Mohon tunggu...
Azizou Hegar Iwayuri
Azizou Hegar Iwayuri Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Hobi melukis dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pondok Ado

4 Agustus 2024   21:13 Diperbarui: 4 Agustus 2024   21:20 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berdua di atas ranjang berbau kencing, serta aroma apek yang terlalu. Di dalam kamar Buti Alumuna, seorang santri yang hampir kolot. Aku bercerita kepadanya soal penghuni kasur sebelumnya yang bernama Ado Sapitu. Anak pondok yang mengaku melihat sesosok malaikat di kamar pondok sebelum tidurnya. Ado mengaku kalau ia melihat sosok putih bercahaya yang menjulang menyentuh langit-langit pondok. Warna kulitnya mengkilap-kilap, persis seperti bayangan malaikat di pikirannya. Aku tanya kepadanya waktu itu, apa benar itu sosok malaikat? Jawabannya singkat tak berlebihan, Iya!

Memang benar kalau pondok bobrok ini kadang menjadi hunian berbagai macam makhluk selain manusia. Buti belum pernah melihat hal-hal semacam itu sebelumnya, meskipun kamar di setiap pondok memiliki aura angker, ia tak pernah menganggap hal tersebut secara laku lajak. Hanya saja setelah anak bernama Ado Sapitu ini terus dibicarakan di pondok, ia menjadi sangat gegap gempita dalam urusan masalah begini, terlebih lagi setelah tahu kalau kasur yang ia tempati milik Ado.

Buti sangat penasaran setelah anak itu menghilang tak ada kabar pada suatu malam. Pengakuan Umi Niwan, ustadzah yang gemar mengarang-ngarang cerita. Ia bilang kalau Ado di jemput orang tuanya saat para santri tengah tidur. Buti dengan otaknya yang melanglang ke dunia liar, tentu tak akan percaya dengan ocehan serupa itu. Malam ini ia datang ke kamar, bertemu diriku yang hampir di telan kegelapan, "Aku ceritakan tentang ke mana hilangnya anak itu."

***

Ado Sapitu selalu masuk kamar lebih awal ketika angin sedang bersahabat. Desir langit malam yang ringan turun, melepas suara-suara burung yang semarak. Dengan selop bututnya yang menekuk tanah, ia datang membawa satu buku dan dua buah lilin merah yang setengah meleleh. Waktu itu tidak ada yang melihatnya. Ia pun segera menyulut sumbu lilin yang makin menghitam. Dari balik bayangannya, kobaran api merah meliuk-liuk ke permukaan, dan panasnya seolah melengkungkan waktu di sekitarnya. Ado membuka bukunya lalu mencatat hal-hal yang di ceritakan oleh senior-seniornya. Siangnya Ado sempat bertemu dengan mereka, dan tololnya ia percaya-percaya saja kalau kesesatan di dalam pondok kecil kita benar-benar ada. Bahwa siapa pun yang melakukan ritual itu di malam rabu ketika burung-burung sahut menyahut, niscaya apa pun yang ditulis di dalam buku akan jadi nyata.

Di atas kasurnya yang buluk serta tak terawat, Ado membolak-balikan lembaran kertas buku usang yang ia topang di atas paha. Aroma lawas buku itu menyegak seolah benar kalau buku itu bisa saja semacam primbon atau kitab-kitab Jawa Kuno yang mistis.

Ado komat-kamit tak jelas---sepertinya hanya asal ngomong dengan lanturan yang dilebih-lebihkan. Dan..., tentu tidak ada yang terjadi. Wajahnya mendadak cemberut, alis tebalnya yang menyentuh dahi membuatnya terlihat seperti Meganthropus Paleojavanicus, dan kobaran api lilin yang kian menyusut---meredam bayangan Ado sedikit demi sedikit.

Ia coba lagi menulis lembaran demi lembaran di atas kertas cokelat itu. Katanya kalau terdengar suara menciap dari anak ayam, jikalau suara itu jauh, maka bisa dipastikan kalau makhluk itu sedang dekat, tapi sebaliknya jika suaranya semakin dekat berarti sesuatu yang disebut hantu itu sedang tidak ada di sekitar. Saat sudah mencapai ambang kesabarannya, Ado melempar bukunya ke sisi bantal. Wajahnya seribu kali lebih kecewa serta kesal dari sebelumnya. Matanya mengernyit dan dahinya terlihat seperti lipatan-lipatan kertas, yang kalau disusun terus menerus dapat membuat satu buku.

Saat lilinnya lamat-lamat padam ditiup halimun. KRKKKRKRKRKKKKKAKAAAAKAAKH! Tiba-tiba terdengar semacam rentetan suara erangan yang mengganggu sehingga dapat melumat habis kegelapan di sekitarnya. Tidak seperti yang dikatakan orang-orang, tidak ada anak ayam yang berciap-ciap atau sebagainya, hanya ada suara menggelegar yang timbul tenggelam dalam waktu yang cukup lama.

Remang sudut kamar yang luntur akibat cahaya bulan yang redup membuat kamar tampak melebar. Bayangan merayap ke barisan kasur tingkat yang berdenting setiap angin menyirat lembaran buku dan pena Ado. Badan ringkihnya bergidik ngeri memandang gorden merah yang menyibak tutup. Malam itu seakan menjadi dunia yang jauh berbeda, dengan arwah-arwah  yang menutup gerbang neraka, juga Ado yang gelap hatinya mulai begitu kental.

Dalam mata Ado yang terbelalak, tampak sosok makhluk jangkung berwajah cerah yang memiliki kuku tajam, ia tidak memiliki rambut dan tubuhnya sekilas mirip tiang putih istana presiden. Mata mereka berdua saling bertemu pandang saat rupa Ado nyalang memandang tubuhnya. Ado dikalutkan rasa ngeri sekaligus kegembiraan, tubuhnya bergetar hebat, namun dalam hatinya ia sadar kalau makhluk anomali ini mungkin saja berbahaya. BRAAAKKKK!! Dengan kakinya yang seperti ceker ayam, Ado berderap menuju luar kamar. Masih di pengaruhi sosok putih besar sebelumnya. Dengan pikiran yang seadanya itu, masih bingung dan tentu kalang kabut tak karuan. Ado langsung naik ke mimbar surau. Suaranya yang cempreng menggelegar seperti tokoh-tokoh yang berorasi untuk negara, "Aku bertemu malaikat, aku bertemu malaikat!"

"Tingginya segini, dan kakinya panjang sekali! " Ado berceloteh habis-habisan sambil menaik-naikkan tangannya seperti sedang mengukur sesuatu. Matanya berbinar-binar bagai berlian di antara emas dua ratus karat.

"Tidak bisa kubayangkan, tidak bisa kubayangkan!" Ia mengulang kata-kata itu dua kali, seolah memang Sudah sewajarnya jika deklarasinya itu bukan sekedar bayangan biasa.

***

Sejak malam di mana Ado bicara asal ceplos bak seekor ular yang tak menjaga lidahnya. Keesokan harinya, ketika malam menunjukkan serpihan binar rembulan yang redup. Ia tentu kembali ke dalam kamar pada jam dan keadaan yang sama. Malam getir itu menjadi malam di mana Ado terakhir kalinya terlihat, ia duduk di atas kasur, sama seperti dirimu saat ini, menyalakan lilin, dan menulis di buku yang kamu bawa itu.

"Jadi ke mana sebenarnya si Ado itu?" Tanya Buti dalam suaranya yang sengak.

Aku geming sejenak, seringai di wajahku tampak agak lugu, mulutku menyembulkan gigi runcing yang seperti belati. Aku sedikit berkilah dari apa yang Buti tanyakan, "Kamu tahu apa yang ditulisnya pada malam terakhir itu?" Buti menggelengkan kepalanya lalu sejenak mencondongkan kepalanya ke depan karena penasaran.

"Aku ingin orang-orang juga bisa melihatmu."

Besoknya Buti Alumuna lenyap bak di makan sesuatu. Malam itu tak ada yang menyadari siapa-siapa yang telah membuat sosok Buti menghilang, tentu hanya aku seorang yang melihatnya terakhir kali pada kegelapan di atas kasur yang aromanya benar-benar tidak sedap itu.

"Umi, Buti ke mana? Apa dia juga di panggil orang tuanya?" Tanya salah seorang santri.

Aku hanya menelengkan kepala ke arahnya, "Nanti malam ikut Umi ke kamar, biar Umi ceritakan apa yang terjadi dengan si Buti."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun