Mohon tunggu...
Azizah Herawati
Azizah Herawati Mohon Tunggu... Penulis - Penyuluh

Pembelajar yang 'sok tangguh'

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pramuka Zaman Now, Masihkah Menanamkan Kemandirian?

14 Agustus 2020   23:54 Diperbarui: 15 Agustus 2020   01:04 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tidak kenal Pramuka? Ya, Praja Muda Karana. Sejak dilantiknya Ketua Majlis Pimpinan Nasional Gerakan Pramuka pada tanggal 14 Agustus 1961, tanggal tersebut  diperingati sebagai Hari Pramuka. 

Kini, organisasi kepanduan tingkat Nasional itu genap berusia 59 tahun. Tidak dapat dipungkiri kalau istilah Pramuka sangat familiar dan begitu merakyat. Sehingga tidak mengherankan apabila hampir setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan di Indonesia mempunyai kenangan tersendiri tentang pramuka sesuai masanya.

Berbagai macam kode kehormatan sebagai anggota pramuka begitu melekat dalam ingatan setiap anggota. Sejak mereka masih kecil dan bergabung dengan Pramuka Siaga, pasti sangat hafal dengan Dwi Darma dan Dwi Satya. 

Demikian pula ketika beranjak dewasa menjadi Pramuka Penggalang hingga Penegak dan Pandega, mereka mengenal Dasa Darma dan Tri Satya. Sampai-sampai untuk memudahkan menghafal Dasa Darma, harus membuat singkatan supaya mudah untuk dihafal "Tacinta paparera hedibesu". Mari kita buktikan pada huruf yang tercetak tebal. 

Dasa Darma Pramuka, Pramuka itu (1) Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2) Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia, (3) Patriot yang sopan dan kesatria, (4) Patuh dan suka bermusyawarah, (5) Rela menolong dan tabah, (6) Rajin, trampil dan gembira, (7) Hemat, cermat dan bersahaja, (8) Disiplin, berani dan setia, (9) Bertanggungjawab dan dapat dipercaya, (10) Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Pramuka memang fenomenal. Saya dan keluarga saya sangat akrab dengan dunia pramuka. Bapak kami sudah maestronya pramuka, sampai kalau upacara Hari Pramuka, aneka atribut terpasang di tubuhnya. Bahkan ada beberapa atribut yang tidak tahu, itu melambangkan apa. Sejatinya bukan atribut yang menjadi sorotan, namun semangat kemandirian dan ketrampilan yang diajarkan bapak kepada kami itulah yang membuat kami begitu terkesan.

Saat kami heran dan kagum atas apa yang bapak lakukan, bapak berkomentar singkat, "Pramuka kok!". Ada aura bangga di wajahnya. Terbersit sebuah isyarat bahwa "Pramuka itu trampil, rajin, bertanggungjawab dan serba bisa!". Paket komplit, persis yang ada di Dasa Darma. Nah, ini yang harus ditiru. Sebagai contoh dalam urusan potong memotong kayu. 

Di usianya yang tak lagi muda, bapak masih bisa melakukan dengan baik, rapi dan tuntas. Begitu runtut. Bahkan dalam memotong-motong daging ayam utuh menjadi beberapa bagian. Bapak bisa melakukannya dengan begitu urut dan rapi. Saya yang menyimak dengan seksamapun, tidak bisa melakukan serapi yang dilakukan bapak. Lagi-lagi, saat saya heran dan bertanya,"Kok bisa ya?". Jawabnya masih sama,"Pramuka kok!".

Terkait kemandirian, jangan ditanya. Sejak kami masih kecil, saat ibu tidak di rumah karena suatu urusan, bapak dengan lihai memasak untuk kami. Dari menanak nasi dengan peralatan yang masih sederhana, memasak sayur, itupun bersantan, sehingga harus memarut kelapa sampai dengan mempersiapkan lauk pauk, semua beres di tangan bapak. 

Kalaupun kami membantu, tentu belum seberapa jika dibandingkan dengan yang dikerjakan bapak. Bahkan saat kami semua sudah berkeluarga, ibu kami sakit dan dalam masa pemulihan, di usia bapak yang sudah sama dengan usia kemerdekaan Negara Indonesia tercinta ini, bapak masih saja lihai melakukan tugas rumah tangga yang biasa dilakukan ibu. Lagi-lagi, dengan bangga bapak berkelakar,"Pramuka kok!".

Kesan bahwa pramuka itu luar biasa begitu melekat di benak kami. Sehingga kamipun terlibat aktif di gerakan kepanduan tersebut. Sejak kami masih duduk di bangku sekolah dasar, saya, kakak dan adik-adik saya juga aktif dan selalu terpilih di garda depan dari pasukan sekolah kami. Demikian pula para cucu, anak-anak kamipun demikian. Mewarisi darah kakeknya untuk mengabdi melalui Praja Muda Karana.

Mungkin, secara prestasi akademik kami unggul. Tapi jika ada ujian ketrampilan dan kemandirian, bisa dipastikan kami, anak dan cucu kalah telak dengan mbah kakung! Jangankan era para cucu. Era saya dengan era bapakpun sudah sangat berbeda.

Untuk membuktikan kemandirian para anggota pramuka dari masa ke masa bisa kita saksikan saat mereka mengikuti kegiatan berkemah. Berkemah dengan mendirikan tenda beserta berbagai perlengkapan. Seolah-olah mereka pindah rumah. Makan, tidur, bermusyawarah dan melakukan banyak hal di dalam tenda. Sehingga tenda merupakan icon dari pramuka. Sehingga tidak jarang, mereka yang tidak tertarik dunia kepramukaan berkomentar dengan nada nyinyir,"Punya rumah kok susah-susah tidur di tenda!".

Sengaja saya ajak anda berselancar untuk flashback ke masa lalu kita. Bagi anda yang seusia dengan saya dan hidup di era 80-an tentu punya kesan tersendiri terkait pramuka. Apalagi kegiatan berkemah, baik itu lomba tingkat dalam rangka hari pramuka maupun event sekolah yang biasa diadakan di akhir pekan, hari Sabtu dan Minggu. Sehingga dinamai Persami, Perkemahan Sabtu dan Minggu.

Bagi kami saat itu, berkemah itu benar-benar amazing. Kami meninggalkan rumah, berbekal aneka macam perlengkapan selama kami berpisah dengan orang tua untuk sementara. Peralatan masak lengkap. Jangan berpikir kami membawa kompor minyak, apalagi kompor gas ya! Kami membawa kayu bakar. Di lokasi nanti, kami dibantu kakak Pembina akan mencari batu atau batubata untuk kami pakai sebagai tungku saat kami memasak nanti. Benar-benar eksotis.

Keterbatasan fasilitas tidak menghalangi kami untuk menjadi pribadi mandiri. Dari mendirikan tenda, menimba air untuk memasak, memasak makanan untuk dimakan bersama, semua dilakukan di bumi perkemahan hanya dengan dipandu oleh kakak Pembina dan guru pendamping. Jadi, kami yang memasak dan menyajikan, bukan bapak ibu guru. Ketrampilan dan kemandirian benar-benar terasah di sini.

Orangtuapun mantap dan pasrah melepas putra putrinya pergi berkemah. Mereka percaya bahwa di bawah bimbingan para Pembina, mereka akan baik-baik saja. Apalagi saat itu belum jamannya smartphone. Anak lebih fokus pada kegiatan di bumi perkemahan, tanpa harus resah didera rindu pada orangtua.

Seiring waktu berjalan, Pramuka jaman now bukan lagi merupakan ajang untuk ujian kemandirian. Bagaimana mau mandiri kalau semua pekerjaan saat berkemah yang seharusnya menjadi sarana mereka berlatih aneka ketrampilan dan mendidik mereka mandiri, justru dilakukan oleh bapak ibu guru pendamping. 

Anaknya yang kemah, gurunya yang rempong. Tenda sudah berdiri, aneka hiasan sekitar tenda sudah dibuatkan, sampai masakanpun sudah selalu ready sesuai jadwal. Merdeka sekali ya! Belum lagi orangtua yang super rempong. Kemahnya dua hari, menjenguknya tiga kali. Menyusulkan ini, menyusulkan itu. Khawatir kalau si anak tidak bisa tidur, takut tidak cukup bekal dan aneka kegalauan lain yang justru tidak mendidik.

Begitulah sebagian fenomena yang terjadi saat ini. Saya tidak mengada-ada, karena saya juga pelaku sejarah dari masa ke masa. Setidaknya sejak saya siaga di kelas tiga Sekolah Dasar hingga saya menjadi Pembina. Hingga akhirnya saya juga menjadi orangtua yang terkadang terbawa orangtua lain yang begitu galau dan khawatir saat anaknya berkemah. Namun saya juga tidak bermaksud menyalahkan pihak manapun. 

Justru, kondisi ini mengajak kita untuk sama-sama mengevaluasi "mau dibawa ke mana Pramuka kita?". Sudahkan kita benar-benar membekali mereka supaya menjadi seperti apa yang diuraikan dalam Dasa Darma Pramuka? Masihkah kita meragukan bahwa sebenarnya mereka bisa melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan? Apakah kita tidak yakin, kalau kita tidak terlalu ikut campur, mereka bisa mandiri?

Semua kembali kepada kita, para orangtua dan guru. Belajar ikhlas, membiarkan mereka mengerjakan yang menjadi tugas mereka. Cukuplah bagi kita membimbing dan mengarahkan, bukan kita yang melakukan. Dengan begitu, mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, tangguh, trampil dan mandiri. Siap tumbuh dan berkembang di manapun mereka berada. Bukankah itu yang diajarkan kakak Pembina kita tentang filosofi tunas kelapa, simbolnya pramuka? "Satyaku kudarmakan, darmaku kubaktikan". Salam Pramuka! Dirgahayu Pramuka Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun