Mohon tunggu...
Azizou Hegar Iwayuri
Azizou Hegar Iwayuri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi melukis dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setan Sebangsa Setan

14 Januari 2025   07:19 Diperbarui: 14 Januari 2025   16:37 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tibalah hari di mana akhirnya ia dijebloskan ke jeruji besi. Seorang pemuda militan bernama Gugul, anak seorang penulis kondang di kotanya. Ini hari pertamanya di penjara. Tidak seperti yang ia bayangkan, penjara tampak lebih nyaman dari yang dikiranya, tidak ada penjahat kelamin yang bakal menyodominya saat malam hari, tak ada perkelahian, juga tak ada aksi melarikan diri seperti di film Shawshank Redemption—ya..., mungkin suatu hari nanti, ketika dirinya sudah jenuh di sini, Gugul akan berusaha sedikit demi sedikit mencukil tembok di sel penjaranya dengan sendok untuk kabur. Hari pertama di penjara itu terasa seperti darmawisata anak SMA yang membosankan, Gugul berkeliling di penjara, ia melihat kantin yang berbau amis, kamar mandi yang sangat jorok, dan taman terbuka yang dibentengi tembok beton.

Jam makan siang pertama. Gugul disambut tiga napi sebayanya dan satu napi yang sudah hampir jompo. Ketiga napi seumurannya itu terlihat seperti tiga koboi di film The Good, The bad, and The Ugly. Mereka mengambil makanan yang kelihatannya sangat jorok, namun rasanya tak seburuk itu—lagi-lagi film salah menggambarkan sebuah penjara yang biasanya digambarkan dengan suram, atau mungkin Gugul sedang beruntung saja karena dapat penjara yang nyaman.

“Hei... namaku... Acep. Makanan ini, enak ya ternyata... tak seburuk itu ya, ternyata!” ujarnya mengawali percakapan. Cara bicaranya rada aneh.

“Wei kak, kenalan saja kayak anak SMP, kau ini mau sekolah atau ke penjara, harusnya kenalan itu seperti ini, aku si Burug—begitu, jangan lembek kalau ngomong, Laki-laki itu harus jantan kak!” sahut si Burug sambil tergelak.

Sepertinya sekarang giliran Gugul memperkenalkan diri, ia tak tahu harus bicara apa jadi ia hanya memperkenalkan nama lalu menyantap makanannya. Perkenalan berlanjut ke si tua Mardepitu, katanya ia yang terlama singgah di penjara ini, konon mata kirinya yang buta itu karena kejahatan keji yang pernah ia perbuat.

“Sudah. Sudah... berarti giliranku perkenalan ya sekarang? Orang-orang kenal aku, di setiap sudut kota ini semuanya kenal dengan diriku—mereka memanggilku, Anak Demit!”

Gugul sangat asing dengan nama kekanak-kanakan orang ini, tapi yang lain seolah tahu seberapa terkenalnya Si Anak Demit itu. Si Acep yang picik itu bahkan sampai berkata: “Akhirnya ia ditangkap, ia ditangkap!” sehebat itukah pemuda nyentrik ini, sampai-sampai si tua Mardepitu terus mengangguk-angguk seraya mengelus janggut masainya yang mulai rontok karena tekanan batin.

“Oh, pasti kau di tangkap karena tawuran ya?!” sergah Si Burug bersemangat.

“Tidak-tidak. Tebak lagi!”

“Pasti—karena memukul polisi, atau..., membunuh musuh bebuyutanmu, kan?” ujar Acep. Coba menghilangkan cara bicaranya yang aneh.

“Salah. Salah. Aduh... Masa tidak ada yang bisa menebak sih?” Si Anak Demit menghela nafas yang berat. “Aku..., aku tahanan politik di sini.”

Si Burug kegirangan seperti anak kecil yang mendapati majalah porno di akhir tahun, dan Acep yang picik itu bicaranya jadi tambah gagap; Si tua Mardepitu tetap mempertahankan lagak bijaknya.

“Pasti mereka menangkapmu karena aksi demo kemarin?!” tanya si Tua Mardepitu

“Tidak salah. Aku yang mengomandoi aksi tersebut!”

“Katanya puluhan mahasiswa turun ke jalanan, banyak juga yang di tangkap karena itu!” timpal Si Burug.

“Sebenarnya kejadiannya lebih mengerikan. Tentu kalian sudah dengar dimana-mana kan? Tak ada asap bila tak ada api, bukan tanpa sebab kami Mahasiswa turun ke jalanan, sebab Militer pun turun ke jalanan pula. Pokoknya keadaannya sangat kacau, bahkan kabarnya malam itu ada seorang manajer buruh pabrik yang ditemukan tewas di rumahnya, katanya ada dua orang yang menembaknya lalu merampoknya dengan keji!” oceh Si Anak Demit—kelihatannya membuat Si Acep picik tambah mengaguminya.

“Iya..., A-aku dengar pem-pembunuhan sadis itu, katanya pelakunya belum diketahui!” sergah Acep, tampak antusias, lebih-lebih seperti memberikan informasi sekenanya agar bisa bergabung dengan percakapan mereka.

“Pagi ini pun, mahasiswi yang ikut melakukan aksi bersamaku kena peluru nyasar. Dia salah satu korban dari banyak korban lainnya. Yang sangat disayangkan, dia itu intelektual, dia punya masa depan, tapi harus mati hanya karena salah tembak!”

Suasana mendadak hening, rasa-rasanya seperti di pemakaman atau di tengah-tengah upacara hari Senin ketika mengheningkan cipta.

“Terus kenapa kalian bisa masuk sini?” kata Si Anak Demit mengganti topik.

“Kalau..., kalau aku karena dituduh... Ya—ya, aku yakin itu tuduhan, aku dituduh mencuri pakaian dalam wanita dan melecehkannya..., sial, padahal aku tidak seperti itu..., sial, mamah keluarkan aku dari sini, sial!” rengek Acep. Ia tiba-tiba menangis dan gagapnya jadi makin parah.

Si tua Mardepitu merangkul pundaknya, ia merasa iba dengan kerapuhan hati pemuda lugu ini. “Nasibmu tak jauh beda denganku anak muda. Dulu aku seorang penulis dan dalang balai kota. Kerjaku di belakang layar, tentunya menulis dan menulis banyak buku—tapi sekarang mereka menarik buku-bukuku dari edaran. Malam itu, petugas datang, menyeretku di depan anak-istriku yang hidupnya bergantung kepadaku. Malam itu pula aku dijebloskan kesini. Setiap malam aku memikirkan keluargaku, mereka tak pernah mengunjungiku, tak ada kabar juga dari mereka. Delapan tahun aku di tempat ini, berkutat pada kebosanan hidup. Aku kehilangan pekerjaanku sebagai penulis, aku kehilangan keluargaku, dan itu masih belum cukup sampai aku kehilangan hidupku. Aku mengajukan banding, tapi selalu ditolak, aku tak berdaya!”

Yang lain mengangguk, sementara Acep mengusap roman cengengnya, mencoba menghapus jejak-jejak air mata di pipi sembapnya—jujur saja, ia jadi terlihat seperti homo penjara yang habis dipukuli sipir sampai babak belur.

Lanjut Si Burug memulai kisahnya. “Astaga Pak tua..., hidupmu itu sepertinya terlalu di dramatisi. Aku hidup di kampung, aku punya istri dan anak juga, tapi sudah lama kami bercerai. Kerjaku jadi buruh angkut, bosku itu sangat tamak, sampai-sampai aku dapat membayangkan bagaimana menderitanya leluhurku saat masa romusa. Aku kerja pagi pulang malam, kerja pagi pulang malam, begitu terus, itu pun dengan gaji yang hanya bisa buat beli satu nasi bungkus di kantin. Setelah bercerai dengan istriku, aku merantau ke kota ini, mencari uang untuk membiayai anak kami yang belum genap dua tahun itu. Rupa-rupanya kerja kerasku ini hanya menghasilkan keringat dan darah, tak menghasilkan uang sedikit pun, tak memperkaya diriku sama sekali. Suatu pagi, hilanglah harapanku untuk menafkahi anakku. Rasa kesumat memaksaku untuk memukuli si brengsek itu—ya, harusnya dari awal kubunuh saja dia—berakhirlah aku di tempat ini, tapi aku lebih beruntung dari dirimu pak tua, lusa kemarin aku mendapatkan izin banding. Dan kalau hukumanku sudah ditangguhkan, dan aku bisa bebas, kali ini pasti akan aku bunuh bos brengsek itu!”

Jeda panjang menggentayangi kantin. Mereka meneruskan makan, dan Gugul baru saja rampung menyantap sendok terakhir kuah kari ketika Si Burug menghabiskan ceritanya. Entah ia terlambat menyadarinya, atau karena terlalu masyuk mendengarkan kisah teman-temannya, tapi penjara jadi tampak sangat sesak dan ramai, bahkan kalau duduk di tempat luas pun masih akan ada yang menyenggol punggung atau sikumu. Sepertinya tahun ini penjara memang sedang jadi tempat liburan terpopuler setelah Pantai Kidul.

“Lalu, kau..., kenapa kau bisa masuk kesini?!” tanya Si Anak Demit penasaran tapi telah kehilangan seleranya untuk basa-basi.

“Aku?” Gugul memberi jeda lalu melanjutkan. “Aku membunuh pacarku. Dia aktivis fanatik, dan tak sengaja terkena peluru yang kutembakkan.”

Dari hari itu, rasa-rasanya Gugul bakal jadi sasaran kebencian orang-orang. Ya..., baguslah, katanya. Setidaknya mungkin sekarang gambaran tentang penjara yang ada di film-film memang benar adanya. Sebentar Gugul merindukan rumah, ia rindu sofa mewahnya yang selembut beludru, makanan enak dari ibunya, atau aktivitas panjat tebing hari minggunya, atau sekedar merindukan sanca kembang peliharaannya yang, mungkin sekarang mati karena tak terawat. Rencananya semakin jelas di depan mata, mungkin sekarang waktu yang paling tepat untuk merealisasikan rencana pelariannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun