Mohon tunggu...
Aziz Aminudin
Aziz Aminudin Mohon Tunggu... Freelancer - Trainer, Professional Hipnoterapis, Penulis, Pembicara, Aktivis Sosial Kemanusiaan

Trainer, Professional Hipnoterapis, Penulis, Pembicara, Aktivis Sosial Kemanusiaan Founder MPC INDONESIA WA : 0858.6767.9796 Email : azizaminudinkhanafi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Angklung Naik Kelas atau Turun Kelas?

6 Maret 2020   08:03 Diperbarui: 6 Maret 2020   08:04 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri, Ngamen Angklung

Melihat seniman jalanan ini berjalan berbaris tidak rapi, mencoba menyajikan serangkain irama dan rangkaian nada angklung (calung).

Sejatinya penulis tidak mampu membedakan apa angklung dan calung dan bukan pula pemerhati musik jadi kalau dalam tulisan ini ada yang tidak pas banget maklumi saja, tinggalkan komentar anda jadi saya tahu anda telah datang ke beranda saya hehehe...

Kembali ke topik, bahwa ada hal yang menarik dari mereka, diantaranya  :

Pertama | Alat musik ini tidak satu tapi satu kesatuan untuk menghasilkan nada yang lebih enak ditelinga, artinya mereka untuk bermaen harus membuat tim satu group angklung.

Bila kita melihat menyatukan persepsi dan mencoba mencari sisi kesamaan untuk menjadi tim yang solid tidaklah mudah, dab tentu ada proses panjang sebelum mereka memutuskan untum tampil seperti sekaranh di jalan.

Kedua | Karena alat musik ini banyak atau minimal harus ada satu set, tentu tidak semua orang bisa membuat, disini berarti harus ada modal awal ubtuk membuat group ini.

Berarti minimal tidak bisa seorang sendiri yang mau modal hanya untuk membeli sarltu set angklung untuk turun ke jalan dengan bayaran yang tidak pasti.

Ketiga | Mereka menggunakan seragam yanh sama bahkan ditempat lain saya melihat ada yang menggunakan spatu dan stelan baju yang sama.

Kembali lagi mereka serius pentas musik angklung ini ( totalitas ), baik untuk tujuan menghibur ataubtujuan yang utama mencari sesuap nasi.

Keempat | Tanpa tarip, ini yang menarik saya lihat tidak ada tarif baku, hanya memaenkan musik bersama menyusuri jalanan dan ada seorang sebagai pembuka jalan yang ia berjalan zig zag dari rumah diseberan kanan ke rumah seberang kiri dengan membawa tempat semacam ember, bisa juga kerdus untuk menampung uang dari masyarakat.

Ya, Angklung Ngamen

Sejauh pengamatan saya besaran uang saat dijalanan desa ya 500, 1000, 2000 dan paling tinggi 5000 rupiah, itu di jalanan desa.

Dominan uang terkumpul 1000 dan 500 rupiah, bisa dibayangkan tentunya bagaimana oprmerasional tim, bagaimana penghasilan tim sampai pada perawatan alat musik.

Kalau seandainya kita bandingkan dengan solo pengamen, pegang gitar tentu ini menjadi tidak sebanding.

Melihat pengamen yang datang hanya modal gitar baju lusuh, atau modal tutup botol yang di jadikan kicik dan sandal jepit, pengamen anglung jauh lebih elegan.

Tapi kembali apa iya ini nutup operasional mereka, saya nggak sempat wawancara jadi mari kita tanya rumput yang bergoyang...

Ada Apa Dengan Angklung ?

Ide kepo saya muncul pertanyaan ini, musik enak, tampilan keren, dan menurut saya angklung layaknya ada di acara exlusive, di panggung atau di event dengan nilai tinggi, tentunya dengan harga yang elegan.

Melihat angklung turun ke jalan sepintas saya bahagia, menikmati musiknya dan bagaimana pengaruh hipnotisnya untuk kita goyang goyang, tapi melihat angka 500, 1000, 2000 rupiah saya jadi miRTis, ada apa dengan angklung ?

Apa ia turun kelas, atau ini justru naik kelasnya angklung karena bisa dinikmati semua kalangan.

Saya masih belum bisa memaknai apa ini bentuk angklung yang telah membudaya, atau karena minimnya pekerjaan sehingga mereka yang menjado tim angklung jalanan adalah pengangguran yang berseragam seniman, mwengamen dengan pinjam alat angklung sewaan milik bos bos angklung itu?

Mungkin rumput yang bergoyang tahu apa jawabannya.

Atau justru ini adalah karena sepinya dan ketidak hadiran negara untuk memberi ruang bagi seniman angklung ini sampai mereka harus menyusuri jalan ngamen.

Bukan apa - apa pada kondisi tertentu dan daerah tertentu mereka menghambat jalur lalu lintas, dan saya meyakini mereka tidak mengantongi izin kegiatan.

Belajar dari Yogya

Berbeda melihat angklung di Yogya tepatnya di malioboro, mereka sekilas ngamen ya nyatanya ngamen tapi nampak ekslusive, elegan, nggak mengganggu pejalan.

Karena memang mereka memiliki wadah ditempat keramaian publik ( Tempat Wisata ), ini menjadi salah contoh menempatkan dan memberi ruang pada seniman jalanan ini tetap berkarya tanpa terkesan mengganggu atau bersebrangan dengan kepentingan masyarakat lain.

Pertanyaannya adalah di Kabupaten atau Kota Anda adakah mereka hadir dan turun ke jalanan desa ?

Atau telah terfasilitasi ada ruang khusus untuk para seniman ini, berkarya totalitas tanpa batas dengan elegan dan eksklusif?

Saya pikir, Laptop sekalipun kalau dijual di emperan ( tepi ) jalan, pasti akan beda harga walau ia sama dengan kemasan yang ada di konter atau outlet penjualan di mall.

Salam kompasianer, 

Aziz Amin | Kompasianer Brebes ( KBC-10 ), Trainer & Hionoterapist, WA 0858.6767.9796

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun