Mohon tunggu...
Azizah Ferina Utami
Azizah Ferina Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Universitas Sriwijaya Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Angkatan 2019

Hola! Selamat membaca artikel di sini, semoga mudah dipahami dan bermanfaat untuk kalian!~

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kritik Terhadap Konsep Detterence Sebagai Strategi di Era Kontestasi Nuklir

2 Desember 2021   19:00 Diperbarui: 2 Desember 2021   20:07 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring berkembangnya zaman, hadirnya kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tentunya telah memberikan pengaruh terkait strategi serta alat seperti senjata nuklir yang digunakan untuk melakukan serangan. Oleh sebab itu, adanya senjata nuklir telah memberikan implikasi besar dalam menciptakan strategi untuk berperang. Implementasi dari strategi yang melibatkan nuklir disebut juga Strategi Nuklir. 

Perang Dunia II merupakan pertama kali munculnya strategi nuklir. Sedangkan strategi didefinisikan sebagai bagian dari usaha guna meraih tujuan dengan cara berperang. Clausewitz beranggapan bahwa perang ialah sebuah alat agar dapat mencapai sebuah kepentingan (Clausewitz, 2010). Selanjutnya, Michael Porter memiliki anggapan bahwa strategi memiliki elemen yang penting yaitu memilih untuk melakukan hal yang berlainan dengan musuh.

Tidak sampai di situ, Greene juga memberikan pernyataan mengenai hal yang penting dalam strategi ialah memperoleh banyak tindakan maupun pilihan, jika dibandingan dengan musuh. Hal tersebut termuat di dalam buku populernya , The 33 Strategies of War yang tentunya mencantumkan sejumlah pernyataan yang menarik (Greene, 2007). Setelah melihat beberapa pandangan terkait strategi, maka terlihat berbagai perbedaan pandangan atau perubahan dalam menafsirkan strategi. Jika melihat ke era Perang Dunia II, strategi ditafsirkan pada sebuah usaha guna meraih kepentingan dengan cara berperang. Sedangkan di pasca Perang Dunia, strategi ditafsirkan sebagai alat yang digunakan sebagai usaha untuk memperoleh profit ataupun kepentingan dari sebuah negara.

Selanjutnya, pada era kontestasi nuklir termuat sejumlah konsep yang berubah dalam mendasari strategi itu sendiri. Melansir prinsip utama Clausewitz yang menganggap bahwa perang serta strategi yang memiliki keterikatan, dengan kata lain tujuan dapat dicapai jika melakukan perang. Tatkala, kontestasi senjata nuklir dalam rentang tahun 1949-1989 yang melibatkan Amerika Serikat dengan Uni Soviet yang sebenarnya tidak benar-benar terlibat dalam peperangan nuklir. Maka dari itu, kekuatan nuklir tersebut memberikan kesulitan untuk melakukan analisis terhadap konsep strategi yang menyatakan bahwa peperangan yang dilakukan guna memenuhi kebutuhan dari negara itu sendiri.  

Di sisi lain, terdapat konsep dari Michael Porter yang mendefinisikan strategi dengan menciptakan sikap serta aksi yang berbeda dengan musuh. Hal ini disebabkan Porter melandaskan pemikirannya pada anggapan bahwa musuh akan memperoleh kesamaan dalam hasil dan justru kita tidak dapat memenangkannya (Porter, 1980). Jika diimplementasikan doktrin-doktrin tersebut ke dalam rancangan kontestasi dari pemilik-pemilik nuklir, tentunya konsep tersebut memiliki sejumlah perbedaan. Namun, konsep tersebut masih sangatlah relevan, hal ini disebabkan karena pada realitanya di tahun 1940 Amerika Serikat melakukan pengembangan nuklir. Kemudian, di tahun 1949 Uni Soviet menciptakan nuklir yang berkekuatan lebih.

Dalam upaya menjadi unggul dalam kontestasi tersebut, Amerika Serikat meluncurkan bom hidrogen yang mampu mengalahkan kekuatan dari bom atom yang telah menghancurkan kota Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Tidak hanya itu, Amerika Serikat juga membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO), menciptakan kondisi demokratis di Jerman Barat serta menugaskan pasukan di Jepang guna memperkuat posisinya.

Akan tetapi, di sisi lain realita memperlihatkan diantara konsep-konsep strategi diatas yang telah dianggap memiliki keterkaitan dengan nuklir ialah Detterence. Konsep ini populer karena tidak terdapat pihak yang menangkal sebuah serangan dari nuklir, maka dari itu tidak terdapat pula pihak yang akan mencoba melakukan penyerangan menggunakan nuklir. Dalam membangun situasi dan kondisi tersebut, tentunya kedua belah pihak harus berkekuatan imbang, tiap-tiap negara setidaknya memiliki senjata nuklir. Di dalam keadaan ini, 

Porter melihat bahwa  terjadinya kontestasi persenjataan nuklir, dimana tiap-tiap negara saling berusaha untuk melakukan perimbangan kekuatan bahkan melebihi kekuatan negara lain. Guna memperlihatkan representasi konsep strategi nuklir ini, maka diharuskan untuk mengulas pemikiran dari sejumlah pemikir terkait strategi nuklir itu sendiri. Jon Lodal berpendapat bahwa awal dari kemunculan konsep deterrence disebabkan oleh senjata nuklir yang berkekuatan tinggi serta menyebabkan kehancuran yang tidak dapat dihindari. Meskipun konsep deterrence telah muncul dari sebelum hadirnya persenjataan nuklir, akan tetapi eksistensi dari senjata nuklir ini menjadi fondasi padangan Amerika Serikat serta Uni Soviet guna mengimplementasikan konsep dari deterrence itu sendiri. Hal ini dilandaskan pada potensi nuklir yang dapat meluluhlantahkan perabadan negara yang melakukan serangan utama yang pada akhirnya negara yang diserang akan melakukan serangan balik (Lodal, 1980).

Selanjutnya, yang hendak diulas dari konsep deterrence mengenai situasi serta kondisi dari negara maupun pihak yang melibatkan diri dalam sebuah konflk, dimana keduanya berkontestasi guna memperkuat kemampuan senjata nuklir. Akan tetapi, senjata nuklir tersebut justru tidak digunakan, apakah hal ini termasuk ke dalam sebuah strategi?

Terdapat sebuah kritik mengenai strategi deterrence senjata nuklir yang dinilai layaknya seperti permainan catur. Dmana musuh memiliki pion yang sangat kuat dan tidak terikat dalam peraturan bermain catur secara mendadak. Pion ini sebenarnya tidak memiliki pengaruh bahkan keuntungan dalam permainan tersebut karena berada di luar aturan permainan. Alhasil, masing-masing negara maupun pihak yang telah berupaya memunculkan pion yang berkekuatan semata-mata disebabkan oleh kepemilikan musuh. Kemudian,

Morgenthau turut memberikan pandangan hingga sebuah kritik yang menjadi penting guna menganalisis strategi dari deterrence tersebut. Bagaimana suatu strategi yang dapat menjangkau kepentingan dapat disebut bagian dari strategi? (Morgenthau, 1964). Kemudian apa kegunaan dari senjata nuklir? Apabila kita melihat pada sejumlah kasus justru sebenarnya Amerika Serikat dan Uni Soviet sendiri tidak menggunakan senjata nuklir itu sendiri. Apabila memang senjata nuklir tersebut tidak bisa digunakan, lalu dimana posisi kekuatan dari strategi tersebut?

Robert Greene telah menyatakan pendapatnya bahwa strategi selalu bergerak secara dinamis, melakukan penyesuaian terhadap area di sekitarnya serta memikirkan apa saja yang menjadi kebutuhan dari strategi yang akan dibentuk. Jika kita menelaah strategi tersebut sesuai dengan situasi maupun kondisi area atau kawasan dimana strategi dibuat, maka terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan terkait deterrence antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang tergolong dalam kategorisasi strategi. Pertama, jika dilihat dari sisi strategi senjata nuklir ini dipandang sebagai alat untuk meraih tujuan serta kepentingan. Sepanjang tahun 1949-1989 atau yang disebut dengan era senjata nuklir.

Pada saat itu, politik global di bawah pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sama-sama memiliki kekuatan yang besar. Tentunya kedua negara tersebut memiliki pentingan masing-masing guna melindungi stabilitas keamanannya. Maka dari itu,dibutuhkan pengamatan terhadap Perang Dunia yang telah berakhir, kemudian Amerika Serikat memiliki senjata berupa nuklir. Sejumlah penemu senjata nuklir serta para petinggi dari pemerintahan Amerika Serikat telah menyatakan bahwa senjata nuklir dapat mengancam stabilitas keamanan dari sebuah negara di seluruh penjuru dunia, menghancurkan kota dalam hitungan detik, serta korban jiwa yang tidak terhingga (Mahnken, Thomas G. and Josep A. Maiolo, 2004).

Ketika Uni Soviet mendapat sebuah ancaman dari Amerika Serikat yang memiliki senjata nuklir yang berpotensi meluluhlantahkan peradaban dunia, dan memilih untuk menerapkan konsep deterrence ialah mengembangkan senjata nuklir yang seimbang dan mandiri guna melindungi stabilitas keamanannya. Di sini penulis dapat mengerti dengan melihat kebijakan dari Amerika Serikat yang mengembangkan potensi nuklir pasca Uni Soviet mampu melahirkan senjata nuklir. 

Hal ini dilakukan oleh kedua negara dalam upaya meraih kepentingan domestiknya yakni bertahan. Kedua, konsep strategi deterrence ini dapat mengendurkan kedudukan musuh. Mengigat ancaman-ancaman yang hadir akibat serangan senjata nuklir tentunya pilihan yang dapat dipilih oleh suatu negara maupun pihak menjadi sangat terbatas dan bertahan menjadi opsi pertama. Di sisi lain, bertahan yang menjadi pilihan utama tidak menutup kemungkinan untuk pilihan lainnya. 

Hal ini dibuktikan saat awal kontestasi yang melibatkan antara kedua negara, Amerika Serikat telah melakukan pengembangan terhadap Massive Retaliation Concept serta mampu meluluhlantahkan Uni Soviet yang belum sempat melakukan penyerangan hingga titik akhir Amerika Serikat. Beriringan dengan kekuatan Uni Soviet yang semakin berkembang, prinsip-prinsip tersebut mengalami perubahan menuju Limited Relalition serta Mutual Assured Destruction.

Di bagian sebelumnya telah dijelaskan terkait keberpihakan maupun menentang posisi deterrence ini yang digunakan sebagai strategi senjata nuklir. Salah satunya Bernard Brodie serta Morgenthau beranggapan bahwa deterrence merupakan bagian dari suatu strategi dalam senjata nuklir. Di sisi lain, banyak pihak yang menentang konsep tersebut dan menilai bahwa konsep tersebut tidaklah ada (Spectacle, 1996). Penulis sendiri beranggapan jika melihat konsep deterrence ini dalam konsep strategi klasik itu sendiri agak sedikit sulit.

Namun, sejumlah startegi yang diusung oleh Clausewitz serta Sun Tzu memang masih memandang bahwa tujuan dalam melakukan peperangan merupakan hal yang penting. Sedangkan dalam kontestasi senjata nuklir terlebih lagi dalam era kontemporer ini tidak memungkinkan terjadinya perang secara terbuka antar negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir. Oleh sebab itu, penulis juga melakukan kategorisasi konsep strategi deterrence: pertama, tidak ada negara yang akan terlibat dalam kontestasi strategi maupun peperangan. 

Hal ini seperti yang dipersepsikan oleh Sun Tzu,  senjata nuklir yang berpotensi menimbulkan implikasi yang besar serta dapat memenangkan perang secara cepat (Tzu, 1994). Kedua, jika sebelumnya strategi digunakan untuk memperoleh kemenangan dalam perang secara penuh, memaksa musuh. Maka, dalam konsep strategi senjata nuklir ini memiliki sejumlah tujuan seperti mengurangi kekuatan musuh, mengembangkan kekuatan sendiri sebagai upaya guna bertahan hidup, mejaga stabilitas keamanan serta memperoleh kepentingan domestik. Berdasarkan hal ini, orang-orang akan cenderung beranggapan berbagai perubahan ini telah berimplikasi pada strategi nuklir yang dinilai usang.

Saya selaku penulis menarik kesimpulan bahwa konsep utama dalam strategi seperti yang telah diungkapkan oleh Clausewitz justru masih termuat dalam konsep-konsep strategi senjata nuklir terlebih lagi mengenai deterrence ini. Konsep strategi itu juga merupakan sebuah alat dalam meraih kepentingan serta pilihan dalam menyusun kebijakan. Pasca keruntuhan Uni Soviet serta hilangnya kontestasi senjata nuklir ini, strategi senjata nuklir termasuk deterrence telah dianggap telah melemah. Namun, di sela-sela menjalarnya sejumlah persoalan terkait nuklir terutama persoalan antara Pakistan dan India telah membuat konsep deterrence kembali dipandang sebagai strategi dalam mendamaikan konflik yang berhubungan dengan nuklir itu sendiri di era Perang Dunia. Tak lupa juga dengan besarnya potensi deskruktif dari nuklir itu sendiri membuat negara-negara yang memiliki senjata tersebut lebih menitikberatkan deterrence sebagai penangkal dari perang nuklir.

REFERENCES

Clausewitz, C. V. (2010). On War. The Floating Press. Retrieved November 28, 2021

Greene, R. (2007). The 33 Strategies of War. London: Penguin (Non-Classics). Retrieved November 28, 2021

Lodal, J. M. (1980, January 1). Detterence and Nuclear Strategy. Daedalus, 109, 155-175. Retrieved November 30, 2021, from https://www.osti.gov/biblio/7154510-deterrence-nuclear-strategy

Mahnken, Thomas G. and Josep A. Maiolo. (2004). Strategic Studies A Reader. In B. Brodie, The Absolute Weapon (2 ed., pp. 207-210). London and Newyork: Routledge Taylor & Francis Group. Retrieved November 30, 2021

Morgenthau, H. J. (1964). The Four Paradoxes of Nuclear Strategy. American Political Science Association. doi:https://doi.org/10.2307/1952752

Spectacle, T. E. (1996, June). Nuclear Strategy is an Oxymoron. Retrieved November 30, 2021, from https://www.spectacle.org/696/strat.html

Porter, M. E. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and Competitors. New York : The Free Press. Retrieved November 29, 2021

Tzu, S. (1994). The Art of War. Project Gutenberg. Retrieved December 1, 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun