10 hari lalu saya menulis tentang butterfly effect dalam kasus papua di beranda Faacebook. dan hingga hari ini yang dikahwatirkan benar-benar terjadi. pertanyaannya apakah dalam waktu dekat kerusuhan di papua akan reda? jawabannya Tidak.
Apa yang terjadi di papua hari ini berbeda dengan GAM, RMS, atau kerusuhan SARA di Sampit dan Maluku serta Poso. apa yang terjadi di Papua hari ini lebih mirip kejadian di Hong Kong. kerusuhan yang berlangsung lebih dari 100 hari di Hong Kong. setidaknya ada 2 poin yang sama, pertama soal strategi aksi dan kedua tentang identitas.
Pertama Startegi aksi, sama seperti Hong Kong aksi masa di papua tidak memiliki leader. tidak adanya pemimpin dalam setiap aksi akan menyulitkan pihak keamanan untuk menenangkan masa. tidak ada yang bisa diajak bicara dan tidak ada yang di dengar suaranya. pemimpin politik dan adat berada dalam dilema, berpihak pada pemerintah akan dianggap pengkhianat , pun sebaliknya akan kena masalah dari warganya.
Tidak adanya leader berarti juga tidak ada negosiasi, hasilanya yang terjadi adalah konforntasi. menyebar luas di seluruh kota. mirip di Hongkong, targetnya objek-objek vital. itulah kenapa pemerintah memblokade semua jalur komunikasi, melihat kejadian di Hongkong aksi masa digerakan oleh grup telegram.Â
Aksi ini sangat cair dan lentur serta tak terduga. kuncinya adalah kesabaran, seperti polisi Hongkong, sangat sabar dan cair. mereka rela "dipukuli" mengalah dan mundur. target mereka bukan menyerang demonstran, tapi mengambil hati sebagian besar warga Hongkong yang terganggau karena kasi dan mencap pendemo itu anarkis.
Aksi Hongkong saat ini belajar dari "aksi Demo payung" beberapa bulan sebelumnya yang juga berlangsung lama. aksi ini berhenti saat beberapa orang muncul kepermukaan sebagai leader seperti Joshua Wong, saat leader mereka tertangkap perlahan demo payung mereda. untuk itulah sehati-hati mungkin aksi di Hongkong tidak memunculkan pemimpin.
Maka ada dua kunci bagi pemerintah dalam menangani kerusuhan papua, sabar menunggu mereka lelah dalam aksi atau menanti munculnya kepemimpinan dalam aksi. sabar saja. karena semakin represif tindakan keamanan maka daya tolak akan semakin besar. hukum fisika.
Kedua adalah persoalan identitas. seperti warga Hongkong, seperti itulah Papua menyebut dirinya. bingung ?. begini, orang Hongkong tidak melabelkan dirinya orang China, mereka menolak jadi bagian dari China, mereka menyebut dirinya "orang Hongkong" secara identitas mereka menolak disamakan sebagai "orang china". identitas ini yang menempel di papua, sebagain besar orang papua lebih nyaman menamakan dirinya "bangsa papua" dibanding menyebutnya "bangsa indonesia".Â
Identitas pengakuan yang menempel bukan karena mongoloid atau melanesia. ini soal label diri yang diyakini. rumus ini kuat di hong kong, meskipun -maaf- sipt kulit putih dan secara gen sama dengan china mereka tetap lebih nyaman menyebut dirinya hongkong.
Identitas ini yang menjadi persoalan panjang di papua, saat di daerah yang lain indonesia persoalan ini udah selesai. di NTT, palembang, bugis, sunda, banjar, mereka akan menyebut identitas dirinya dan bangsa sebagai kesatuan, contohnya "suku sunda, bangsa indonesia" identitas ini yang agak sulit untuk dikompromikan dalam diri orang Papua. masih ada perjalanan panjang untuk akulturasi penyatuan tanpa saling menihilkan identitas diri.
Tak jauh dari identitas, orang papua merasa dirinya serba terjepit. kebetulan saya pernah satu kost dengan orang-orang papua, secara personal baik. artinya namanya manusia dimanapun di dunia ini apapun suku dan agamanya selalu ada yang baik dan buruk. di tanah rantau orang papua terjepit, mereka dianggap berbeda. misal tak banyak kost yang mau menerima mereka.Â
Contoh di jogja label "kost khusus muslim" bak cendawa di musim hujan. mereka lupa jika orang-orang eropa atau amerika bikin aturan "apartmen/kost khusus yang percaya yesus tuhan" maka orang indonesia yang kuliah di eropa bisa dihitung jari.
Di tanah rantau label pada orang papua negatif. di tanah sendiri para transmigran menguasai ekonomi papua. ruko-ruko di tengah kota kebanyakan tidak dimiliki mama-mama papua. orang-orang pendatang seperti bugis, minang, jawa dll banyak mengasai roda ekonomi (mirip kebencian orang "pribumi" pada yang namanya "non-pri" di pulau lain).
Jadi persoalannya bukan hanya ekonomi, bukan pula kemiskinan semata. kalau soal ekonomi dan kemiskinan aceh dan NTT bisa jadi tidak terlalu baik kondisi ekonominya di banding Papua. ada yang lebih jauh soal itu, soal identitas diri dan soal penerimaan komunitas lain di indonesia bahwa kita sama, satu bangsa satu indoensia.
Jadi ada 3 point dalam menangani kerusuhan sabar saja dan cair. semakin desdruktif makan warga juga akan semakin antipati pada demonstran. jadi kurangi represif. dalam jangka panjang pentingnya warga daerah lain membuka diri dan menerima warga papua secara sama dan tanpa adanya pandangan-pandangan negatif dan stereotif buruk dalam bermasyarakat. dan yang penting adalah apakah papua bisa merasa menjadi bagian dari bangsa indonesia.
Apapun itu yang terbaik adalah kedamaian, kesejahteraan tanpa ada yang merasa terdzalimi. kedamaian tidak ada jika masih ada rasa sakit. langit papua masih cerah, tanda kemarau ini masih akan panjang, semoga saja ada hujan yang bisa meredakan amarah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H