Lanjutan ulasan sebelumnya....
YAKIN MASIH ADA YANG BERSIH ?
Pertanyaan yang mengelitik dalam pikiran saya, bahwa beberapa Kabupaten / Kota Bupati dan Walikota maupun Wakil nya satu persatu tumbang dan pindah kantor di KPK dengan seragam orange dengan penempatan di tahanan.
Budaya korupsi menjdi budaya yang bisa jadi ibarat benang rawud ( kusut ) nggak karuan dimana ujung dan pangkalnya tentu tidak mudah terurai, walaupun kenyataannya adanya KPK sangat membantu dan membatasi ruang gerak pelaku tindak kejahatan korupsi.
Dikutip dari warta ekonomi, Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sudah 77 Kepala daerah terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian, sepanjang periode 2004-2017, tidak kurang dari 392 kepala daerah tersandung kasus hukum. Dari jumlah ini, sebanyak 313 kepala daerah tersangkut kasus korupsi.
Artinya seharusnya ini menjadi keprihatinan kita akan kondisi Negara dan Bangsa indonesia yang sebenarnya merasa sudah merdeka dari bangsa lain akan tetapi terjajah oleh bangsa sendiri, menjadi wajar kalau masyarakat menjadi ragu dan tidak memiliki keyakinan bulat atas perhelatan pemilihan kepala daerah mengingat krisi kepercayaan yang sangat besar tercipta dari opini dan realitas yang tersaji dari maraknya Kepala Daerah berpindah kantor di tahanan KPK. Masyarakat seakan -- akan dipertunjukan bahwa proses pemilihan kepala daerah adalah proses pergantian oknum Kepala Daerah yang selanjutnya menjadi generasi selanjutnya berurusan dengan KPK menggarong dana APBD dengan korupsi.
Alih - alih menyejahterakan masyarakat, oknum Kepala Daerah baru tampil dengan membawa tim suksesnya masuk dalam manajemen pemerintah daerah (Pemda) justru sering menghadirkan masalah, kolusi dan nepoitisme akan menghadirkan masalah kompetensi hingga perilaku koruptif.
Fokusnya tentu akan sangat beda bukan fokus membangun dan memenuhi kebutuhan daerahnya, tapi lebih sibuk dengan mungutak atik semua mata atau pos anggaran dalam anggaran belanja pemerintah daerah (APBD).
Bisa jadi impian masyarakat hanyalah sebuah mimpi di siang bolong tentang akan tampilnya pemerintahan yang baik atau good governance.
BIAYA POLITIK TINGGI
Biaya politik yang tinggi sering menjadi alasan bagi oknum Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi, pilkada langsung serentak 2018 dan pilpres 2019 semakin dekat, jangan sampai pilkada langsung yang sejatinya demokratis itu bisa dipersepsikan buruk jika terus menerus hanya menghadirkan kepala daerah yang inkompeten, tidak kredibel dan tidak berintegritas.
Sepanjang tahun 2018 saja sampai bulan ini sudah 10 Kepala Daerah terlibat korupsi yang terakhir diketahui OTT oleh KPK di Jawa Barat, dikutip dari http://poskotanews.com Bupati dan 7 orang lainnya pindai lewat operasi senyap Selasa (10/4/2018) di wilayah Bandung Barat.
Sampai tulisan ini diturunkan, belum ada penjelasan rinci dari KPK tentang jumlah barang bukti uang yang disita, jadi modus operandi korupsi. Besar dugaan terkait suap, sering disebut uang pelicin dalam konteks proyek pembangunan.
Adanya persepsi dan mindsetbahwa biaya pilkada yang sangat tinggi tercipta secara otomatis terkait dengan biaya kampanye dan pemenangan calon kepala daerah yang tentunya melibatkan anggaran yang tidak sedikit, sehingga muncul sebuah keyakinan bahwa dalam pilkada langsung tidak ada demokrasi.
Masyarakat sudah terbiasa dengn adanya apa sebelum apa yang ia lakukan termasuk dalam pemilihan, bukan penulis ragu bahwa proses pilkada langsung berjalan bersih, tapi kenyataannya masih banyak ditemui bahwa dalam proses pilkada langsung masyarakat sudah mensadari dan meyakini ada pergerakan uang yang sebenarnya itulah bibit -- bibit korupsi yang bermuara dengan banyaknya Kepala Daerah yang mencatatkan namanya di list KPK.
Calon Kepala Daerah juga seolah -- olah otomatis harus memutar otak bagaimana mengumpulkan anggaran untuk promosi dan pemenangan dalam masa kampanye pencalonan, karena mindsetcalon Kepala Daerah pun mulai menyakini tidak ada pertarungan dan pemenangan yang murah.
Hadirnya Kepala Daerah yang tidak kompeten, tidak kredibel dan tidak berintegritas, ini semakin menambah panjang sejarah penderitaan rakyat, dan tentunya sebagai masyarakat akan lebih menikmati mimpi panjang untuk menikmati kesejahteraan dan kemerdekaan.
Peranan Negara menjadi sangat penting untuk memandang penangan korupsi secara menyeluruh dari berbagai aspek, melibatkan semua elemen negara dan masyarakat, mungkin sebenarnya Indonesia banyak sekali memiliki orang cerdas dan pintar yang memiliki hati untuk memberikan energi positif yang bukan semata -- mata terkait dengan Politik Praktis.
Akhirnya penulis hanya berharap semoga Allah Ta'ala memberikan kesadaran penuh pada masyarakat Bangsa Indonesia, menjadi lebih baik dan lebih bermartabat demi anak cucu serta penerus bangsa ini.
Selesai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H