Tragedi Kanjuruhan, Malang, menjadi tragedi sepak bola terburuk kedua di dunia setelah tercatat menelan 129 korban jiwa. Kejadian ini terjadi diawali karena adanya suporter yang kecewa atas kekalahan klub Arema Malang yang saat itu (1/10) bertanding pada Liga 1 melawan Persebaya dengan skor akhir 2-3.Â
Supporter yang kecewa terhadap kekalahan Singo Edan ini berbondong-bondong menuruni tribun. Awalnya hanya satu orang, namun kemudian penonton lain menjadi terprovokasi untuk ikut menuruni tribun sehingga menyebabkan kericuhan.Â
Polisi yang saat itu bertugas kemudian melakukan tindakan represif memukul mundur kerumunan masa yang semakin tak terkendali dengan menembakkan gas air mata.
Melihat adanya kericuhan yang terjadi dan adanya tembakan gas air mata membuat penonton lainnya menjadi panik dan bergegas untuk keluar. Hasilnya banyak orang berdesakan, bahkan ada yang terinjak-injak saat mencoba keluar dari stadion.Â
Situasi masa yang berdesakan ditambah dengan masih adanya gas air mata membuat penonton mengalami sesak dan sulit untuk bernapas. Hal ini yang menyebabkan 129 korban jiwa bahkan 17 diantaranya adalah anak-anak.
Perlu kita ketahui bahwa pertandingan Liga 1 antara Arema dan Persebaya ini merupakan pertandingan kandang bagi Arema. Pertandingan ini juga merupakan pertandingan dengan rivalitas tinggi sehingga masuk dalam kategori pertandingan high risk.Â
Oleh karena itu sebelumnya suporter dari Persebaya Surabaya sudah dilarang untuk menghadiri secara langsung di stadion kanjuruhan, sehingga yang hadir saat itu hanya para Aremania yang memenuhi stadion. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian di Kanjuruhan bukanlah rivalitas antar supporter.
Pihak Kepolisian jelas telah melanggar standar keamanan FIFA dengan membawa dan menembakkan gas air mata. Sejauh ini terdapat 34 polisi yang telah diperiksa karena terindikasi melanggar kode etik buntut dari peristiwa Kanjuruhan.Â