nofi telah merasakan hasil kerjanya, dengan memiliki enam kantor yang didirikan di dua desa dengan karyawan kurang lebih sebanyak 200 orang. Adapun karyawan tersebut merupakan sumber daya manusia terampil dibidang customer service bisnis online, iklan, content writer, serta leader customer service, yang direkrut dari pemuda dan pemudi di delapan desa sekitar Desa Tunjungmuli.  

Nofi menargetkan, Kampung Marketer bisa memberdayakan masyarakat desa dan mengurangi angka pengangguran serta arus urbanisasi dari desa ke kota sekitar 1.000 karyawan. Dia juga ingin membuat anak-anak desa mengerti cara memanfaatkan teknologi. Setidaknya dengan berkembangnya teknologi saat ini, dapat memberikan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat desa, dengan memanfaatkan smart phone sebagai kekuatan ekonomi baru mereka.

 Melalui artikel ini, saya ingin menyampaikan bahwa wajah ndeso bukanlah tampang welas asih, bahkan kampungan. Tapi setidaknya, ada kisah orang-orang hebat yang rela untuk merubah wajah ndeso menjadi lebih elegan. 

Yang terpenting adalah wajah ndeso naik kelas, melalui hasil karya anak muda yang peduli, bukan yang turun ke jalan karena terhina oleh ucapan seseorang, yang mengkritik keadaan sosial ekonomi daerahnya. Akan tetapi, kritikan tersebut harus mampu memacu serta memicu kita untuk menepisnya dengan pembuktian, ya pembuktian seperti sosok Junaedi dan Nofi.

Sumber refrensi

1. https://www.youtube.com/watch?v=DtbUNcTaiwQ

2. https://nasional.tempo.co/read/902896/cerita-sukses-kepala-desa-ponggok-yang-diajak-selfie-sri-mulyani/full&view=ok

3. https://inet.detik.com/cyberlife/d-3906135/mengintip-kampung-bisnis-online-di-purbalingga

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun