Secercah sinar pagi memancar dari balik bukit sepi. Menyelinap pada sela-sela jendela yang tertutup rapat, seolah mengintip cemas terhadap bayangan yang tak kunjung tergambar pada dinding-dinding lembab yang telah lama menampung kepiluan.
Kembali kutatap layar ponsel yang senyap. Lama. Namun ia tak kunjung berdering. Tak sampai di situ, aku mengangkat dan menggoyangkan benda tersebut ke langit-langit, mungkin saja gangguan sinyal membuat kabarmu tertunda padaku.
Sayang, semua hanya ilusi yang kejam. Suara paraumu kala itu kembali menghantui. Seakan  sekali lagi menegaskan, bahwa alasanmu untuk pergi bukan muluk-muluk. Lungkrah. Sedetik kemudian netraku buram, tertutup gumpalan kaca penyesalan.
***
Awal kisah sebelum benih-benih cinta itu bermekaran. Nirmala, sahabatku, berguyon tanpa kusadari ada maksud dibaliknya. Memperkenalkanmu, hingga akhirnya mengatur pertemuan yang mengundang debaran hebat di dalam sana.
Kalau kalian tanya bagaimana perasaanku kala itu, entahlah. Aku tak tahu. Bahkan untuk mengekspresikan rasa gejolak tersebut aku limbung. Rasa yang berhasil membuat rona merah menyemai di wajahku.
Syarif. Pria jangkung berhidung mancung, persis seperti apa yang kulihat pada foto yang dikirim Nirmala kala itu, kini sudah berada tepat di hadapanku. Meja persegi panjang menjadi saksi bisu kegemetaran dan dinginnya ujung-ujung jariku. Sesekali kau melirik, begitupun denganku yang diam-diam mencuri pandang. Aku yang tak percaya sesekali mencubit kulit, memastikan ini bukan halusinasi. Hingga satu waktu tatapan itu tak sengaja bertemu. Ah, debaran apa ini?
Berjalannya waktu, perbincangan semakin serius. Berbagai pertanyaan darimu membuatku semakin yakin, jikalau beberapa bulan kemudian statusku akan berubah. Ya! Menjadi seorang istri.
Kau menaruh iba, setelah mendengar latar belakangku sebagai anak brokenhome. Kehidupan yang sangat jauh berbeda dengan kehidupanmu yang masih memiliki keluarga lengkap.
Posisiku sebagai anak sulung, kini menjadi penyangga kerapuhan rumah tangga yang hancur oleh orang ketiga. Hari-hariku hanya dihabiskan untuk beribadah, dan mencari nafkah, hingga membuatku tak tahu bagaimana rasanya berfoya-foya dan menikmati masa remaja.
Beberapa tahun setelah perceraian. Semua harta habis tergadai untuk menutupi lubang-lubang hutang selingkar pinggang. Hak-hak atasku dan keempat adikku habis dimakan oleh ketamakan wanita perebut cinta pertamaku yang tak ingin kusebut namanya.
Hingga pada akhirnya memutuskan untuk melanglang buana ke kota, Â mengubah keadaan dan melupakan pahit dan getirnya masa lalu. Tidak ada yang dibawa, semuanya habis tak tersisa.