Robert Greene telah menyatakan pendapatnya bahwa strategi selalu bergerak secara dinamis, melakukan penyesuaian terhadap area di sekitarnya serta memikirkan apa saja yang menjadi kebutuhan dari strategi yang akan dibentuk. Jika kita menelaah strategi tersebut sesuai dengan situasi maupun kondisi area atau kawasan dimana strategi dibuat, maka terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan terkait deterrence antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang tergolong dalam kategorisasi strategi. Pertama, jika dilihat dari sisi strategi senjata nuklir ini dipandang sebagai alat untuk meraih tujuan serta kepentingan. Sepanjang tahun 1949-1989 atau yang disebut dengan era senjata nuklir.
Pada saat itu, politik global di bawah pengaruh Amerika Serikat dan Uni Soviet yang sama-sama memiliki kekuatan yang besar. Tentunya kedua negara tersebut memiliki pentingan masing-masing guna melindungi stabilitas keamanannya. Maka dari itu,dibutuhkan pengamatan terhadap Perang Dunia yang telah berakhir, kemudian Amerika Serikat memiliki senjata berupa nuklir. Sejumlah penemu senjata nuklir serta para petinggi dari pemerintahan Amerika Serikat telah menyatakan bahwa senjata nuklir dapat mengancam stabilitas keamanan dari sebuah negara di seluruh penjuru dunia, menghancurkan kota dalam hitungan detik, serta korban jiwa yang tidak terhingga (Mahnken, Thomas G. and Josep A. Maiolo, 2004).
Ketika Uni Soviet mendapat sebuah ancaman dari Amerika Serikat yang memiliki senjata nuklir yang berpotensi meluluhlantahkan peradaban dunia, dan memilih untuk menerapkan konsep deterrence ialah mengembangkan senjata nuklir yang seimbang dan mandiri guna melindungi stabilitas keamanannya. Di sini penulis dapat mengerti dengan melihat kebijakan dari Amerika Serikat yang mengembangkan potensi nuklir pasca Uni Soviet mampu melahirkan senjata nuklir.Â
Hal ini dilakukan oleh kedua negara dalam upaya meraih kepentingan domestiknya yakni bertahan. Kedua, konsep strategi deterrence ini dapat mengendurkan kedudukan musuh. Mengigat ancaman-ancaman yang hadir akibat serangan senjata nuklir tentunya pilihan yang dapat dipilih oleh suatu negara maupun pihak menjadi sangat terbatas dan bertahan menjadi opsi pertama. Di sisi lain, bertahan yang menjadi pilihan utama tidak menutup kemungkinan untuk pilihan lainnya.Â
Hal ini dibuktikan saat awal kontestasi yang melibatkan antara kedua negara, Amerika Serikat telah melakukan pengembangan terhadap Massive Retaliation Concept serta mampu meluluhlantahkan Uni Soviet yang belum sempat melakukan penyerangan hingga titik akhir Amerika Serikat. Beriringan dengan kekuatan Uni Soviet yang semakin berkembang, prinsip-prinsip tersebut mengalami perubahan menuju Limited Relalition serta Mutual Assured Destruction.
Di bagian sebelumnya telah dijelaskan terkait keberpihakan maupun menentang posisi deterrence ini yang digunakan sebagai strategi senjata nuklir. Salah satunya Bernard Brodie serta Morgenthau beranggapan bahwa deterrence merupakan bagian dari suatu strategi dalam senjata nuklir. Di sisi lain, banyak pihak yang menentang konsep tersebut dan menilai bahwa konsep tersebut tidaklah ada (Spectacle, 1996). Penulis sendiri beranggapan jika melihat konsep deterrence ini dalam konsep strategi klasik itu sendiri agak sedikit sulit.
Namun, sejumlah startegi yang diusung oleh Clausewitz serta Sun Tzu memang masih memandang bahwa tujuan dalam melakukan peperangan merupakan hal yang penting. Sedangkan dalam kontestasi senjata nuklir terlebih lagi dalam era kontemporer ini tidak memungkinkan terjadinya perang secara terbuka antar negara-negara yang memiliki persenjataan nuklir. Oleh sebab itu, penulis juga melakukan kategorisasi konsep strategi deterrence: pertama, tidak ada negara yang akan terlibat dalam kontestasi strategi maupun peperangan.Â
Hal ini seperti yang dipersepsikan oleh Sun Tzu, Â senjata nuklir yang berpotensi menimbulkan implikasi yang besar serta dapat memenangkan perang secara cepat (Tzu, 1994). Kedua, jika sebelumnya strategi digunakan untuk memperoleh kemenangan dalam perang secara penuh, memaksa musuh. Maka, dalam konsep strategi senjata nuklir ini memiliki sejumlah tujuan seperti mengurangi kekuatan musuh, mengembangkan kekuatan sendiri sebagai upaya guna bertahan hidup, mejaga stabilitas keamanan serta memperoleh kepentingan domestik. Berdasarkan hal ini, orang-orang akan cenderung beranggapan berbagai perubahan ini telah berimplikasi pada strategi nuklir yang dinilai usang.
Saya selaku penulis menarik kesimpulan bahwa konsep utama dalam strategi seperti yang telah diungkapkan oleh Clausewitz justru masih termuat dalam konsep-konsep strategi senjata nuklir terlebih lagi mengenai deterrence ini. Konsep strategi itu juga merupakan sebuah alat dalam meraih kepentingan serta pilihan dalam menyusun kebijakan. Pasca keruntuhan Uni Soviet serta hilangnya kontestasi senjata nuklir ini, strategi senjata nuklir termasuk deterrence telah dianggap telah melemah. Namun, di sela-sela menjalarnya sejumlah persoalan terkait nuklir terutama persoalan antara Pakistan dan India telah membuat konsep deterrence kembali dipandang sebagai strategi dalam mendamaikan konflik yang berhubungan dengan nuklir itu sendiri di era Perang Dunia. Tak lupa juga dengan besarnya potensi deskruktif dari nuklir itu sendiri membuat negara-negara yang memiliki senjata tersebut lebih menitikberatkan deterrence sebagai penangkal dari perang nuklir.
REFERENCES
Clausewitz, C. V. (2010). On War. The Floating Press. Retrieved November 28, 2021