Sontak terkejut kaget saat mendengar kata "gila" terlebih ditambah dengan kata "orang" yang identik dengan sosok figur makhluk hidup berwujud manusia. Sangat lumrah mengingat keumuman orang terbiasa dengan gila yang identik dengan makna stres, hilang ingatan, tidak waras secara kejiwaan, gangguan kejiwaan atau psikologis hingga sikap atau prilaku yang tak terkendali kewarasannya.
Pun, tentu marah manakala seseorang disebut atau dipanggil gila. Meski, padanan kata dari gila sebenarnya telah berterbangan bak laron di musim hujan dengan telah melalui proses pleonisis (penghalusan kata) sebagaimaa telah beredar di era milenial melalui medsos atau pergaulan keseharian seperti kurang ngopi, gagal fokus, butuh piknik, salah fokus, kurang minum, dan lain sebangsanya.
Uniknya, gila seringkali disamakan dengan stres atau depresi. Gila dapat berakibat dari banyaknya tekanan (stres) yang tersumbat tanpa pintu keluar peluapan jiwa. Namun penulis tidak secara khusus bahas gila, stres, depresi karena pembaca tentu sangat paham makna regular dari dari kata tersebut.
Penulis hanya memaknai kata gila dari sisi ketidakumuman seseorang antara tampilan selengan atau nyeleneh dengan hobi muruk ngaji pada anak-anak kampung.Â
Disebut gila karena kegiatan muruk tersebut dijadikan sebagai hobi, bukan sebuah profesi yang hingga akhirnya memungut biaya kepada orangtua santri dengan dalih bayar listrik, sarana, buku, kitab, meja, kegiatan khataman secara meriah dan lain sebangsanya.
Disebut gila karena dari sisi tampilan diluar masa muruk ngaji terlihat tidak menonjolkan kerapihan, sesekali menampakkan kerapihan hanya sebatas diwaktu muruk ngaji dan saat sholat atau kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya seperti tahlilan, jamiiyah, pengajian umum, menghadiri acara hari besar seperti maulid, rajaban, ramadhan.
Lazimnya orang muruk ngaji adalah sosok atau figur memiliki ilmu keagamaan mumpuni, kealiman, kearifan dalam bersikap, terlebih pernah mengenyam di pondok pesantren hingga akhirnya disematkan gelar kemasyarakatan berupa "ustadz, kiyai, sepuh, ajengan, dll". Namun kali ini berbeda dari keumuman, sosok nyeleneh yang dari segi tampilan lebih mirip orang gila ketimbang seorang ustadz.
Seseorang yang enggan disebut namanya berlokasi di Kabupaten Cirebon Kecamatan Ciwaringin Blok Dukumire bahkan menamai tempat ngajinya dengan nama "Kandang Ilmu", mengandung makna filosifi bahwa kandang adalah konotasinya kumuh kotor urakan bau jijik, ilmu adalah harta tak bernilai.
Jika dikombinasikan, kandang ilmu adalah manusia makhluk yang tak lepas dari hati yang kotor, jiwa menjijikkan karena masih memendam sifat iri dengki dendam mengumpat hobi ghibah suka adu domba penebar fitnah, pemuja harta, pemuja kedudukan dan jabatan, gila hormat dan polularitas, maka harus segera diisi dengan ilmu agama agar hati atau jiwa yang menjijikkan dapat dibersihkan secara total atau paling tidak ada upaya maksimal untuk menuju kepada jalan kesucian jiwa.
Pesan moral dibalik "orang gila muruk ngaji" :
"Adakalanya seseorang lebih nyaman disebut sebagai orang gila, namun dibalik kegilaan tersebut terbesit hobi kebaikan membangung akhlaq umat berguna bagi masyarakat yang bahkan belum mampu dilakukan orang waras secara anatomi, psiologis, psikologis". (katanya : terinspirasi dari sosok abu nawas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H