Beredarnya video kekerasan yang terjadi di sebuah pondok pesantren yang diduga terjadi di Pondok Pesantren Urwatul Wustho, Kecamatan Diwek, di kabupaten Jombang, Jawa Timur, tak hanya mengejutkan masyarakat secara umum, tapi juga para pengasuh pondok pesantren lain di Kota Jombang.
Komnas HAM juga angkat bicara mendukung Polri mengusut kasus tersebut agak dihentikan. Kata Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution "Komnas HAM mendorong Polri untuk menyelidiki kasus praktek hukum cambuk di salah satu pesantren di Jombang secara profesional," Manager menilai penerapan hukuman cambuk terhadap santri dalam konteks pendidikan tidak tepat. "Ada baiknya dilakukan evaluasi terhadap pola pengasuhan siswa di lingkungan sekolah, madrasah atau pesantren sehingga lebih humanis, berkeadilan dan berkeadaban," ujarnya.
Bagi yang pernah menjadi santri atau belajar di pesantren salafiyah khususnya pasti sudah terbiasa dengan hukaman atau ta’jir bagi santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Karena orang tua santri menyerahkan anaknya kepada pesantren untuk didik menjadi anak yang mempunyai ilmu agama, mandiri dan disiplin dibandingkan jika tidak dimasukkan ke pesantren.
Sudah menjadi hal yang biasa bagi masing-masing pesantren menerapkan aturan yang harus ditaati dan dipatuhi oleh komujnitas pesantren tersebut. Agar santri menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab. Peraturan itu sudah menjadi hal yang umum diketahui oleh komunitas pesantren. Jika tidak berkenan dengan aturan tersebut, orang tua dan santri diperkenankan untuk keluar atau tidak memasukkan anaknya ke pesantren tersebut.
Contoh hukuman yang pernah ada di pesantren pada umumnya seperti : bagi santri yang tidak mampu menghafal pelajaran (seperti alfiyah ibnu malik) tidak akan naik kelas. Bagi yang terlambat ke pesantren setelah liburan atau pulang tidak ijin akan akan dihukum di kurung dalam kamar mandi selama semalam. Bagi santri yang mencuri akan dicukur botak atau digunduli rambutnya dan mukanya akan diloreng hitam. Bagi yang berpacaran dihukum menimba (mengambil air dari sumur) sebanayr 100 kali. Dan itu semua sudah menjadi peraturan yang ditaati oleh semua santri.
Dalam rekaman video ini tampak jelas, tiga orang santri yang dianggap melanggar aturan diikat pada sebuah pohon lalu matanya ditutup dengan kain, kemudian dicambuki puluhan kali menggunakan kayu rotan karena melanggar aturan yaitu minum-minuman keras. Menurut pihak pesantren santri tersebut sudah berikan pilihan yaitu dikeluarkan dari pesantren atau dihukum cambuk. Meraka pun memilih untuk dicambuk.
Hukuman seperti ini wajar terjadi dimasyarakat atau komunitas yang menjujung tinggi norma agama dan adatnya. Beda dengan masyarakat kota yang lebih cuek terhadap nilai dan norma. Semisal dalam sekolah formal bagi siswa yang terlambat atau melanggar aturan lainnya akan dihukum berupa push up berapa kali. Ada juga yang terlibat tawuran atau hamil akan dikeluarkan dari sekolah. Jika kita lihat kasus-kasus seperti ini juga bias dikatakan melanggar HAM juga, tapi toh Komnas HAM adem-adem aja.
KH Kholil Dahlan, pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang, menyayangkan adanya pondok pesantren yang memberlakukan hukuman cambuk bagi santrinya yang melanggar aturan. KH Kholil Dahlan mengingatkan bahwa selama ini pondok pesantren merupakan bagian dari NKRI sehingga sudah sepatutnya memberlakukan hukuman yang sudah berlaku di masyarakat secara umum, tidak membuat hukum sendiri.
Pondok pesantren yang memberlakukan hukuman ,masih komitmen dalam NKRI dan tidak ingin menerapkan hukum sendiri apalagi menerapkan hukum syariat. Ini hanya penerapan aturan dalam melatih kedisiplinan santri. Wajar jika pesantren menerapkan hal tersebut, asal tidak berlebihan. Berlebihan atau tidak itu tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika dari sudut pandang Komnas HAM ya berlebihan. Beda tentunya dengan sudut pandang masyarakat ponodk pesantren.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung
http://news.okezone.com/read/2014/12/08/340/1076373/mui-sesalkan-hukuman-cambuk-di-pondok-pesantren