Mohon tunggu...
aziz daryono
aziz daryono Mohon Tunggu... -

mahasiswa ngawur yang sedang bermain-main di taman fakultas ilmu sosial humaniora, ilmu komunikasi, UIN sunan Kalijaga, Jogja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

MENGINTIP PRAGMATISME (bagian 1)

7 Januari 2013   07:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:25 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Eh kamu pragmatis banget sih!” begitu kata kawan saya kemarin dalam updet status facebooknya.  “Pragmatism” itulah frase yang akhir-akhir ini begitu sering di ucapkan oleh banyak orang. Ada kesan negative yang kemudian muncul tatkala kita mendengar kata-kata tersebut. Saya sendiri juga baru benar-benar berkenalan dengan kata tersebut tatkala membaca buku karanngan romo magnis suseno yang berjudul “12 Tokoh Etika Abad ke-20”

Dari buku tersebut pula dapat saya simpulkan bahwasannya pragmatism merupakan aliran filsafat amerika yang sangat popular di amerika. Dan lebih hebatnya aliran ini seolah-olah menjadi panduan hidup bagi masyarakat amerika modern pada umumnya. Hal ini tentu tidak dapat terlaksana tanda adanya usaha gigih dari john Dewey dalam mengejawantahkan pragmatism lewat dunia psikologi dan ranah edukasi. Maka tak berlebihan pula jika kita berkata bahwasanya pola pikir masyarakat amerika dewasa ini tidak lepas dari campur tangan john dewey.

Di samping itu, dapat kita katakan Pragmatism merupakan sumbangsih terbesar amerika dalam dunia perfilsafatan barat di era modern ini. Pragmatism sendiri dapat kita katakan sebagai aliran filsafat yang berakar dari realitas masyarakat amerika sendiri. Pragmatism dengan cerdas menggubah empirisime inggris yang monoton lagi kaku menjadi empirisme radical nan populis.

Lalu apakah pragmatism itu? Pragmatism berasal dari bahasa yunani pragma yang artinya suatu perbuatan tau tindakan (baik yang terencana ataupun tidak ). Pragmatism merupakan sebuah metode baru dalam kerangka pemecahan masalah yang besifat filosofis. Pragmatism mencoba memecahkan problematika metafisik yang berkenaan dengan determinasi maupun persoalan materil.  Dengan cara mencari kegunaan praktis dalam suatu hal. Hal ini didasari pendapat bahwa, segala sesuatu tidak akan berarti apabila tidak mempunyai kegunaan atau manfaat.

Toh hal ini bukanlah tanpa dasar. Pragmatism mencoba menggabungkan dua mind approach yang cukup popular di eropa era 1800an. Yang pertama adalah tough minded atau yang sering kita kenal dengan corak fundamentalis. Corak ini mengedepankan aspek empiris guna menjawab pertanyaan filosofis. Akibatnya bagi kita yang tak terbiasa dengan pandangan ini, yang tertangkap dalam benak kita tak lain hanyalah pesimisme membabi buta menghadapi keganasan “alam” (atau malah fatalism).

Selanjutnya adalah tender minded. Atau yang lebih kita kenal dengan aliran kompromis.  Aliran ini berbalik 1800 dibandingkan dengan fundamentalis. Aliran kompromis cenderung mencari pembuktian rasional terhadap sebuah konsep filosofis. Sehingga kaum fundamentalis banyak yang menjuluki kaum kompromis sebagai mahluk religious yang idealis. Aliran ini banyak dianut oleh akademisi Harvard era 1800 layaknya Josiah Royce.

maka dengan menggabungkan kedua pendekatan tersebut pragmatism mencoba “mendefinisikan”  suatu hal berdasal nilai guna praktisnya. Mulai dari ilmu pengetahuan hingga agama. Maka secara kasar dapat kita simpulkan sebuah realitas (agama, ilmu pengetahuan, budaya dll)  dapat diterima asalkan ia berguna bagi manusia. Akan tetapi hal ini bukan berarti kebenaran obyektif hanya didasarkan pada kegunaan praktis, akan tetapi hal tersebut ditentukan oleh kapabilitas suatu realitas dalam memenuhi kepentingan subyektif individu.

pragmatism bertujuan menjadi sebuah rencana besar untuk melakukan suatu tindakan lebih lanjut nan praktis dalam rangka merubah realitas. Sehingga segala teori, perspektif, dan aliran filosofis yang ada hanya kan menjadi alat guna mengubah, membedah dan memodifikasi realitas. Agar dapat berguna bagi kepentingan subjektif tiap individu. Bukan malah menjadi jawaban atas sebuah permasalahan dalam realitas.

Oleh karenanya pragmatism terbuka bagi setiap orang yang ingin mencari jawaban atas segala permasalahannya. Karena toh nantinya setiap keputusan yang diambil tidak akan dinilai dalam table benar salah. Atau diukur dalam tabula rasa teori tertentu. Kasarnya segalanya ditentukan oleh kegunaan serta kepuasan dalam sebuah keputusan yang telah diambil. Dengan kata lain, pragmatism senantiasa melihat kegunaan praktis dalam sebuah teori bagi kehidupan umat manusia, dan hal tersebut dikur dari kepuasan yang di dapat (dihasilkan) dari suatu teori.

(BERSAMBUNG)

seluruh refsensi bacaan saya mengenai tema ini dapat anda lihat pada bagian terakhir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun