Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Pak Trimo, Kado Istimewa di Akhir Tahun

30 Desember 2020   12:20 Diperbarui: 30 Desember 2020   12:32 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Pak Trimo dengan sepeda tuanya (Dokpri)

Semua bermula dari ajakan pada flyer lomba menulis bertajuk Fachrodin Award. Sebuah event lomba penulisan sejarah dan aktivitas lokal salah satu ormas besar di negeri ini, Muhammadiyah. Event ini digelar dalam rangka menyambut Muktamar Muahammadiyah ke-48 di Surakarta yang tertunda karena pandemi covid 19.

Saya tertarik salah satu dari lima tema yang ditawarkan yakni tokoh Muhammadiyah di tingkat lokal di berbagai daerah di Indonesia. Pikiran saya langsung tertuju pada sosok di balik layar. Sosok sederhana dan bersahaja yang setia mengayuh sepeda tuanya dari rumahnya di Paremono, Mungkid Kabupaten Magelang menuju Kantor Sekretariat Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Muntilan di Jalan  KHA Dahlan Muntilan, Kabupaten Magelang.

Lelaki kelahiran Muntilan 71 tahun yang lalu itulah yang menjadi nyawa bagi PCM Muntilan dalam menertibkan administrasi organisasi yang didirikan KHA Dahlan tersebut. Namanya Hayat Sutrimo, orang-orang akrab memanggilnya Pak Trimo. Sesuai namanya, orangnya nrimo, dalam istilah Jawa berarti menerima apa adanya. Menjalani hari-harinya dengan mengabdikan dirinya pada organisasi sejak tahun 1981. Berangkat pagi dan pulang siang layaknya orang kantoran. Mengendarai sepeda ontel tua berkostum sederhana bermotif batik dengan topi khasnya menebar senyum kepada orang-orang yang dijumpainya sepanjang jalan raya Magelang-Yogyakarta yang sangat padat. "Kring-kring" sepedanya dan lambaian tangan senantiasa menghiasi sapaannya.

Dia bukanlah tokoh yang berada di garda depan. Bukan pula penceramah kondang yang diundang ke berbagai kota. Bukan pula penulis terkenal yang tulisannya banyak dibaca orang. Mungkin bagi Indonesia, Pak Trimo bukan siapa-siapa. Tapi berkat tangan dinginnya, administrasi PCM Muntilan tertata rapi dan tertib. Sehingga PCM pernah menjadi juara lomba administrasi tingkat Kabupaten Magelang dan PCM Tergiat Kedua tingkat Provinsi Jawa Tengah. Tidak mengherankan jika PCM Muntilan dijadikan rujukan dan lokus studi banding dari berbagai daerah. Bersanding dengan Pimpinan Cabang 'Aisyiyah (PCA) Muntilan yang pernah meraih kejuaraan yang sama di tingkat provinsi. "Orangnya idealis tapi terukur. Dia sangat paham persuratan dan selalu meng-update aturan administrasi terbaru," tutur salah satu mantan sekretaris PCM Muntilan.

Profesinya sebagai sekretaris eksekutif PCM Muntilan sekaligus full timer kantor PCM tidak menghalanginya untuk tetap berkiprah di masyarakat. Sejak remaja, Pak Trimo sudah aktif mengisi pengajian anak-anak, hingga masa tuanya juga aktif dalam kepengurusan organisasi di lingkungannya. Terlahir dari keluarga sederhana, Pak Trimo memulai karier sebagai loper Koran dan penjual majalah bekas dengan gerobag sejak tahun 1979, sampai akhirnya ditarik oleh salah satu tokoh Muhammadiyah Muntilan untuk menjadi full timer.

Kegigihan dan kesetiaannya kepada persyarikatan menggugah PCM Muntilan untuk membelikan sepeda motor kepada Pak Trimo. Namun dia menolak dengan halus. Dia tetap setia dengan sepeda tuanya untuk pulang pergi dari rumah ke kantor, juga mengantarkan surat ke 13 ranting serta beberapa sekolah Muhammadiyah di wilayah Muntilan. Penghargaan sebagai sekretaris eksekutif juga pernah diraihnya dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Magelang. Puncaknya, sebagai rasa terimakasih keluarga besar Muhammadiyah Muntilan, Pak Trimo didaftarkan haji dan berangkat ke tanah suci pada tahun 2015.

Kesederhanaan, keramahan, ketelitian, kesetiaan dan komitmen dalam berjuang untuk persyarikatan serta pengabdian tanpa batas inilah yang menarik bagi saya untuk mengangkat kisahnya. Inspirasi dalam sepi. Tanpa sorotan media. Tulisan berupa feature sejumlah 250 kata dengan judul "Kesuksesan di Balik Kayuhan Sepeda Tua" ini ternyata mampu menarik juri untuk memposisikannya pada posisi puncak di antara 67 tulisan dari para jurnalis yang masuk ke meja panitia.

Penganugerahan Fachrodin Award (Dokpri, screenhot)
Penganugerahan Fachrodin Award (Dokpri, screenhot)

Terimakasih, Pak Trimo. Dialah yang mengajarkan kepada kita tentang rasa syukur dan menjalani pekerjaan dengan niat ibadah."Yang penting senang, Mbak. Bagi saya menegakkan Islam melalui Muhammadiyah itu sebagai bekal ibadah," katanya sambil terkekeh.

Anugerah Fachrodin Award ini benar-benar menjadi kado istimewa di akhir tahun untuk saya. Rasanya tidak percaya, seperti mimpi. Sebagai penulis pemula yang masih harus banyak belajar, bahkan untuk mengetahui "apa itu feature" saya harus bertanya pada google.

Konon, aspek heroik  dan apa adanya inilah yang menarik. Kisah tentang Pak Trimo juga membawa saya berselancar dalam live streaming bersama Radio Muhammadiyah dalam talkshow bertajuk "Jejak Sang Pencerah". Alhamdulillah, bisa menutup tahun dengan meninggalkan jejak. Jejak  sang pencerah dari tingkat bawah, kaum grassroot yang hampir tidak tersentuh. Semoga menjadi motivasi dan inspirasi bagi kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun