Mohon tunggu...
Achmad Azizi Falaqi
Achmad Azizi Falaqi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Aku wibu dan aku bangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Politik dan Peradaban Modern: Renungan dari Emha Ainun Najib

21 Juni 2024   00:31 Diperbarui: 21 Juni 2024   00:31 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh : Muhammad Ramadhon dan Achmad Azizi Falaqi

Dalam perjalanan panjang sejarah manusia, politik dan peradaban selalu berjalan beriringan. Keduanya saling mempengaruhi dalam membentuk tatanan sosial, budaya, dan kekuasaan yang ada. Emha Ainun Najib, atau yang akrab disapa Cak Nun, merupakan salah satu pemikir dan budayawan Indonesia yang sering mengulas tentang hubungan antara politik dan peradaban dalam karyanya.

Cak Nun menilai bahwa politik modern tidak bisa dilepaskan dari konteks peradaban di mana ia berada. Politik bukan hanya sekedar perebutan kekuasaan atau pertarungan ideologi semata, melainkan juga merupakan cerminan dari nilai-nilai peradaban yang dianut oleh masyarakatnya. Dalam konteks Indonesia, politik sering kali diwarnai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang kental dengan nuansa religius dan budaya.

Peradaban modern yang kita kenal saat ini adalah hasil dari evolusi panjang yang telah melalui berbagai dinamika sejarah. Revolusi industri, kemajuan teknologi, serta globalisasi telah membawa perubahan signifikan terhadap cara hidup manusia. Namun, di tengah kemajuan tersebut, Cak Nun mengingatkan bahwa kita tidak boleh kehilangan esensi dari nilai-nilai humanis yang menjadi dasar peradaban.

Politik dalam pandangan Cak Nun haruslah menjadi alat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, bukan sekedar alat untuk mempertahankan kekuasaan. Ia menekankan pentingnya dialog dan musyawarah dalam proses politik untuk mencapai kesepakatan bersama yang menghormati pluralitas dan keberagaman. Hal ini sejalan dengan konsep demokrasi yang mengedepankan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Renungan Cak Nun tentang politik dan peradaban modern juga tidak lepas dari kritik terhadap praktik-praktik politik yang cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan. Korupsi, manipulasi, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah beberapa contoh nyata dari penyimpangan tersebut. Menurutnya, politik harus kembali pada jalurnya sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi sosial dan meningkatkan kualitas hidup manusia.

Dalam konteks global, Cak Nun juga menyoroti bagaimana politik internasional sering kali didominasi oleh kepentingan negara-negara besar tanpa memperhatikan dampaknya terhadap negara-negara berkembang. Ia menyerukan perlunya solidaritas global untuk mengatasi masalah-masalah kemanusiaan seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, dan kerusakan lingkungan.

Peradaban modern dengan segala kemajuan teknologinya harus dapat diimbangi dengan kemajuan moral dan spiritual manusia. Cak Nun percaya bahwa pendidikan merupakan kunci untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan kesadaran moral.

Kritik Cak Nun terhadap Konsep Negara Modern

Cak Nun menyatakan bahwa konsep negara modern merupakan hasil dari imajinasi manusia yang menciptakan batas keselamatan dari kelompok lain dan meneguhkan nafsu pemilikan atas kesejahteraan hidup dalam skala teritorial. Dalam pandangannya, konsep negara ini membawa manusia pada penjara ilusi yang mereka ciptakan sendiri, mengklaim otoritas dan pemilikan Tuhan atas bumi menjadi milik mereka melalui legitimasi negara. Ini adalah wujud dari sekularisme yang memisahkan agama dan negara secara formal, tetapi sebenarnya melakukan kudeta atas pemilikan Tuhan menjadi milik manusia, kemudian dipersempit lagi menjadi milik negara.

Sekularisme, menurut Cak Nun, adalah bentuk penyamaran dari pengambilalihan kekuasaan Tuhan oleh manusia. Negara menjadi alat untuk melegitimasi otoritas manusia dan memalsukan hakikat Tuhan, menjadikannya ikon yang sekadar menghiasi pembangunan dan narasi politik. Ini menyebabkan manusia modern kehilangan keterhubungan hakiki dengan konsep kepemilikan Tuhan atas segala sesuatu, termasuk diri mereka sendiri.

Kelompok manusia yang tidak mengikuti konsep negara modern sering dianggap primitif. Namun, penolakan terhadap kudeta manusia modern atas kepemilikan Tuhan tidak jarang dicap sebagai makar. Kaum Muslimin yang tidak sependapat dengan konsep negara modern terjebak dalam pola pikir yang sama, menyusun barisan polisi dan tentara mereka sendiri atau merasa putus asa oleh tradisi kemalasan amaliah Islam yang sangat sempit ruang untuk menerjemahkan Islam dalam kehidupan nyata. Akibatnya, yang tersisa adalah hafalan Qur'an tanpa manifestasi peradaban yang nyata.

Negeri Madinah: Inspirasi Sejati

Cak Nun menawarkan konsep Negeri Madinah sebagai alternatif yang lebih sejati dari negara modern. Negeri Madinah, yang didirikan oleh Rasulullah Muhammad saw., bukanlah negara dalam pengertian modern, melainkan komunitas yang berlandaskan pada wibawa dan akhlak Rasulullah. Piagam Madinah, yang menjadi dasar komunitas tersebut, jarang dijadikan bahan utama diskusi sejarah oleh kaum Muslimin, padahal di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bisa menjadi pedoman bagi peradaban yang lebih adil dan manusiawi.

Dia menyatakan bahwa pengkaplingan bumi menjadi negara-negara lahir dari ketidakpercayaan kolektif manusia terhadap sesamanya. Untuk merintis kembali hubungan saling percaya di antara manusia, diperlukan usaha yang panjang dan mungkin tak pernah tercapai sepenuhnya. Namun, usaha untuk menciptakan serpihan-serpihan Negeri Madinah melalui jalan politik dan kebudayaan yang tidak bisa disentuh oleh negara menjadi harapan Cak Nun.

Dengan menciptakan ruang-ruang kecil yang lebih luas dari titik-titik hujan deras negara, Cak Nun berharap bisa berlindung di bawah payung keyakinan kepada Tuhan yang tak terjangkau oleh pandangan manusia. Dia menekankan pentingnya memahami dan menjalankan hikmah dari ayat-ayat Allah yang tidak difirmankan atau firman-firman yang tidak diayatkan, karena Tuhan akan memperlihatkan tanda-tanda-Nya di seluruh wilayah bumi dan dalam diri manusia hingga jelas bahwa Al-Qur'an adalah kebenaran.

Relevansi dengan Masyarakat Indonesia Saat ini

            Pemikiran Cak Nun sangat relevan dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Dalam konteks politik nasional, tantangan untuk mewujudkan politik yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat masih sangat besar. Praktik korupsi yang melibatkan berbagai level pemerintahan dan sektor menjadi bukti nyata bahwa politik di Indonesia masih sering digunakan sebagai alat untuk memperkaya diri sendiri dan kelompok tertentu, bukan untuk kesejahteraan bersama.

Selain itu, tantangan global seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan ekonomi, dan konflik internasional juga mempengaruhi Indonesia. Dalam menghadapi isu-isu ini, solidaritas dan kolaborasi internasional seperti yang disarankan oleh Cak Nun sangat diperlukan. Namun, pada saat yang sama, politik domestik harus berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan lokal untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas.         

Generasi muda Indonesia, yang semakin aktif dalam politik dan menggunakan media sosial sebagai platform untuk menyuarakan pendapat mereka, juga menunjukkan potensi besar untuk membawa perubahan positif. Mereka bisa menjadi agen perubahan yang menghidupkan kembali nilai-nilai moral dan spiritual dalam politik, seperti yang diimpikan oleh Cak Nun.

Kesimpulan

            Pemikiran Cak Nun tentang politik dan peradaban modern menawarkan refleksi mendalam bagi kita semua. Dalam menghadapi dinamika politik dan kemajuan peradaban, kita diingatkan untuk tidak melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Politik harus menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama dan menghormati keberagaman, bukan sekadar perebutan kekuasaan.

Melalui konsep Negeri Madinah, Cak Nun mengajak kita untuk membayangkan kembali sebuah komunitas yang berlandaskan pada kepercayaan, akhlak, dan nilai-nilai kemanusiaan yang sejati. Meskipun tantangan yang dihadapi tidak mudah, semangat untuk menciptakan peradaban yang lebih adil dan manusiawi harus terus hidup dalam setiap individu dan masyarakat.

Referensi

https://www.pustakaiman.com/2019/09/09/saudara-seperibuan-ayat-yang-tidak- difirmankan/  diakses pada tanggal 17 Juni 2024, pukul 23.37

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun