Judul Buku          : Si Anak Kuat
Penulis             : Tere Liye
Penerbit            : PT Sabak Grip Nusantara, Depok, Jawa Barat
Cetakan Ketiga      :  Januari 2022
Jumlah Halaman    : 427 halaman
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-95545-9-0
Peresensi           : Azizah Herawati
Buku berjudul "Si Anak Kuat" merupakan salah satu karya novelis kenamaan, Tere Liye. Pertama terbit tahun 2013 dengan judul Amelia. Pada tahun 2018, sampul dan judul diubah menjadi "Si Anak Kuat". Tiga novel senada yang mengisahkan 3 saudara kandung Amelia pada tahun yang sama berubah sampul dan judul sesuai karakter tokohnya. Burlian " Si Anak Spesial", Pukat "Si Anak Pintar" dan Eliana "Si Anak Pemberani".
"Kau anak paling kuat di keluarga ini, Amelia. Bukan kuat secara fisik, tapi kuat dari dalam. Kau adalah anak yang paling teguh hatinya, paling kokoh pemahaman baiknya. Kau menyayangi sekitar dan sungguh-sungguh mau membantu orang lain." Buku ini tentang Amelia, kisah anak yang memiliki mimpi-mimpi hebat untuk kampung halamannya. Dari puluhan buku Tere Liye, serial ini adalah mahkotanya.
Itulah deretan kata yang tertera pada sampul belakang novel "Si Anak Kuat". Namanya Amelia, akrab dipanggil Amel. Anak bungsu dari 4 bersaudara pasangan Syahdan dan Nurmas. Cerita tentang potret kehidupan masyarakat kawasan lembah di bawah Bukit Barisan sebenarnya cukup sederhana. Namun di tangan Tere Liye, diracik dengan apik, sehingga menarik dan nyaman saat disajikan. Pesan-pesan syarat makna mengalir begitu saja di sela-sela percakapan keseharian mereka, sangat inspiratif.
Bersiap saja untuk tersenyum-senyum sendiri, bahkan terpingkal-pingkal menyimak ulah empat bersaudara ini. Berbagai adegan saling ledek antar saudara dalam satu rumah yang umumnya terjadi, namun sejatinya mereka saling menyayangi. Sebaliknya kita juga bisa hanyut dalam suasana melo bahkan menguras air mata ketika membaca episode-episode mengharukan..
Novel setebal 425 halaman ini menghancurkan mitos tentang anak bungsu yang ditakdirkan menjadi 'penunggu rumah'. Pelabelan negatif seperti anak manja, cengeng, lemah dan sebagainya sirna dengan ketangguhan "Si Anak Kuat" Amelia. Kenelangsaan anak bungsu karena selalu disuruh-suruh dan dibentak-bentak oleh kakak-kakaknya memang sempat membuat Amel tidak ingin menjadi anak bungsu. Kejengkelannya kepada kakak sulungnya, Eliana yang akrab disapa Kak Elli sempat membuatnya tidak ingin dipanggil Amel. "Panggil aku Elli!", serunya.
Siasat balas dendam yang diajarkan sahabatnya, Maya tidak sesuai espektasi. Bukan kemenangan yang diraihnya, justru  tumpukan pekerjaan yang biasa dilakukan Kak Elli dilimpahkan kepadanya. Dia baru menyadari kebaikan dan kasih sayang Kak Elli ketika keduanya menyusuri jalan setapak membawa kayu bakar dari hutan. Kaki Amel tersangkut tunggul kayu dan Kak Elli menggendongnya, memastikan Amel baik-baik saja. Itulah wujud tanggung jawab seorang kakak yang ternyata tidak mudah.
Runtuhnya mitos anak bungsu semakin terasa saat Mamak melepasnya untuk menuntut ilmu di negeri nan jauh. "Tak akan ada yang menahan anak bungsu Mamak. Kau pergilah, Amel. Jangan pikirkan hal-hal yang tak perlu kaupikirkan. Doa Mamak menyertaimu, Nak," bisiknya."Amel akan segera kembali, Mak". Dan benar saja dua puluh tahun kemudian Amel kembali, dan itu pilihannya.
Ada hal yang menggelitik dalam novel ini, yakni tentang pekerjaan perempuan. Bagi Mamak, tak ada istilah pekerjaan perempuan. Di mata Mamak, laki-laki pun harus bisa mengerjakan tugas-tugas rumah. Itu pula yang membuat Burlian dan Pukat, dua kakak laki-laki Amel yang lebih mirip Upin dan Ipin itu selalu protes.  Padahal sekali protes, akan semakin banyak pekerjaan yang harus mereka kerjakan. Mereka memang selalu kompak dalam  banyak hal.
Nama-nama unik dengan segala tingkah ala anak juga mewarnai novel ini. Kisah tentang Chuch Norris, teman satu kelas Amel yang namanya diilhami dari nama bintang film Hollywood juga mampu mengaduk-aduk emosi pembacanya. Bagaimana tidak? Ulahnya yang selalu jadi 'trouble maker' itu menuntut Amel untuk bersabar. Apalagi Pak Bin, guru satu-satunya di sekolah Amel memintanya untuk membantu Norris. Meski sangat berat dan hampir menyerah, ternyata Amel berhasil meluluhkannya. Bahkan pada jelang akhir cerita, Amel, Maya, Norris dan Tambusai yang tergabung dalam 'Geng Anak  Bungsu' melakukan terobosan baru terkait pembibitan kopi yang berkualitas di kampung mereka.
Upaya menumbuhkan budaya literasi juga tampak nyata di novel ini. Pak Bin dengan segala keterbatasan selalu menanamkan pada murid-muridnya  untuk banyak membaca. Bapak Amel yang notabene seorang pekebun pun terbiasa membaca. Demikian pula Amel dan Kak Elli. Jargon "Mengarang itu mudah" yang dicanangkan Pak Bin mampu membangkitkan semangat para murid untuk menulis.
Selain tentang literasi, penanaman tentang akhlak mulia melalui guru ngaji mereka, Nek Kiba juga tersaji sangat bijak. Tak ketinggalan, Wak Yati yang mengajarkan ketrampilan menenun dan masih terbiasa  menyelipkan kosa kata bahasa Belanda dalam berbagai dialog, semakin mempercantik jalannya cerita.
Kelemahan novel ini adalah adanya beberapa hal yang tak masuk akal. Mungkinkah anak seusia Sekolah Dasar bisa melakukan hal-hal besar yang bisa jadi juga berat bagi orang dewasa. Apa yang dilakukan Amel bersama gengnya jelas bukan sesuatu yang mudah dinalar. Apalagi ketika Norris, sang biang keributan dalam jangka waktu  6 hari bisa insyaf dan mampu menggambar peta dunia persis aslinya yang gulungannya melebihi badannya. Secara keseluruhan novel ini sangat menarik untuk dibaca. Selamat membaca.
                                                                                                       Magelang, 22 Desember 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H