Salam Indonesia Mengapa tidak membiarkan orang berbeda tentang jawaban mereka misteri besar alam semesta? Biarkan masing-masing mencari jalan sendiri ke puncak tertinggi, untuk merasakan sendiri kesetiaan tertinggi dalam hidup, yang ideal untuk seseorang hidup. Biarkan setiap filsafat, setiap pandangan dunia melahirkan kebenaran dan keindahan pada perspektif yang lebih besar, bahwa orang mungkin tumbuh dalam visi, sosok dan dedikasi. [caption id="attachment_166465" align="alignleft" width="300" caption="piala dunia : sikelingking.worprss.com"][/caption] menurut ketentuan lomba yang disajikan oleh admin, peserta di bagi dalam dua kategori, pertama tentang reposrtase seputar semarak Piala Dunia dan yang kedua opini dalam bentuk pendapat atau gagasan. sayangnya saya tidak memiliki reportase maupun gagasan soal Piala Dunia. tapi sayang ingin becercerita sedikit tentang masa lalu saya menyambut gempita Piala Dunia. selalu asik dan menyenangkan mengorek kembali sisa-sisa kenangan yang tertinggal dari masa anak-anak, tertawa, berkelahi, bergembira, mandi dikali, mencuri kelapa, hingga mencari kayu bakar di hutan, dan tak ketinggalan bermain bola. sekolah SD saya sangat untik, bukan karena hamir longsor tergerus air sungai tapi ini dalam sisi olahraga. saat saya SD kami hanya punya dua bola satu bola kasti dan satu bola sepak, atau anak-anak sering menyebutnya "bola beliter". bola yang dari mulai saya masuk sekola hingga lulus SD tidak pernah ganti. pengetahuan tentang Piala Dunia didapat dari Radio dan TVRI, biasanya Radio pada masa itu selalu menyajikan sebuah reprtase, sebenarnya bukan hanya sepak bola tapi juga tinju dan batminton. sang penyaiar selalu dengan semangatnya menceritakan jalan pertandingan. istilahnya bagi kami bukan menonton sepakbola tapi mendengar siaran sepakbola. biasanya satu RT atau orang disekitaran rumah berkumpul di rumah si empunya radio untuk duduk berbaris memasang kuping didekatkan dengan speaker radio yang kecil. menunggu dengan tegang dan harap-harap cemas, semua pendengar terhipnotis dengan penyiar yang membawakan acara. mata tiap orang menerawang, mencoba menafsirkan sendiri-sendiri setiap kalimat yang diucapkan oleh penyiar radio itu. ketegangan, kesedihan dan konsentrasi penuh bercampur, karena tidak ada siaran ulang. tidak ada yang berani beranjak pergi. semuanya khusuk seperti saat sholat subuh. saat pertandingan berakhir dan pulang kerumah, tiap-tiap orang selalu menceritakan masing-masing imajinasi dari pertandingan itu apalagi jika terjadi gol bisa banyak perdebatan,"itu ditendang pake kaki kanan dari pojok", "bukan itu kaki kiri,", kata penyiar kaki kanan kok", "salah tuh", "radio yang bilang". selalu ada yang menarik, dan untuk membuktikannya biasanya berkumpul di bale desa untuk menonton siaran berita TVRI, berjudul "Dunia Dalam Berita". biasanya acara ini menyajikan cuplikan-cuplikan pertandingan. [caption id="attachment_166466" align="alignright" width="300" caption="bermain bola di sawah"][/caption] siangnya anak-anak berlagak jadi peman top, atau penyiar top. merasa dirinya jerman hingga belanda. jaman itu nama belum familiar, yang ada hanya nomer, jadi ketika bermain selalu menyebut dirinya nomer dan negara, seperti "aku nomer 5 dari jerman", atau "aku nomer 9 dari italia". unik dan lucu, dikampung itu yang ada hanya bola plasti, yang bentuknya tidak pernah bulat, kalau beli harus ke pasar di kota majenang, dimana perjalanannya menembus hutan-hutan pinus yang gelap. jadi bisa dibilang bola adalah barang yang berharga. biasanya bermain bola di samping masjid atau pinggir kali, tapi jika sehabis panen terkagang bermain di sawah yang memiliki kotakan yang besar. batang-batang padi dan jerami yang sudah kering diratakan di atas sawah, karena sawah kering dan retak-retak. permainan jarang dilakukan di lapangan desa karena biasanya dipake untuk merumput bagi ternak, apalagi kalu musim hujan becek dan jika esoknya panas, lapangan sudah berubah jadi tidak rata. tapi dasar anak-anak, dimasjidpun masih bermain bola, sambil menunggu isya, biasanya sarung 2-3 di gulung-gulung kemudian buat bermain bola dalam masjid. tapi dalam masjid ada peraturan khusus, dilarang menyentuh area imam dan khotbah, hukumnya dosa. selain itu oke sajalah.... bermain di pinggir jalan, di halaman-halaman kecil rumah di setiap sudut, desa adalah sebuah kebahagiaan yang mungkin saja tak kan pernah terulangi lagi, maklum saja desa saya dulu belum ada PLN jadi listrik hanya menyala sebelum maghrib hingga jam 10 malam sajaitupun listrik disel swadaya. menyambut gempita Piala Dunia pada masa itu tidak pernah membayangkan bahwa gempita itu luar biasa. inilah Piala Dunia bagi kami anak-anak desa pada masa itu, begadang mendengarkan radio, hingga bermain rudat (salah satu permainan dengan bola api). kata siapa orang desa itu susah, mungkin orang memandang kami miskin dan terbelakang, tapi kami bahagia, itu yang saya rasakan. bisa bermain bola dimanapun dan kapanpun, gratis, ya.. paling dikejar-kejar yang punya halaman. itulah kenapa ketika saya menginjak tanah kota di era milenium saya begitu kaget, karena hanya untuk bermain bola di lapangan kecil saja harus merogooh kocek yang dalam dan parahnya itupun masih dihitung waktu. di kampung gempita Piala Dunia memang tidak semarak seperti di kota besar apalagi pada masa sebelum "listrik masuk desa". ya, kami menga tidak mengenal paolo rossi van basten hingga dunga pada masa itu, tapi kami mengenal si nomer 5 jerman, si nomer 9 italia, si nomer 10 belanda. harap maklum karena ibi Piala Dunia kami
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H