Mohon tunggu...
Bee Qolbi
Bee Qolbi Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Universitas Negeri Malang dan santri PPTQ Nurul Furqon

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mahar Kebohongan

13 Februari 2017   22:02 Diperbarui: 13 Februari 2017   22:08 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk membuktikan bahwa aku setia, haruskah aku menunggumu menduda?

Aku tahu cinta kita adalah ketabuhan, tetapi, aku tak bisa memungkiri bahwa yang aku nantikan hanya dirimu, kaulah yang memberiku ilmu dan kau yang memberiku pelukan hangat saat aku sendiri. Bisakah Kau katakan padaku bahwa Kau siap memadu istrimu? Sekalipun nanti aku hanya Kau nikahi lalu Kau tinggal pergi, aku ikhlas. Asalkan aku dapat mencintaimu secara halal.

Aku harap Kau dapat membaca ini, Bapak. Meskipun kemungkinan itu kecil bahkan mungkin nol.

***

Guru Bahasa Indonesia yang satu ini memang bisa menjadi sosok bapak sejati, meski usianya baru 25 tahun. Pak Ryan memang kerap kali menjadi sorotan. Selain pribadinya yang menyenangkan dan murah senyum, dia adalah pengusaha muda yang terbilang cukup sukses. Beberapa guru wanita yang masih gadis tentu melirik guru bujang yang satu ini, namun, Pak Ryan mengaku bahwa dirinya masih trauma akan cinta karena pernah ditinggal oleh pacarnya di masa lalu.

 “Saya punya penawaran untuk Kamu, Ra. Kamu tuliskan sejarah kehidupan saya hingga saya menjadi pengusaha seperti sekarang ini. Nanti masalah penerbitan buku biar saya yang atur.” Suatu ketika, Pak Ryan memberi penawaran kepada Rara. Dengan senang hati, Rara menerima penawaran itu. Diucapkanlah kata deal pada siang itu. Siang yang membawa mereka pada pelayaran yang semakin jauh dari realitas kehidupan.

Konsekuensinya, Rara harus mendalami masa kecil Pak Ryan. Bagaimana Pak Ryan tumbuh, orang tuanya, lingkungannya, bahkan tempat tinggal dan mainannnya ketika kecil. Semua itu perlu waktu dan penyesuaian khusus. Diputuskanlah untuk menetap di rumah Pak Ryan selama beberapa minggu.

Rara disambut baik oleh orang tua Pak Ryan. Layaknya seorang anak laki-laki yang membawa seseorang yang telah dinantikan oleh keluarganya.

“Anggap saja rumah sendiri. Kami memang sudah lama menantikan gadis muda di rumah ini. Beruntung Ryan membawamu kemari, Cah ayu!” ucap ibunya suatu ketika. Rara hanya tersenyum sambil tersipu.

Pernah suatu ketika, ada pertemuan keluarga di rumah Pak Ryan. Rara hendak pulang tetapi dicegah oleh ibu. “Ikutlah walaupun sebentar. Kamu sudah dianggap keluarga di sini.” Rara pun mengiyakan.

Keluarga besar Pak Ryan terperangah ketika Rara keluar sambil membawa nampan berisi kue kering yang dibuatnya bersama ibu. Kerudung hijau dan gaun putih polos menambah keanggunan remaja yang berkulit putih itu.

“Lho, ini calonnya Ryan? Apa jangan-jangan ini sekalian acara tunangan?” tanya seorang wanita paruh baya seusia ibu. Rara hanya tersenyum dan memendamkan wajahnya. Pipinya memerah, anak gadis mana yang tak malu ketika ditanya seperti itu. Diam-diam Rara memandang wajah guru mudanya yang sama-sama terlihat canggung.

Tak terasa dua bulan sudah Rara berdiam diri di rumah masa kecil Pak Ryan. Setelah menuntaskan babak akhir cerita masa kecil Pak Ryan, Rara diajak menelusuri masa kuliah gurunya. Dibawanya Rara ke tempat kos yang dulu ditempati Pak Ryan di Surabaya semasa kuliah.

Rara dan Pak Ryan melanjutkan misi mereka. Siang hari sampai sore mereka menjelajahi kampus dengan sepeda ontel yang dipinjam Pak Ryan dari ibu kosnya. Siang hari mereka juga menyempatkan diri bermain di tempat kos, melihat atmosfer tempat kos seorang pengusaha.

“Kringg….Kring…Kring…hp Rara berdering ketika mereka sedang makan malam di sebuah restoran karena besok mereka akan kembali ke Malang. “Halo.” Rara mengangkat telpon genggamnya.

“APA???” pekik Rara setelah mendengar kabar yang ia dengar di telepon. “Iya, saya akan terbang besok pagi. Secepatnya.” tangis Rara pecah. Dia bersandar lemah di kursi restoran,

“Ada apa, Ra? Siapa yang barusan menelfon kamu?” tanya Pak Ryan khawatir.

“Saya harus ke Jakarta besok. Ayah saya sakit di sana.”

Semalaman Pak Ryan menemani Rara di kamarnya. Mereka gagal mendapatkan tiket pesawat yang berangkat malam itu. Mereka harus menunggu esok pagi jam 7. Rara hanya diam dan menangis. Pak Ryan hanya memandangi Rara dengan iba. Andai dia bisa memeluknya, pasti akan ia lakukan.

Malam itu, Rara menangis sambil memandagi jalanan kota Surabaya yang sedang ramai. Sebenarnya, pandangannnya kosong, khayalannya melambung jauh entah kemana. Bahkan, dia tidak memedulikan lelaki yang sedang duduk di sampingnya sambil memandang penuh belas kasih kepadanya. Tanpa menunggu lama lagi, Pak Ryan bangkit. Mengajak Rara ke balkon. Tanpa sadar, Rara langsung menjatuhkan pelukannya pada gurunya. Dalam waktu yang cukup lama, Rara menangis dalam pelukan Pak Ryan. Sebagai guru yang sudah menelan asam garam kehidupan, Pak Ryan memberi Rara wejangan dan motivasi untuk tidak menyalahkan diri sendiri.

Pagi buta, mereka sudah berada di Bandara Juanda. Semenjak berangkat, Pak Ryan terus menggandeng Rara. “Ra, berapa harga yang Kamu inginkan untuk misi kita ini? Saya akan bayar berapapun itu, karena kerja keras dan pengorbanan Kamu.” tanya Pak Ryan pelan. Rara menoleh dan tersenyum.

“Tak ada yang perlu dibayar, Pak. Tak ada harga yang pantas diminta murid kepada gurunya.”

“Apa … Kamu mau saya bayar dengan mahar?” Rara tertegun. Dia menunduk, bagaimana mungkin ini terjadi? Dirinya dipinang? Seriuskah perkataan gurunya? “Saya serius, Ra. Tapi, saya tidak minta jawabannya sekarang.” Rara tersenyum lagi, tapi kali ini matanya berkaca-kaca. “Bapak bisa mendapatkan jawabannya ketika saya sudah sampai di Jakarta.” sejenak kemudian, Rara diam. “Bagaimana kalau saya tidak kembali dalam waktu dekat?”

“Saya akan tunggu Kamu.” ujar Pak Ryan sambil menatap lekat mata hitam Rara. Peringatan bahwa pesawat akan berangkat sudah terdengar di sudut ruangan. Setelah mengulur senyum, Rara mencium tangan gurunya.

Berat melepasmu, Ra. Andai aku bisa ikut dan andai aku bisa meminang Kamu di depan ayahmu. Tapi, aku akan menunggu Kamu kembali. Aku janji

7 tahun kemudian…

Ayah saya meninggal seminggu setelah kedatangan saya waktu itu. Butuh cukup banyak waktu bagi saya untuk menata kembali hidup saya. Ibu, ayah, nenek, kakek, dan adik saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Saat Anda membaca surat ini, pasti Anda sudah memegang buku profil Anda. Seperti yang Anda inginkan, saya menyelesaikannya meskipun harus tertunda lama. Novel yang saya kirimkan kepada Anda, itu adalah hadiah saya untuk Bapak. Sebagai ungkapan terima kasih saya karena Bapak telah memberi saya kekuatan untuk bertahan. Pada awalnya, saya ingin mati, tapi, saya ingat bahwa saya masih memiliki Bapak. Saya ingat bahwa di kota lain, ada seseorang yang menanti kehadiran saya. Maaf telah menggantungkan kepastian saya. Saya bersedia mengambil mahar yang Bapak tawarkan waktu itu.

Dari yang mencintaimu sejak dulu

Raden Ayu Syahra

Lelaki itu melepas kacamatanya dan memandang dua buku yang baru saja dikirim oleh tukang pos. pikirannya kacau seketika. Seorang anak kecil berusia dua tahun sedang asyik memainkan mobil-mobilan yang baru saja dibelikan ayahnya.

Rara, apa kabarmu? Gadis yang aku nanti tujuh tahun lamanya.

***

Hari itu hari libur panjang akhir tahun. Rara pergi ke Malang untuk berlibur sekaligus menanyakan kabar desa dan cintanya. Bagaiamana kalau semuanya sudah berubah? Bagaimana kalau di sana aku tak menemukan apa yang aku cari?

Dengan keraguan yang berguncang di hatinya, Rara memasuki halaman rumah tua itu. Bangunannya masih tetap sama seperti yang Rara lihat dulu. Tiba-tiba, seorang anak kecil yang baru belajar jalan muncul dari balik pintu, seorang lelaki mengejarnya, takut kalau pangeran kecilnya jatuh.

Betapa terkejutnya Rara melihat siapa yang di depannya. Lelaki itu sama kagetnya, dan mata mereka bertemu beberapa waktu. Tak ada yang berani menyapa, maupun mengucap salam. Mendadak, suasana menjadi hening, matahari pagi serasa membakar kulit mereka, mata Rara mendadak memanas. Buru-buru dia memalingkan wajahnya dan menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Betapa mudah wanita ini menangis.

“Lho, Rara, kapan datang?” ibu yang baru saja memasuki halaman langsung memeluk Rara. Ibu mengajak Rara masuk dan menyambutnya bak puteri sendiri.

“Ra, Kamu istirahat dulu ya, kamar yang dulu Kamu tempati selalu ibu rawat. Soalnya ibu tahu kamu akan datang lagi. Kamu istirahat dulu ya.” ibu mengantar Rara ke kamarnya, dan seorang lelaki yang menggendong anaknya mengikuti mereka. Ibu meninggalkan Rara dan membiarkan tamunya istirahat. Sedangkan Ryan hanya mematung di pintu kamar Rara.

Seolah tak ada orang, Rara menutup pintu kamarnya, di dalam, dirinya menangis. Hatinya teriris. Pupus sudah. Tak ada yang bisa dia harapkan dengan datang ke sini.

“Ra, makan malam dulu, Nak.” Panggil ibu dari dapur.

“Iya, Bu. Sebentar lagi ya.” suaranya parau. Ryan yang mendengar tahu betul keadaan Rara saat ini. Seharian Rara mengurung diri di kamar, tak keluar barang sebentar. Tanpa menunggu lama lagi, Ryan beranjak membuka pintu kamar Rara.

Benar yang ditafsirkannya. Rara duduk di ujung tempat tidur, dengan mata sembap. Air matanya nampak kering. Melihat kedatangan Ryan, Rara langsung bangkit dan hendak menutup pintu.

“Ra, tunggu dulu, aku ingin kita bicara. Kamu tenang ya!”

“Saya ingin kenalan sama istri Bapak.” ucap Rara kemudian. Wajahnya tertunduk.

Pak Ryan mengajak Rara keluar dan menemui anaknya.

“Itu anak saya, Ryo namanya. Usianya dua tahun. Saya menikah dengan istri saya karena ayah saya meninggal secara tiba-tiba. Ibu bilang, saya harus menikah di hadapan jenazah ayah saya. Waktu itu, kamu baru berangkat ke Jakarta dan tak mungkin menuggu kamu, Ra. Saya mencoba hubungi Kamu, tapi, nomor Kamu tidak aktif. Akhirnya, Saya mengiyakan pilihan ibu saya. Menikahlah saya. Entahlah. Perlahan, saya mulai mencintai istri saya, tapi, saya tidak pernah lupa bahwa saya pernah menjanjikan mahar pada seorang anak gadis yang jauh di sana. Saya ingat, bahkan saat istri saya meninggal, ada setitik kebahagiaan dan harapan, bahwa saya masih bisa menikahi gadis itu. Kamu, Ra.”

Rara terkejut. Tapi masih enggan menatap Pak Ryan. “Lalu?”

“Semua tergantung Kamu. Saya duda, usia kita terpaut 8 tahun dan saya sudah memiliki seorang anak.”

“Bagaimana bisa saya menolak mahar yang telah saya terima 5 tahun lalu, Pak?” Mereka saling tersenyum dan memeluk, ibu mengusap air matanya melihat kedua anak yang diinginkannya saling bertemu.

***

“Tapi, itu hanya dalam novel saya. Cerita yang alurnya bisa saya tentukan sendiri. Sedangkan saya hanya manusia yang tak bisa mengatur kehidupan saya yang sebenarnya. Yang sebenarnya terjadi adalah, saya benar-benar ditinggalkan oleh dirinya. Istrinya tidak meninggal, bahkan mereka telah memiliki dua orang anak. Bagaimana mungkin saya tega merusak rumah tangga mereka? Apa saya harus menunggu Kamu menduda, Bapak? Tapi, sampai kapan?”

Ucap Rara menutup acara launching novel terbarunya. Dihadapan wartawan, Rara tak menyembunyikan air matanya. Dia benar-benar merindukan gurunya yang dia cintai.

***

Jauh di sebuah desa di Malang sana, lelaki itu melepas kacamatanya dan memandang dua buku yang baru saja dikirim oleh tukang pos. pikirannya kacau seketika. Seorang anak kecil berusia dua tahun sedang asyik memainkan mobil-mobilan yang baru saja dibelikan ayahnya. Di samping anak itu, seorang wanita menggendong anak bayinya. Wajahnya menunjukkan rona bahagia, sempurna sudah kehidupannya memiliki suami dan dua orang anak.

Rara, apa kabarmu? Gadis yang aku nanti tujuh tahun lamanya.

Secara sembunyi, dia menyeka air matanya. Menyembunyikan pahit yang dia telan. Mungkin tak sepahit rasa sakit yang ditelan Rara.

Andai jalan cinta kita seperti yang ada dalam novelmu, semua akan lebih mudah…

Mahar yang saya janjikan kepadamu adalah kebohognan, semoga Allah menggantinya dengan mahar yang lebih baik, Ra.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun