Mohon tunggu...
Aziz Nour chaerudin
Aziz Nour chaerudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Belum bekerja

Saya adalah individu yang pekerja keras dan selalu berusaha untuk mencapai standar tertinggi,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Hidupku Begini?

21 Mei 2024   15:15 Diperbarui: 21 Mei 2024   16:11 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERNAHKAH ENGKAU MERASA begitu kecewa dengan kehidupan yang sedang engkau jalani? Menyesali terlahir bukan sebagai orang lain, yang engkau anggap hidupnya lebih senang dan lebih bahagia dari hidupmu sendiri. Bertanya-tanya, mengapa Allah meletakkanmu dalam kehidupan yang begitu sulit?

Tenang kawan engkau tak sendirian. Ada jutaan manusia yang merasakan hal yang sama. Kita semua pasti punya kekecewaan dalam hidup kita masing-masing. Ada saja masalah atau musibah yang membuat kita merasa hidup ini begitu kejam. Dulu, aku pun begitu. Sering aku bertanya-tanya: Mengapa kehidupan terasa begitu kejam? Mengapa semua impian dan harapanku direnggut dari hidupku? Mengapa sepertinya setiap orang menjalani kehidupan yang baik-baik saja?

Sementara, hidupku selalu tak henti dirundung masalah serta musibah yang datang silih berganti. Kehilangan harapan dalam hidup, kehilangan sesuatu yang kita cintai, merasa iri dengan kehidupan orang lain yang terlihat bahagia, dan juga tak pernah lepas dari masalah pelik yang terus datang menghantam, membuat kita merasa kecewa dengan kehidupan yang kita miliki.

"Bukan seperti ini kehidupan yang dulu aku impi-impikan" Kita lantas berpikir: Adakah orang yang hidupnya lebih malang dari diri kita. Ingin rasanya mencurahkan segala uneg-uneg yang ada dalam hati. Ingin juga menyandarkan punggung yang terasa lelah ini kepada seseorang yang mampu membantu kita menahan beratnya semua beban hidup. Rasa-rasanya ingin berteriak:

Seseorang, bantu aku menahan semua beban di pundak, agar tubuhku bisa tetap berdiri tegak.  Tetapi kepada siapa kita bisa mengadu? Kepada siapa kita harus bersandar? Sudah kita coba untuk bercerita kepada orang tua. Tentang kekecewaan-kekecewaan yang terpendam. Tentang betapa kehidupan telah mengkhianati harapan-harapan kita. Namun, malah kita yang dipersalahkan, kita dianggap kurang introspeksi diri, kita diminta lebih bisa bersikap dewasa dalam menjalani hidup.


Kata mereka, "Beginilah hidup, engkau harus belajar menerima manis-pahitnya kehidupan, karena begitulah yang orang-orang dewasa lakukan." Jika benar begini rasanya dewasa, aku berharap aku tak pernah menjadi dewasa. Mungkin begitu bisikan frustasi dalam dada kita kala itu. Tetapi hidup punya aturannya sendiri, tak seorang pun bisa menjadi anak-anak selamanya kita tak bisa selalu berlindung di balik tubuh perkasa ayah dan ibu kita yang makin lama terlihat makin renta.


Cepat atau lambat, kita harus belajar berdiri dengan kedua kaki kita. Belajar menghadapi masalah-masalah hidup, yang dulunya sungguh tak pernah terpikirkan begitu pahit dan kejam. Lalu kita coba berpaling pada sahabat, orang yang begitu dekat dengan kita. Seperti saudara yang terlahir dari rahim yang berbeda, susah dan senang kita pernah lalui bersama. Berharap ia bisa menunjukkan jalan keluar dari semua masalah hidup yang semakin membuat kita depresi.


Berbagai keluh-kesah kita muntahkan kepadanya, dan ia pun mendengarkan dengan penuh kesabaran. Ketika tiba giliran ia berbicara, ternyata ia sendiri punya banyak sekali keluh kesah yang selama ini tidak kita sadari. Mungkin kita terlalu egois, selalu sibuk memikirkan masalah sendiri sehingga tak menyadari bahwa orang yang kita sebut sahabat itu pun memiliki masalah yang tak kalah rumitnya. Mungkin juga sahabat kita itu begitu pandai menyembunyikan masalahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun