Langit mulai berubah jingga saat Alya menutup laptopnya. Artikel tentang tren fesyen terbaru akhirnya selesai, tapi tidak ada rasa puas. Dia menatap layar ponselnya, menunggu notifikasi yang selalu ditunggu tiap sore. Tepat pukul lima, sebuah pesan masuk di aplikasi Chat Over Coffee.
"Senja ini seperti melukiskan sesuatu yang tertahan. Kamu pernah merasa seperti itu?"
Alya tersenyum. Itu dari "SenjaKelabu."Â
Entah sejak kapan, obrolan dengan pengguna anonim itu menjadi rutinitas yang ia nantikan.
"Mungkin, aku sering merasa seperti itu. Tapi aku terlalu sibuk untuk tahu apa yang tertahan," balas Alya.
Percakapan mereka mengalir seperti biasa---tentang senja, kopi, dan hal-hal kecil yang sering dilewatkan orang lain. Yang membuatnya berbeda, "SenjaKelabu" punya cara memandang hidup yang membuat Alya merasa dimengerti.
Hari-hari Alya terasa lebih ringan dengan obrolan singkat itu. Anehnya, ia tak pernah bertanya siapa "SenjaKelabu"Â sebenarnya. Bagi Alya, biarlah dia tetap menjadi misteri; keindahannya justru ada di sana.
Namun, suatu hari, obrolan mereka berubah arah.
"Kopi favoritmu apa ?" tanya "SenjaKelabu."
"Americano, tanpa gula. Hitam pekat, tapi jujur."
"Kedai kopi favoritmu ?"
Alya ragu sejenak, lalu menjawab, "Kedai kecil di ujung jalan. Baristanya selalu membuat kopi dengan senyuman hangat."
Esoknya, Alya merasa ada yang aneh di kedai kopi itu. Danu, barista yang biasanya ramah, terlihat lebih pendiam. Ia hanya tersenyum kecil saat menyerahkan kopi pesanan Alya. Tapi yang benar-benar mengejutkan adalah ketika Alya membuka ponselnya. Tidak ada pesan dari "SenjaKelabu."